Oleh: Rina Yulistina
Sebuah meme di media sosial menggelitik, rakyat Indonesia tak takut korona, buktinya tetap saja pergi bekerja, tetap saja berjualan. Bukan karena tak takut korona, namun rakyat berada dalam kondisi terjepit tak ada pilihan lain yang membuat mereka harus tetap dirumah saja.
Tak semua pekerjaan bisa dikerjakan di dalam rumah saja, seperti halnya sales, buruh pabrik bergaji harian, pedagang kecil mereka harus tetap bekerja demi sesuap nasi. Jika mereka tak bekerja siapa yang akan menanggungnya? Kondisi ini pun sebenarnya tak hanya dialami oleh masyarakat kecil, masyarakat menengah juga dalam kondisi yang sama mereka tetap harus bekerja, jika mereka tak bekerja lantas siapa yang akan sudi membayar tagihan air, listrik, spp sekolah, kredit kendaraan, kredit rumah dan kebutuhan lainnya?
Terjepitnya rakyat inilah yang dijadikan dalil oleh pemerintah untuk membenarkan kebijakan anti lockdown dan memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBS). Alasannya, supaya rakyat bisa cari makan. Dalil tersebut sekilas nampak masuk akal namun sesat pikir, malah dengan kebijakan tersebut menunjukan terang benderang bahwa negara tak mau menanggung hidup rakyatnya.
Tak sudi dikatakan tak mau menanggung hidup rakyat, pemerintah mengeluarkan program ajaib bak pesulap. Program kali ini pun tak jauh-jauh dari permain kartu yang sebenarnya telah dilakukan sebelumnya hanya saja di program ini Bapak Negara menyatakan akan meningkatkan jumlahnya baik penerima maupun nominalnya. Program tersebut terdiri dari 1. Program Keluarga Harapan (PKH), 2. Kartu Sembako, 3. Kartu Pra Kerja, 4. Diskon Tarif Listrik, 5. Antisipasi Kebutuhan Pokok, 6. Keringanan Pembayaran Kredit.
Program atau Prank?
Jumlah rakyat miskin melonjak tajam akibat Covid-19 menurut Bank Dunia penduduk miskin di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, hingga 11 juta orang. Dana yang di gelontorkan oleh pemerintah hanya Rp 405,1 triliun saja jauh dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia. Sehingga wajar jika banyak masyarakat meragukan program pemerintah ini, tak salah jika mereka sudah anti pati dan menjuluki program ini seperti prank.
Usut punya usut ternyata kenaikan PHK memang sudah direncakan sesuai dengan RPJMN 2019-2024 untuk komponen ibu hamil dan anak usia dini dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 3 juta. Jumlah penerima pun naik 10 juta sesuai dengan Perpres Nomor 61 tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah tahun 2020. Sama halnya dengan diskon tarif listrik untuk 450 volt dan diskon 50% untuk 900 volt selama tiga bulan. Jika kita fikirkan berapa jumlah masyarakat yang memakai 450 volt? Tentunya jauh lebih sedikit. Salah satu fakta, pengakuan dari salah satu pengguna listrik non subsidi di Bandar Lampung yang dilansir di laman (netizenku.com) beban listrik dinaikan 50-100%. Itu artinya pengguna listrik non subsidi menanggung biaya pengguna listrik subsidi 450 volt dan 900 volt. Jika pemerintah mengklaim memberikan diskon, hal itu kebohongan. Sama hal yang terjadi pada kasus PKH.
Sungguh menyedihkan seolah olah rakyat mendapatkan bantu namun ternyata semua itu hanyalah prank untuk menaikan citra sebagai seorang pemimpin. sikap penguasa yang demikian memang terkait dengan paradigma kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang diterapkan, pemerintah sangat kentara menghitung untung rugi untuk mengurusi masyatakatnya. Gaya kepemimpinan ini tak lepas dari penerapan sistem kapitalis.
Sistem Islam
Hal ini sangat bertolak belakang dengan Pemimpin yang menerapkan aturan Islam. Seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk meriayah urusan ummat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia pimpin.
Di kondisi wabah, pemimpin wajib melakukan lockdown dan menanggung seluruh kebutuhan rakyat mulai dari bahan pangan, kesehatan, biaya hidup, dan tetap memberikan penghasilan kepada rakyatnya. Sumber dana yang didapat untuk mengurusi seluruh kebutuhan rakyat bukan dari hasil pinjaman Bank Dunia atau IMF tapi murni dari baitul mall. Hal ini hanya akan terjadi jika sistem islam diterapkan di bawah naungan Khilafah.