Oleh: Wulan
Pendidik Ideologis
Pandemi Covid-19 mengguncang dunia, namun ternyata umat Islam di berbagai negeri tidak hanya di uji dengan pandemi tetapi juga menjadi korban tindakan diskriminasi dan kebencian warga non muslim. Muslim dituduh menjadi sumber sebaran wabah (kasus jamaah Tabligh) dan sengaja menyebar virus utk membunuh non muslim (#coronajihad) dan Islamofobia adalah penyakit akut masyarakat sekuler yang mengkampanyekan anti-diskriminasi dan kesetaraan. Faktanya, selalu muncul kasus-kasus islamofobia yang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir bahkan menjadi bahan kampanye para politisi. Menjadi bukti kerusakan masyarakat sekuler dan kegagalan sistem menciptakan integrasi/keharmonisan masyarakat.
Padahal konten informasi palsu dan kebencian semakin mengkhawatirkan. Hal ini karena banyak orang tinggal di rumah, mereka sering mendapatkan berita dan bersosialisasi secara daring. Di India, tagar dan meme Islamofobia dimulai segera setelah wabah. Sentimen anti-Muslim sudah sangat tinggi di sana, dan lebih dari 50 orang telah tewas dalam kerusuhan anti-Muslim semenjak Februari. Pandemi Covid-19 mengintensifkan Islamophobia di negara itu. Pihak berwenang India mengaitkan hampir 1.000 kasus Covid-19, dengan kelompok Muslim pinggiran yang menolak seruan untuk tinggal di rumah dan mengadakan konferensi tahunannya. Para politisi dengan cepat menyalahkan populasi Muslim untuk penyebaran virus. Namun penilaian tersebut salah, mayoritas populasi Muslim India mengutuk acara tersebut dan menghormati seruan karantina. Kemudian muncul video-video viral yang menyatakan muslim meludahi polisi dan warga India yang bukan Muslim untuk menuduh menyebarkan virus. Sebuah fenomena yang dijuluki "corona-jihad" atau "bio-jihad".
Sejumlah berita juga melaporkan informasi yang keliru dan meme xenofobik. Mereka melukiskan Muslim dengan karakter kartun jahat yang sengaja menyebarkan virus.
Menurut sebuah kelompok hak asasi manusia digital Asia Selatan yang berbasis di AS, Equality Labs, Xenophobia ini menyebar secara daring. Tagar #coronajihad digunakan hampir 300 ribu kali antara 29 Maret dan 3 April, sebagian besar di India dan AS. Organisasi ini melacak ratusan tagar anti-Muslim, banyak yang menggambarkan Muslim sebagai pembom bunuh diri yang diikat dengan "bom virus" dan termasuk istilah-istilah seperti "#IslamicVirus, #BioJihad, dan #MuslimVirus". Meme dan rumor ini telah menyebabkan kerugian besar.
Seorang lelaki Muslim di India dilaporkan meninggal karena bunuh diri setelah masyarakat desanya mengucilkannya, karena mereka curiga ia terinfeksi Covid-19 setelah berhubungan dengan muslim yang dinyatakan positif mengidap penyakit tersebut.
Sementara itu di Inggris, kaum nasionalis kulit putih menyatakan di sosial media bahwa kaum Muslim melanggar peraturan 'lockdown', dan mengabaikan aturan isolasi dengan berkumpul di luar dan di masjid-masjid. Mereka membagikan rekaman lama yang diambil sebelum 'lockdown'. Kelompok-kelompok advokasi Muslim seperti Tell Mama dan polisi semenjak itu memerangi propaganda tersebut. Tokoh-tokoh sayap kanan di Inggris juga menuduh Muslim sebagai "25 persen dari kasus virus Corona" di negara Inggris. Ini karena mereka menolak untuk mengisolasi diri. (Republika.co.id/11/4/2020).
Islamofobia merupakan istilah kontemporer yang muncul sejak era tahun 1980-an. Pada tahun 199l, Runnymede Trust seorang warga negara Inggris mendefinisikan Islamofobia sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan juga terhadap semua Muslim. Jika melihat dari definisi ini maka bisa dikatakan bahwa gejala munculnya islamofobia sejatinya sudah ada sejak awal dakwah Islam yang disampaikan oleh para nabi dan Rasul.
