Oleh: Erlina
Empat bulan berlalu, namun belum terlihat tanda-tanda wabah pandemik virus Corona (Covid-19) akan berakhir. Bahkan, kondisi dunia terus memburuk. Dunia dicekam kecemasan. Covid-19 telah memasuki fase yang sangat mengkhawatirkan bagi negara-negara dunia. Wabah yang berawal di China pun memasuki dunia Islam. Covid-19 terus menyebar ke berbagai arah. Semua disasar. Tak peduli agama, suku, ras, tempat tinggal maupun status sosial. Dimuat pada laman John Hopkins University and Medicine, Coronavirus Resources Center, bahwa saat ini Covid-19 telah menyebar ke 184 negara dan sejak akhir Desember 2019 hingga Rabu 8 April 2020, total penderita positif Covid-19 terkonfirmasi 1.452.378 kasus, dengan total kematian 83.615 kasus.
Di Indonesia, kondisinya jauh lebih buruk, tampak dari tingkat kematian penderita positif Covid-19 yang melebihi rata-rata dunia. Diberitakan pada laman kompas.com, hingga Rabu (8/42020), total terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 2.956 kasus, dengan penambahan kasus baru dalam 24 jam terakhir, 218 kasus. Total yang dirawat 2.494, dan 240 di antaranya meninggal. Di mana persentase pasien Covid-19 meninggal 8,12 persen, ini jauh di atas rata-rata dunia yakni 5,67 persen.
Ketua Satgas Covid-19 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. dr. Zubairi Djoerban Sp.PD memprediksi penyebaran Covid-19 ini seperti gunung es. Artinya, jumlah kasus yang terlihat tampak sedikit, padahal banyak yang tidak terungkap. Menurut prediksi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), yang merupakan bagian draft “Covid-19 Modelling Scenarios, Indonesia”, tanpa intervensi Negara, lebih kurang 2.500.000 orang berpotensi terjangkit Covid-19. Bila intervensinya rendah, kurang lebih 1.750.000 orang berpotensi terjangkiti Covid-19. Menurut prediksi beberapa kalangan, akan terjadi super spreading (penyebaran tak terkendali) wabah ini pada Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
Perang Badar Melawan Covid-19
Nyawa rakyat merupakan sesuatu yang perlu diprioritaskan oleh seorang pemimpin. Bagaimana pun kesulitan sebuah kepemimpinan, keterjaminan keamanan adalah modal awal melindungi rakyat. Dengan begitu mereka tak perlu takut, was-was maupun ragu. Karena keselamatan mereka telah terjamin. Namun, jauh panggang dari api. Impian keselamatan rakyat utama hanya menjadi retorika belaka. Sebagaimana yang terjadi di negeri penganut kapitalisme. Di negeri para kapitalis ini, keselamatan rakyat hanya fiktif belaka.
Berbagai komentar dan pertanyaan di mana peran pemerintah saat rakyatnya menghadapi corona ini muncul. Fakta di lapangan menunjukkan, banyaknya Rumah Sakit (RS) yang kekurangan Alat Pelindung Diri (APD). Salah satunya adalah Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA). Melalui laman liputan 6 (20/3/2020) dinyatakan bahwa Ketua Satgas Corona Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya dr. Prastuti Asta Wulaningrum membenarkan jika kekurangan APD. Beliau berharap pemerintah bersedia memfasilitasi pengadaan APD.
Mereka adalah pasukan garda depan, yang langsung bersinggungan dengan virus Covid-19. Jika tenaga medis tak menjalankan SOP, dikhawatirkan justru akan tertular dengan virus ini. Padahal, saat ini sudah banyak juga tenaga kesehatan yang tumbang saat melawan virus. Baik yang terinfeksi atau karena kelelahan. (tempo, 28/3/2020).
Meskipun pada kenyataannya pemerintah telah mengimpor dan mendistribusikan APD ke seluruh RS rujukan yang menangani Covid-19. Ada sekitar 105 ribu APD yang telah didistribusikan ke RS, namun kenyataannya para medis masih mengalami kekurangan. Karena kebutuhan APD secara dinamis berkembang lebih banyak. Apalagi APD hanya digunakan sekali pakai.
Cara pemimpin negeri ini menghadapi perang melawan Covid-19 sepertinya terseok-seok. Ibarat orang mau perang, masih maju mundur cantik. Ada keragu-raguan dalam benak mereka. Di sisi lain mereka menyatakan bahwa keselamatan rakyat adalah utama. Namun, di lain pihak justru tidak cepat dalam mengambil kebijakan.
