Oleh : Yana Ummu Ghazi
(Pemerhati Sosial)
Amerika Serikat (AS) lewat Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara-negara berkembang sejak senin 10 Februari 2020. Dengan kata lain Indonesia yang sebelumnya sebagai negara berkembang saat ini berstatus menjadi negara maju.
Penetapan Indonesia sebagai negara maju merupakan kebijakan sepihak AS. WTO sendiri tidak memiliki definisi resmi untuk mengategorikan sebuah negara sebagai negara maju atau berkembang. Di dalam aturan WTO, penentuan sebagai negara maju atau berkembang ditentukan sendiri oleh negara bersangkutan. Namun, tak serta merta disetujui oleh semua negara-negara anggota WTO. Lantas, apa yang diinginkan Amerika Serikat dari pencoretan Indonesia dari negara berkembang?
Wajah Si Negara Maju
Setahun terakhir ini, pemutusan hubungan kerja (PHK) di dunia usaha semakin masif saja. Baik perusahaan baja, manufaktur, hingga telekomunikasi. Bahkan, startup yang sudah menjadi unicorn pun tak luput dari “badai” PHK. Misalnya, per 14 Februari 2020 ini, PT Indosat melakukan PHK terhadap 677 karyawan. Bukalapak juga melakukan PHK dengan alasan menata diri secara terbatas. Sementara Net TV melakukan PHK dengan alasan efisiensi.
Adapun Krakatau Steel, sejak 1 Juni 2019 lalu merumahkan 300 karyawan outsource. Dan akan terus berlanjut hingga Juli dengan merumahkan 800 karyawan. Angka itu belum termasuk karyawan organik di BUMN baja tersebut.
PHK massal juga terjadi di Batam, kepulauan Riau. Sebanyak 2.500 orang di sana terpaksa kehilangan pekerjaan akibat di-PHK karena tutupnya dua pabrik di sana. Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, Rudi Sakyakirti mengatakan dua pabrik itu ialah PT Foster Electronic Indonesia dan PT Unisem Batam.
BPS mencatat nilai impor Indonesia pada Juli 2019 mengalami peningkatan sebesar 34,96 persen menjadi 15,51 miliar dollar AS. Sementara persentase nilai impor menurut penggunaan barang masih didominasi oleh bahan baku atau penolong. Diikuti barang modal dan barang konsumsi.
Artinya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif pun, rezim pemerintahan negeri ini membangun ketergantungan kepada negara lain. Bukan membangun kemandirian.
Bagaimana mungkin bermimpi menjadi macan Asia? Sementara berbagai kebutuhan negeri berpenduduk 200 juta orang lebih ini, pasarnya dikuasai negara lain. Ada tiga negara pemasok utama barang impor terbesar selama Januari-Juli 2019. Posisi pertama masih ditempati Cina dengan nilai impor 24,73 miliar dollar AS. Selanjutnya adalah Jepang dan Thailand.
betapa dekadensi moral sudah sedemikian parah memapar generasi. Pergaulan bebas, narkoba, LGBTQ, inses, praktik aborsi, pornografi-pornoaksi, atau budaya kekerasan, nampak kian lekat dalam kehidupan masyarakat hari ini. Padahal tak bisa dipungkiri, rata-rata pelakunya adalah generasi terdidik. Bahkan, budaya kekerasan justru kian kerap terjadi di lingkup pendidikan.
Di luar itu, perilaku koruptif pun kian parah menjangkiti para pejabat negeri. Bahkan di antara mereka ada yang rela menjual kedaulatan negara dan berkhidmat untuk kepentingan aseng maupun asing. Padahal mereka, lagi-lagi merupakan kaum terdidik.
Alhasil, semua ini cukup memberi gambaran betapa pendidikan sekularistik yang telah lama diterapkan nyaris gagal membawa nilai-nilai kebaikan. Pendidikan selama ini hanya mampu mengasah skill dan kecerdasan, tapi nyaris gagal mengasah keluhuran adab dan ketinggian moral.
Terjebak Labeling Negara Barat
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga membenarkan. Ia mengatakan perubahan status Indonesia tidak mempengaruhi fasilitas GSP. Proses evaluasi fasilitas GSP oleh AS hampir final, yakni 90 persen. "Tidak ada hubungannya (dengan GSP). Jadi, suatu hal yang berbeda. USTR sudah komunikasi dengan kami dan tidak ada pencabutan," ujarnya.
Justru, ia menilai kenaikan kelas ini menjadi hal yang patut disyukuri oleh masyarakat Indonesia. Sebab, ini menunjukkan kemampuan ekonomi Indonesia dinilai secara positif oleh AS. "Saya pikir malah semakin meningkat karena dari negara berkembang ke negara maju. Intinya, kami sambut baik dan tidak ada hubungannya dengan GSP," imbuhnya.
Kebanggaan ini sungguh tak tepat, karena kebijakan AS tersebut akan membuat perdagangan Indonesia buntung dan bunga utang membengkak.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira tak melihatnya dengan 'kacamata' serupa. Ia menilai naik kelas versi AS itu, lambat laun akan menghapus fasilitas GSP yang diterima RI. Ia bahkan meragukan penjelasan AS kalau pengaruhnya hanya kepada de minimis threshold pemberian subsidi impor. "Karena tidak mungkin AS akan memakai standar ganda soal definisi developed (negara maju) dan least developed country (negara berkembang) untuk WTO maupun GSP," tutur dia.(CNN,25/02)
Ia menduga tujuan kebijakan itu untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan AS. Mengutip CNN, neraca perdagangan AS defisit sebesar US$616,8 miliar pada 2019. Namun, angka defisit itu menyusut pertama kalinya dalam 6 tahun terakhir.
