By : Messy
Di ruangan persegi yang berukuran kurang lebih 4*4 cm. Kecil, sederhana tapi aku betah berlama-lama berada di sini. Aku biarkan punggungku terjatuh di ranjang sofa yang keras bagai batu kerikil. Hufft, saatnya beristiahat dari kejaran waktu dan tumpukan tugas yang menggunung. Tapi, mataku masih belum ingin tenggelam dalam lautan mimpi, masih terhipnotis dengan rak buku beralaskan papan tua kecoklatan.
Di atasnya, mentari bersembunyi melintasi jendela. Sinarnya menciptakan kebahagiaan bagi jejeran lembaran-lembaran kertas tersebut. Buku yang bermandikan debu tampak sekilas tersenyum. Namun, ada satu senyuman yang penuh makna dan tanya.
Sungguh, fenomena langka dan tak boleh di biarkan berlalu begitu saja. Sontak kedua kaki mungilku segera berselancar. Dengan sigap jemariku merampas ia dari keluarganya. Keluarganya geram tapi biarlah, aku hanya meminjam anak bungsunya sekejap.
Aku hempaskan komunitas debu yang menempel ditubuhnya. Kulitnya masih cetar dengan warna birunya. Lalu aku membuka apa yang tersimpan dalam tubuhnya secara rinci. Hanya lembaran-lembaran biasa yang sudah terisi penuh dengan untaian doa. Tiap-tiap barisnya diwarnai oleh beragam tinta.
Jantungku terhenyak ketika singgah di salah satu bagian lembaran kertas tersebut. Seakan terasa berhenti dan tak ingin berpacu lagi. Goresan di dalamnya sederhana, namun makna sajaknya begitu dalam. Seakan menembus segala sekat didasar samudera hatiku. Aku menatap lekat pesegi empat berwarna kebiruan itu. Tak salah lagi, ada yang aneh dengan buku tua ini. Sontak air mataku mendarat di bandara wajahku. Seakan membentuk sungai kecil di depanku. Dia egois, memaksaku untuk kembali masuk dalam dunia itu. Dunia yang selaras dengan tiap bait lembaran-lembaran kertas yang berada dalam genggamanku.
-
Mentari melintasi sumbunya sembari menyusuri seluk beluk ruang dan waktu. Dengan getaran nada hati bagai petir yang menepaki setapak kakiku. Lambat laun warna biru yang cetar itu memudar berganti dengan warna kemerahan. Gerimis hatiku belum usai, masih tersisa gumpalan di dalamnya. Bumi pertiwi tampak bersahabat. Seakan mengizinku untuk mengunjungi taman surga. Sebaik-baik tempat bersua dengan sahabat taat dan dido'akan para malaikat.
Sirna sudah semua tumpuan harapan dan kasihku. Ketika Ibu melemparkan hadiahnya untukku. Kecil, bulat tapi begitu sakit ketika bersentuhan dengan tubuhku. Seketika dahiku berubah menjadi warna merah jambu. Ibu berhasil membuatku tertidur bersama kuda besi yang bertengger di kakiku
Tubuhku menjerit kesakitan. Perlahan aku menyapu setiap butiran tanah yang menyatu dengan tubuhku. Aku mengalihkan pandanganku dari tatapan sinisnya. Aku menatap lekat wajahnya. Menelisik raut wajahnya yang hampir sama denganku.
“Najwa, kamu mau pergi ke kajian?,” tanya Ibu dengan suara lantang.
Astagfirullah, apakah aku harus berhadapan dengan wajah seram itu lagi?. Rasanya mataku ingin terpejam, agar tak memandang wajahnya. Tapi, aku tak bisa.
“Iya, Bu. Tadi, aku sudah meminta izin pada Ibu. Tapi, Ibu hanya diam,” ucapku menundukkan pandangan sembari menyembunyikan rasa gugupku.
“Siapa yang mengajarimu untuk melawan Ibu? Selama sebulan terakhir ini, kamu telah berubah. Tidak mau lagi mendengarkan perkataan Ibu. Ibu telah mengatakan padamu, jangan mengikuti kajian sesat tersebut. Tapi, kamu masih saja keras kepala,” mata Ibu melotot sembari memangku tangannya.
“Maafkan aku, Ibu. Aku tidak mengikuti kajian sesat. Aku belajar Islam yang sesuai Al-Qura'n dan Sunnah," jelasku sembari mengatur detak jantungku yang mulai tak beraturan.
