Oleh. Alfiyah Kharomah
Praktisi Kesehatan, Member Revowriter Jawa Tengah
Kemenkumham telah membebaskan 30.432 narapidana dan anak demi cegah corona. Kementerian yang dipimpin oleh Yasonna itu telah menggalakan program asimilasi dan integrasi guna mengantisipasi penularan virus corona (COVID-19) di Lapas dan Rutan yang melebihi kapasitas.
Program asimilasi dan integrasi tersebut tidak berlaku bagi pelaku kejahatan tindak pidana luar biasa seperti teroris dan korupsi sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan remisi.
Dalam perkembangannya, Yasonna berencana merevisi PP tersebut. Ia merinci setidaknya terdapat empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut.
Kriteria pertama, narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana 5 sampai 10 tahun yang sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Kedua, usulan pembebasan itu berlaku bagi narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Dikonfirmasi sejumlah 300 orang. Ketiga, narapidana tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan telah menjalani 2/3 masa tahanan. Melihat hal ini, pantas jika wacana ini menuai polemik diantara para aktivis anti korupsi.
Sejumlah pihak menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan mencari kesempatan untuk meringankan hukuman para koruptor melalui wacana revisi PP Nomor 99 tahun 2012 tersebut. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai, menkumham sengaja memanfaatkan wabah COVID-19 sebagai justifikasi untuk merevisi aturan tersebut. Ia menambahkan bahwa kasus Corona hanya menjadi momen untuk menjadi justifikasi. Bukan soal hak, bukan soal Corona, tetapi ini adalah kerjaan dan agenda lama yang memang belum berhasil.
Berdalih menyelamatkan napi dari wabah corona dan penghematan anggaran tentu saja ini tak mampu diterima akal. Bukankah lebih baik mereka tetap berada di sel tahanan, daripada keluar dan isolasi di rumah masing-masing? Karena sesungguhnya mereka telah dilockdown agar tidak kemana-mana.
Jika memang ingin memncegah Corona menjangkiti para napi, semestinya, kebijakan kunjungan diperketat. Atau bisa saja menambah lapas dan sel tahanan agar bisa melakukan physical distancing.
Kebijakan-kebijakan yang terus merevisi undang-undang justru menunjukan ketidakkonsistenan pemerintah atas aturan yang telah dibuat. Ini menunjukan bukti bahwa pemerintah tidak serius mengatasi masalah kriminalitas termasuk juga korupsi.
Ketimpangan di saat rakyat diperintah untuk dirumah saja. Ditengah duka warga yang kehilangan keluarga karena corona dan atas wafatnya para martir, dokter dan perawat yang gugur karena Corona. Justru pintu penjara dibuka. Napi dibebaskan dari sana. Jika masalahnya adalah sulitnya melakukan physical distancing karena kondisi lapas overkapasitas. Negara harusnya mencari tempat untuk menampung para napi tersebut.
Bukan malah membebaskan para napi yang justru berpotensi melakukan kriminalitas lagi di tengah krisis ekonomi.
Terbukti banyak kasus mengemuka, bukannya jera, para narapidana yang telah dilepaskan justru berulah. Dirangkum dari pemberitaan Kompas.com, tindak pidana yang dilakukan eks napi setelah bebas bervariasi.
Mulai dari menjadi kurir narkoba, curanmor hingga terlibat dalam aksi penjambretan di sejumlah lokasi. Contohnya, kasus dua orang bromocorah warga Gundih dan Margorukun, Surabaya. Belum genap sepekan dibebaskan mereka berdua kembali diamankan polisi. Mereka melakukan aksi penjambretan dan merupakan seorang residivis.
Berikutnya, seharusnya kasus corona, menjadi interospeksi bahwa penuhnya kapasitas dalam lapas adalah bukti sistem saat ini tidak mampu menekan tingkat kriminalitas dan korupsi. Terbukti bahwa kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang dilahirkan tidak membuat pelaku kriminalitas, narkoba bahkan koruptor jera.
Sudahlah rakyat tidak diurusi, mereka mandiri urunan sendiri untuk mengatasi wabah ini. Ketika APD langka, kepada rakyat malah minta donasi. Ketika jumlah kasus Corona meningkat, pemerintah masih sibuk dengan ibu kota barunya.
Tentunya rakyat harusnya sadar, bahwa pemerintah enggan mengurusi mereka. Bahwa sistem ini berdiri ditopang oleh para bromocorah. Butuh sistem yang memiliki ketahanan kuat tak bisa disuap soal ini. Yakni sistem yang dibangun atas dasar ketakutan kepada Allah yang membentuk ketakwaan hakiki.
Islam terbukti berhasil menurunkan tingkat kriminalitas melaui sistem sanksi pidana dan peradilan yang telah ditetapkan syara’. Peradilan hukum Islam berlaku secara adil dan memuaskan para pihak. Telah diriwayatkan dalam hadits, suatu saat diajukan seorang pencuri wanita kepada Rasulullah untuk diadili dan dijatuhi hukuman had (potong tangan). Usamah bin Zaid memohon keringanan hukuman kepada Rasulullah, namun sikapnya ini justru ditanggapi Rasul seraya bersabda, “Apakah kamu mengajukan keringaanan terhadap salah satu hukuman dari Allah? Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong sendiri tangannya” (HR Bukhari dan Muslim)
Ini menjadi salah satu bukti adilnya sistem Islam. Islam sebagai agama dan sistem dilaksnakan secara utuh dengan tegas.
Adapun asasnya, pertama, ketakwaan individu yang mendorong untuk terikat kepada syariat, kedua pengawasan masyarakat, dan ketiga negara menerapkan syariat Islam secara utuh. Tentu saja, dengan menerapkan Islam secara kaffah akan terbentuk keadilan atas rakyatnya.
Terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat membentuk kesejahteraan di segala sendi-sendi kehidupan. Sehingga ketika negara telah memberikan pemenuhan sempurna kebutuhan rakyatnya, namun rakyatnya tetap melakukan kriminalitas. Maka mereka akan dihukum dengan adil di depan masyarakat akan menjerakan dan menimbulkan efek pencegahan dari tindakan serupa.
Islam juga terbukti berhasil mengatasi wabah sebelum menjadi pandemi. Dengan lockdown dan jaga jarak, wabah teratasi. Selain itu, Islam menggratiskan pangan dan layanan kesehatan tanpa tebang pilih. Pemimpin yang dihasilkan dari sistem ini, menjadi pemimpin yang begitu dicintai. Ia lebih mementingkan nyawa daripada hitung-hitungan ekonomi. Sehingga tak perlu sampai membebaskan Napi. Pemimpin dan sistem seperti ini yang kita butuhkan saat ini.