Pasalnya, ketika kasus Covid-19 ini baru ditemukan, pemerintah tak langsung mengambil kebijakan lockdown. Hal itu dilakukan karena pertimbangan ekonomi. Dengan kondisi saat ini, negara tak mampu membiayai kebutuhan di saat lockdown. Sebagaimana yang dilakukan beberapa negara yang memutuskan lockdown. Mereka menanggung kebutuhan masyarakat saat isolasi itu dilakukan.
Jangankan buat lockdown, untuk memenuhi kebutuhan APD bagi tenaga medis saja kurang. Apalagi mereka adalah tentara garda depan dalam peperangan ini. Hal ini memperlihatkan bahwa segala kebijakan yang diambil masih mengikuti prinsip pertimbangan materi. Materi dalam hal ini adalah ekonomi menjadi pertimbangan besar dalam keputusan kebijakan. Adanya ketakutan pertumbuhan ekonomi bisa nol, membuat pemimpin mengambil kebijakan non-lockdown.
Islam Melindungi Rakyat
Islam adalah diin yang sempurna, diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berupa konsep-konsep sahih dan peraturan hidup bagi solusi semua persoalan kehidupan insan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan, “Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (yaitu Alquran) sebagai penjelas segala sesuatu.” (TQS an-Nahl [16]: 89).
Tidak sekadar solusi, tetapi solusi persoalan yang sahih. Sehingga pelaksanaannya secara kaffah adalah kunci bagi terwujudnya kesejahteraan bagi umat manusia bahkan seluruh alam.
Islam menjadikan rakyat adalah unsur utama yang harus diselamatkan. Rasul saw. bersabda:
«…فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…»
Amir (pemimpin) masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Jadi dalam Islam, pemimpin (Pemerintah) wajib mengurus urusan rakyat, termasuk pemeliharaan urusan kesehatan mereka. Bahkan Islam mewajibkan Negara menjamin pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat secara gratis. Rakyat ibarat gembalaan yang perlu dijaga dan dirawat. Sehingga saat terjadi wabah seperti ini, Islam pun menjadikan rakyat sebagai acuan utama. Bagi seorang pemimpin muslim, tugas sebagai pelayan rakyat akan dilakukan. Sehingga ia akan melayani dengan maksimal dan tidak melanggar hukum syariat.
Seorang pemimpin yang bervisi Islam akan menjadikan keimanannya sebagai landasan memutuskan kebijakan. Keyakinan pada Allah SWT, membuatnya tawakal dan berserah diri pada Allah dalam menghadapi wabah ini. Ibarat dalam peperangan, sebagaimana dalam QS Al Anfal ayat 60 artinya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kalian nafkahkan pada jalan Allah, niscaya akan dibalasi dengan cukup kepada kalian dan kalian tidak akan dianiaya”.
Menjadi seorang pemimpin di tengah wabah harus berani mengambil risiko. Tanpa mempertimbangkan masalah materi, yang utama rakyat terselamatkan. Karena standar kebahagiaan seorang muslim adalah rida Allah, maka pemimpin muslim akan menjadikan ridha Allah sebagai tujuan. Oleh karena itu, ia akan langsung memutuskan lockdown agar wabah tak meluas menyerang masyarakat.
Sebagaimana surat Al Anfal ayat 60, kita diperintahkan mengumpulkan amunisi yang banyak untuk persiapan perang. Maka, pemimpin perlu menjamin ketersediaan alat perang (APD) untuk para medis. Sehingga tenaga medis akan merasa aman menjadi garda terdepan penanganan wabah ini.
Pemimpin muslim yang bervisi Islam seperti ini tidak akan mudah didapat. Karena pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya, menjadikan ketaatan tertinggi hanya pada Allah, memiliki tujuan memimpin untuk memperoleh ridha Allah, dan yakin bahwa apa yang dipimpinnya akan diminta pertanggungjawaban. Kepemimpinan model ini hanya dapat diperoleh dari sistem yang bersandar ketaatan pada Allah, bukan sistem buatan manusia. Yaitu sistem Islam, dengan sistem pemerintahannya yakni Khilafah.
Inilah gambaran prinsip sahih Islam, pelaksanaannya secara kaffah oleh khilafah akan menyelesaikan secara sistemis dan segera berbagai persoalan hari ini, sebagai keberkahan yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al A’raf [7]: 96).
Wallahu A’lam bish Shawab.[]