Dalam Al-Qur'an sendiri memuat banyak kisah-kisah kaum terdahulu yang mengungkapkan Islamofobia. Sebagai contohnya adalah reaksi kaum Nabi Luth –‘alaihis salam- saat disampaikan dakwah Islam kepada mereka. Reaksi yang muncul adalah penentangan dan penolakan secara keras yang berujung pada pengusiran Nabi Luth beserta para pengikutnya, seperti yang digambarkan dalam ayat berikut ini:
Dari sini kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa sikap Islamofobia yang muncul dari orang-orang kafir dan musyrik sudah menjadi karakter yang melekat pada diri mereka. Sikap permusuhan dan kebencian yang muncul dari diri mereka menjadi konsekuensi dari ideologi atau aqidah yang mereka anut dalam menentang Islam. Sikap mereka ini disebutkan secara jelas di beberapa ayat dalam Al Quran, salah satunya adalah firman-Nya:
“Dan orang-orang yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga engkau mengikuti ajaran agama mereka, katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya petunjuk Allah itulah yang sebenar-benarnya petunjuk, dan jikalau engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang kepadamu ilmu (kebenaran) tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah” [QS. Al Baqoroh: ayat 120]
Jadi, bukan menjadi perkara yang mengherankan ketika Islamofobia terjadi pada masyarakat kafir dan musyrik. Adapun solusi mengatasi penyakit ini juga sudah jelas seperti apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ yang terekam dalam lembaran kisah perjuangan beliau yaitu dimulai dengan dakwah hingga jihad fii sabilillah dalam rangka menumbangkan kekuatan Kufur dan syirik. Dengan sendirinya islamofobia hilang dari mereka. kemudian yang terjadi adalah ketundukan mereka terhadap kedaulatan Islam dan kaum muslimin. Justru yang menjadi kejanggalan dan keanehan ketika islamofobia terjadi di tubuh umat Islam sendiri. kita semua mengetahui bahwa negeri Indonesia ini mayoritas penduduknya adalah muslim. Namun mengapa terkait isu syiar-syiar Islam dan penerapan syariat Islam secara kaaffah (=menyeluruh) memiliki resistensi yang tinggi di tengah mereka? Sungguh ironis, ketika ada orang mengaku muslim namun enggan untuk bersyariat Islam. Inilah permasalahan mendasar yang harus segera dipecahkan.
Menurut pengamatan penulis, setidaknya ada tiga faktor mendasar yang mempengaruhi terjadinya penyebaran virus Islamofobia di tubuh umat Islam khususnya di Indonesia. Pertama; masifnya propaganda buruk tentang ajaran Islam dalam bentuk distorsi Islam dengan munculnya istilah Islam moderat, Islam radikal, Islam liberal, Islam nusantara dan lain sebagainya. Melalui media mainstream baik cetak maupun elektronik yang juga ditunjang dengan kecepatan media sosial, menjadi penopang penyebaran virus ini.
Faktor kedua adalah masih tingginya tingkat kejahilan umat Islam tentang syariat Islam sendiri. Salah satu parameter tingkat kejahilan umat Islam terhadap syariatnya sendiri ditandai dengan masih banyaknya umat Islam yang terkategori buta huruf Al-Qur'an atau tidak bisa membaca Al-Quran. Dalam penelitian yang dihimpun UIN Sunan Gunung Djati, pada tahun 2015, sedikitnya 54% Muslim Indonesia terkategori buta huruf Al-Qur'an. Jadi, baru 46% Muslim yang melek Alquran dan mampu membaca Al Quran. Kalau dimasukkan indikator bisa memahami isi Al Quran, tentu jauh lebih kecil lagi.
Kita bisa membayangkan, jika dalam masalah membaca Al-Quran saja masih banyak yang belum bisa atau bahkan masih ada yang menganggap tidak perlu, lalu bagaimana dengan pelajaran syariat Islam lainnya yang membutuhkan konsentrasi dan fokus dalam mempelajarinya? Maka tidak mengherankan jika kondisi ini memunculkan sikap shock (terkejut dan tergoncang) ketika melihat praktek ajaran Islam yang belum dimengerti.
Seperti fenomena shock-nya masyarakat saat melihat wanita berjilbab besar dan bercadar.
Adapun faktor ketiga, sebenarnya menjadi turunan dari faktor kedua yaitu malpraktek dalam pelaksanaan Al- Qur'an dan Sunah. Munculnya ruwaibidhah (=juru dakwah yang menyesatkan) menjadi variabel utama dalam faktor ini. Kesalahan dalam memahami dan menjalankan syariat Islam muncul dari lisan dan perbuatan mereka. Kemunculan mereka semakin memperparah kondisi umat Islam dan menyuburkan virus islamofobia itu sendiri.
Secara simultan, upaya mengedukasi umat dibarengi pula dengan kontra opini terhadap propaganda buruk terhadap Islam yang dilancarkan oleh kaum kafirin dan munafikin melalu media-media mereka. Setidaknya memunculkan sikap skeptis di tengah umat Islam ketika mendengar atau membaca berita-berita yang diframing untuk menyudutkan Islam. Di sinilah, peran strategis yang dimainkan oleh media-media Islam untuk memberikan pencerahan kepada umat dalam menangkis segala bentuk serangan opini. Harapan ke depan, semoga umat Islam semakin cerdas dalam merujuk suatu berita khususnya yang berkaitan dengan Islam. Sekaligus menumbuhkan budaya tabayyun (klarifikasi) di tengah umat dengan merujuk kepada para ulama rabbaniyyin. Semoga Allah menjaga kita semua dari virus islamofobia.
Wallahu A'lam bish shawab.
Tags
Opini