JARING PENGAMAN YANG TAK BIKIN AMAN



sumber ilustrasi : google


drg. Endartini
(Pemerhati Kesehatan Sosial Masyarakat)

Pandemi Covid-19 yang kini tengah terjadi di Indonesia telah melemahkan sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Pasalnya, roda kehidupan masyarakat seakan terhenti pasca- pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) guna menekan laju pertumbuhan kasus positif baru. Masyarakat kelas bawah yang bekerja di sektor informal, seperti pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pedagang dan tukang ojek, menjadi pihak yang merasakan dampak yang cukup signifikan atas kebijakan ini. Termasuk mereka yang berprofesi sebagai buruh pabrik. Tak sedikit dari mereka harus dirumahkan karena tempat kerja mereka tidak beroperasi. (www.nasional.kompas.com, 08/04/2020)

Jaring Pengaman, Efektifkah?

Tak kurang dari Rp 110 triliun dialokasikan pemerintah dari belanja APBN 2020 untuk menanggulangi dampak pandemi, agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari mereka. Secara garis besar, ada tujuh jurus sakti yang dirancang pemerintah sebagai program jaring pengaman sosial, yaitu Porgram Keluarga Harapan (PKH), Padat Karya Tunai (PKT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, subsidi listrik untuk golongan tertentu, dan bantuan sosial khusus wilayah Jabodetabek.

Sekilas program ini seperti solusi dari pemerintah untuk menghadapi COVID-19. Jokowi mengesankan pemerintah menggelontorkan uang banyak, namun sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), sepakat program yang dipamerkan Jokowi itu hanya gimik. Selain data yang berantakan, menurut Bhima, program tidak bisa menyasar pekerja yang sebelum wabah COVID-19 masuk kelas menengah yang mungkin kini turun kelas menjadi miskin. Berdasarkan laporan Bank Dunia, ada 115 juta orang kelas menengah Indonesia yang masuk kelompok rentan miskin. Kelompok ini bisa dengan mudah turun kelas menjadi miskin karena wabah COVID-19. (www.tirto.id, 08/04/2020)
Menurut ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, program jaring pengaman ini tidak tepat sasaran karena banyak kalangan yang kondisi keuangannya lebih rentan dan telah terdampak cukup signifikan seperti para pedagang kecil dan masyarakat berpenghasilan tidak tetap lainnya. (pinterpolitik.com, 1/4/2020)

Terang saja kalau publik menilai program pengaman sosial yang diumumkan Jokowi sebagai program setengah hati. Bahkan bisa dikatakan bagian dari pencitraan diri agar dinilai bertanggung jawab pada rakyatnya.

Lebih jauh lagi, rezim hari ini adalah rezim yang tidak kompak. Presidennya menjanjikan ini dan itu, nyatanya Menkeunya berkata lain. Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan ambruk akibat pandemik virus corona. Statement Menkeu menunjukkan negara sebenarnya tidak punya uang untuk memberi jaring pengaman nasional. Terbukti dengan tindakan Menkeu akan membuka rekening khusus untuk menampung donasi dunia usaha yang ingin membantu kegiatan pencegahan atau penanganan virus corona. Donasi yang terkumpul akan dikelola oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai leading sector dari gugus tugas penanganan Covid-19 secara nasional.

Kebijakan Sistem Islam Menangani Wabah

Sungguh kontras dengan yang terjadi dalam sistem Islam. Tanggung Jawab negara dalam mengurusi urusan rakyatnya adalah hal yang paling diperhatikan. Islam adalah agama yang sempurna. Tidak ada satupun perkara di dunia yang lepas dari aturan Islam. Orang mati saja diatur, apalagi orang hidup dan sakit. Begitu pula ketika wabah datang, Islam memberlakukan lockdown syar’i. ini semata agar terjaga kehidupan umat manusia. Nilai nyawa dalam Islam begitu tinggi. Nyawa bahkan dalam ushul fiqh masuk ke dalam “al dharuriyat al khamsah” (lima hal primer yang wajib dipelihara). Nyawa manusia tidak boleh dihilangkan begitu saja tanpa alasan yang jelas. Tak peduli nyawa orang muslim ataupun non muslim. Terlebih posisi negara yang memiliki kewajiban mengurusi urusan rakyatnya, tidak boleh ceroboh untuk membuat kebijakan yang akan berdampak besar bagi kehidupan rakyatnya. Negara tidak boleh berkompromi untuk urusan nyawa rakyat, terlebih mengedepankan kepentingan ekonomi. Jika ekonomi mati masih bisa dibangkitkan, tetapi jika nyawa hilang tidak bisa dikembalikan.

Namun nyatanya, itulah yang terjadi pada rezim hari ini. Kapitalisme telah menjadi ruh dalam mengatur kehidupan bernegara. Sehingga yang di kepala penguasa hanyalah keuntungan dan kekuasaan. Secuil pun tak ada belas kasihan pada umat ini. Jika umat ini sudah ratusan, ribuan kali dirusak oleh sistem kapitalisme dengan penguasa zalimnya hari ini, bukankah sudah waktunya mereka menerapkan aturan Allah yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat kelak?!.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak