Oleh: Tati Sunarti, S.S
Genap satu bulan setelah pemerintah pusat mengumumkan secara resmi bahwa virus corona telah mejangkiti Indonesia. Tepatnya, di Hari Senin (2/3/20) Presiden Joko Widodo menyampaikan dua orang positif corona. Sepekan kemudian, aktivitas sekolah diliburkan secara nasional, para ASN (aparatur Sipil Negara) pun dipindahkan aktivitas kerjanya di rumah.
Langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah menghimbau kepada masyarakat untuk melakukan social distancing (jaga jarak social) agar bisa menekan tingkat penularannya. Namun, ternyata himbauan ini tidak efektif karena hanya berupa anjuran bukan kebijakan tertulis yang sepenuhnya harus dipatuhi.
Sehingga virus ini mewabah cukup signifikan terutama di DKI Jakarta. Data jumlah korban covid-19 teranyar per Jumat (10/04) mencapai 3.512 korban, 306 meninggal dunia, dan 282 sembuh (liputan6.com)
/Dari Darurat Sipil, Darurat Kesehatan hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar/
Jumlah korban yang semakin hari semakin meningkat tajam, tidak lantas membuat Pemerintah Pusat memutuskan untuk menetapkan kebijakan lock down nasional (karantina massal). Berbagai pertimbangan yang menyebabkan kebijakan ini tak kunjung direalisasikan, terutama pertimbangan mengenai kestabilan ekonomi dalam negeri dan program perampungan proyek Ibu Kota baru yang tentu saja membutuhkan dana dalam jumlah tidak sedikit.
Akan tetapi, pemerintah tidak mampu menghindari berbagai polemik, kritik tajam dan desakan dari berbagai kalangan masyarakat untuk menetapkan kebijakan yang mampu menanggulangi wabah ini. Sebagai respon dari desakan ini, Pemerintah Pusat menetapkan Darurat Sipil. Tak dinyana kebijakan Darurat Sipil menuai protes keras dari khalayak, karena dinilai jauh panggang dari api.
Setelah gagal menetapkan kebijakan Darurat Sipil, jurus berikutnya digelontorkan oleh pemerintah berupa menerbitkan Keppres No. 11 tahun 2020. Keppres tersebut berisi penetapan status kedaruratan kesehatan akibat pandemic corona di Indonesia. Disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020.
PP tersebut mengatur soal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di suatu daerah dengan harapan menekan laju penularan. Program PSBB diberlakukan pertama kali di DKI Jakarta per Jumat (10/4). Berkaitan dengan implementasi PSBB di daerah red-zone (Jakarta), Presiden mengumumkan program jaring pengaman sosial.
Tentu dengan harapan bisa menekan dampak wabah corona yang dialami oleh masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Hal ini disampaikan Presiden dalam keterangan pers secara virtual dari Istana Kepresidena Bogor, Selasa (31/3). Apakah program ini cukup efektif?
/Program Jaring Pengaman Sosial yang Setengah Hati/
Dampak yang ditimbulkan wabah virus corona berimbas pada roda kehidupan. Kalangan masyarakat menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal, seperti pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pedagang kakilima, tukang ojek dan buruh pabrik. Mengingat begitu cepatnya penularan virus ini, menuntut pemerintah untuk malaksanakan program jaring pengaman sosial sesegera, seefektif, dan seefisien mungkin.
Program jaring pengaman sosial memiliki program bantuan nontunai diantaranya Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, kartu Pra Kerja, diskon tarif listrik, antisipasi kebutuhan pokok, keringanan pembayaran kredit. Kebijakan ini efektif mulai April 2020. Sekilas program ini terlihat seperti solusi. Pemerintah memberikan kesan menggelontorkan dana banyak, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian.
Salah satu contohnya adalah PKH yang disebut-sebut dinaikan sebanyak 25 persen dengan total anggaran Rp 37,4 trilliun. Padahal kenaikan ini akan tetap dilaksanakan tanpa adanya wabah covid-19. Merujuk pada Rancangan Pembangunan Nasional (RPJMN) tahun 2019-2024 Kemensos dalam hal ini memang sudah menaikkan anggaran untuk komponen ibu hamil dan anak usia dini dari 2,5 juta menjadi 3 juta.
Begitu pula dengan program lainnya seperti kartu Pra Kerja. Hal ini dinilai seperti memanfaatkan kondisi wabah covid-19 untuk memuluskan pemenuhan janji pada saat kampanye dulu. Dari paparan tersebut jelaslah bahwa penanganan dampak covid-19 dilakukan setengah hati oleh pemerintah.
/Penanggulangan Wabah dalam Sistem Islam/
Islam adalah sebuah ideologi, yang darinya terpancar sebuah aturan yang mengatur cara berkehidupan dengan benar. Islam merupakan agama yang sempurna dan paripurna. Sehingga permasalahan apapun dalam kehidupan akan senantiasa terpecahkan oleh Islam. Tuntunan kehidupan ini termaktub dalam alquran dan assunah. Bagaimana seorang pemimpin dengan segera melakukan penanganan yang tepat pada saat krisis dan wabah melanda.
Sebagaimana disabdakan oleh Rosulullah bahwa pemimpin adalah junnah dan periayah urusan umat, maka seyogyanya pemimpin hari ini melakukan hal demikian. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Khattab, diceritakan bahwa pada saat terjadi krisis dan wabah khalifah kedua ini melakukan langkah-langkah seperti memberikan contoh terbaik dengan hidup sederhana. Bahkan lebih sederhana dari masyarakat islam waktu itu.
Kemudian, langkah berikutnya adalah membangun posko-posko bantuan. Sehingga masyarakat bisa langsung mengakses bantuan tanpa prosedur yang rumit. Begitu pula lembaga perekonomian Negara Khilafah (ad-Daqiq) diperintahkan untuk memberikan kebutuhan pangan sebelum bantuan dari daerah khilafah lain sampai.
Ini menunjukkan kesigapan pemimpin pada saat kondisi krisis yang dialami oleh pemerintah pusat dibantu oleh wilayah lainnya dan para aghniya (orang-orang kaya). Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana seorang pemimpin semakin mendekatkan diri pada sang Maha Kuasa, Allah swt. Pemimpin mengajak kepada ummat untuk besegera taubatan nasuha.
Karena sesungguhnya kerusakan di muka bumi adalah akibat dari ulah tangan manusia itu sendiri. Allah berfirman “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (TQS Ar-Rum: 41)
Begitulah Islam, memberikan solusi yang paripurna dan menyentuh hingga ke akar permasalahan. Oleh karena itu, menjadi sebuah keharusan kondisi krisis dan mewabahnya covid-19 yang melanda negeri dikembalikan pada solusi Islam.
Wallahu’alam
Tags
Opini