Pada 2018, defisit dagang AS melonjak dan mencatatkan rekor tertingginya dalam 10 tahun terakhir sebesar US$621 miliar. Berkurangnya angka defisit ditengarai karena kebijakan perang dagang AS dengan China. Itu membuktikan proteksi dagang AS membuahkan hasil.
Dalam pertimbangan yang digunakannya, USTR hanya menggunakan indikator GNI, pangsa perdagangan global dan faktor-faktor tambahan seperti keanggotaan Uni Eropa (UE), keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), serta keanggotaan G20.
USTR mengabaikan indikator negara berkembang lainnya, seperti angka kematian bayi, angka buta huruf orang dewasa, dan harapan hidup saat lahir. Ini menunjukkan bahwa labeling sebagai negara maju atau berkembang adalah alat politik AS untuk meningkatkan pemasukan negaranya dari perdagangan luar negeri.
Politik labeling tersebut jelas berorientasi pada keuntungan politik dan ekonomi AS, bukan kemaslahatan seluruh negara di dunia. Kita bisa melihat saat ini bahwa kebijakan AS selalu hanya untuk kepentingan mereka. Indonesia diposisikan oleh AS sebagai negara yang bisa dimanfaatkan secara ekonomi untuk mendukung kepentingan mereka.Lantas, mengapa pemerintah merasa bangga dengan kebijakan AS ini?
Karena itu, ada baiknya kita sedikit merujuk ke belakang. Selain investasi pribadi, pada 2018 AS telah menguraikan bantuan senilai lebih dari $110 juta berupa dukungan AS untuk proyek-proyek digital, energi, dan infrastruktur untuk membantu menyebarkan kemakmuran di kawasan yang merupakan rumah bagi sepertiga populasi dunia dan empat dari enam ekonomi terbesar di dunia. AS berkomitmen terhadap proyek investasi publik-swasta yang baru di negara-negara di seluruh wilayah ini, termasuk Papua Nugini.Yang mana, sejak dulu telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negeri Muslim yang besar dan dengan kekayaan alam yang melimpah.
Sudah menjadi rahasia umum pula, perusahaan-perusahaan dari Negeri Paman Sam, bertebaran di negeri ini. Yang dengannya, sangatlah dapat dimengerti bahwa hingga abad milenium ini, AS masih senantiasa memandang penting Indonesia.
Pasalnya, memang dalam konstelasi politik internasional saat ini, baik mencakup tataran kebijakan maupun aksi politik, akan selalu terjadi perebutan pengaruh dan kepentingan di antara sejumlah negara adidaya dan juga negara-negara besar lainnya.
Dari Tsauban Radhiyallahu‘anhu, Rasulullah saw. bersabda:
“Hampir-hampir musuh-musuh ini memperebutkan kalian (umat Islam) -dalam riwayat lainnya: dari seluruh penjuru-, layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki bertanya: “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?”
Beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air dan Allah Ta’ala akan mencabut dari dada musuh-musuh kalian rasa takut kepada kalian serta akan menanamkan ke dalam hati kalian Al-Wahn.”
Seseorang lalu berkata: “Wahai Rasulullah, apa itu Al-wahn?”, beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.”.
(Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala, 5/278 dan Abu Dawud Rahimahullahu Ta’ala, 4/111 no.4297)
Islam Membawa Kemajuan Hakiki
Berdasarkan semua ini, tidaklah mengherankan jika Indonesia “mendadak” berubah status, seolah tiba-tiba menjadi negara maju. Status ini tak lain adalah wujud menguatnya pengaruh AS di Indonesia, terlebih pascawabah corona di Cina, yang cukup memporakporandakan megaproyek OBOR (One Belt One Road) yang peta geografisnya melewati kawasan nusantara. Kondisi ini rupanya membuat AS bergerak cepat memanfaatkan posisi Cina yang melemah.
Atas semua ini, sungguh Allah ‘Azza wa Jalla telah melarang memberikan jalan apa pun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman, dalam firman-Nya
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141).
Ayat ini relevan untuk dijadikan dalil keharaman memberikan jalan kepada pihak asing (kaum kafir) dalam menguasai kaum mukmin. Namun makna ayat ini hanya dapat diwujudkan oleh sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyah.
Sudah saatnya negeri ini menganulir kapitalisme beserta hegemoninya. Jika ingin menjadi negara maju yang hakiki, Indonesia bersama negeri muslim lainnya harus menerapkan ideologi yang sahih yakni Islam. Yaitu dengan mewujudkan negara yang menerapkan ideologi Islam yakni khilafah. Khilafah akan mengayomi kita, bukan mengeksploitasi sebagaimana AS.
Hanya dengan ideologi Islam, maka negeri ini layak meraih kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyah) untuk seluruh dunia. Dan dengan ideologi Islam di bawah naungan Khilafah pula, kehormatan politik dan ekonomi negeri ini bisa diraih sekaligus meruntuhkan ideologi kapitalisme besutan AS. Wallahu A'lam