Ibu berjalan mendekatiku sembari meraih tanganku "Mana kunci motormu?” tanya Ibu.
Aku hanya bisa terdiam sembari mengamini permintaannya. Ibu murka lalu menarik mahkota kebanggaanku. Aku rampas dengan secepat kilat kerudungku dari genggamannya. Tak mengapa, detik ini air mata duka yang mengalir deras. Tapi esok akan Allah ganti dengan air mata bahagia. Aku hanya perlu sabar dalam menunggu.
-
Aku luapkan segala jeritan hati pada sahabat setiaku. Sahabat yang paham betul akan diriku. Tak pernah membantah setiap perkataanku. Tak pernah menyalahkan setiap perbuatanku. Biarkan dia nantinya yang akan menjadi sanksi bisu perjuanganku. Merekam semua pengorbanan dalam perjuangan mencari ridha Pencipta.
Tapan, 12 September 2016
Assalamu’alaikum sahabat setiaku. Hari ini, langit seakan runtuh dan bumi seakan hancur. Itulah sajak yang mewakilkan kegundahan hatiku. Ibu, perempuan berhati bidadari yang aku kenal semenjak enam belas tahun silam. Berubah tiga ratus enam puluh derajat sejak sebulan ini. Sering marah, kasar, dan terkadang tak jarang bermain tangan. Aku seakan tak mengenali Ibuku yang sekarang.
Ibu, tak pernah menyukai jubah longgarku. Baginya, itu pakaian perempuan hamil atau perempuan tua. Ibu, juga tak menyukai kerudung lebarku. Baginya, itu panas dan ribet untuk dikenakan. Aku tak pernah lelah mendoakannya dalam diam. Setiap untaian kataku, selalu kuselipkan namanya. Love you, Mom.
*Najwa*
-
Gerbang salah satu sekolah terfavorit di daerahku menjerit. Seolah dengan senangnya menyambut kedatangan kaki-kaki mungil yang memasukinya. Rumah persinggahan para anak bangsa untuk menempa diri. Suasana kental akan pentingnya suatu bekal untuk masa depan. Kokoh berdiri siap mencetak generasi terbaik bangsa. Puluhan ruang belajar yang berdiri tegap begitu terbingkai rapi, membuat geram kaki siapa saja yang menapakinya. Bunyi lonceng disambut dengan hiruk pikuk oleh para siswa.
“Najwa, kemarin kenapa kamu tidak pergi kajian?” tanya Syifa.
“Kemarin, Ibu marah lagi. Aku tidak dibolehkan pergi. Resikonya, hari ini aku tak dibolehkan bawa motor. Kuncinya disita Ibu,” curhat Najwa.
Seketika seorang gadis bermuka masam menghalangi pandanganku.
“Lagi sedih ya? Najwa, ini peringatan terakhirku untukmu. Tidak perlu kamu sok perhatian kepadaku. Tidak boleh pacaran, tidak boleh poto dengan bukan mahram,” tatap gadis itu dengan sinis.
“Hana, berhentilah menganggu Najwa” Syifa membela.
“Aku minta maaf," ujarku sembari memelas maaf.
-
Inikah yang namanya siang atau memang mentari yang tengah marah. Tidak memberi kesempatan awan untuk menyelimuti bumi dalam sekejap saja, semua habis seakan dilahap panasnya. Semua tidak tersisa sedikitpun, semua tidak terlewatkan. Semua tidak diberi kesempatan, meski sekejap semua tidak diberi ampun. Begitu pula siapapun yang merasakannya, tidak diberi izin meski hanya sebentar saja. Sejenak hanya ingin memutar waktu kembali pada pagi tadi. Biar bisa dikantongi sejuk-sejuk dari daun cemara. Untuk sebuah bekal menapaki panas, biar tidak terbakar di bawah siang.
Belum sempat bibirku menyapa rumah, mataku kembali pangling dengan hadiah yang diberikan Ibu. “Kenapa semua jilbabku Ibu keluarkan dari lemari?” tanyaku. Ibu dengan bangga memamerkan jilbabku. Bukan bermaksud memuji, tapi sebaliknya. Ibu menghina seragam sekolahku yang sebelumnya sudah berubah menjadi gamis.
“Iya, Bu. Seharusnya seperti itu pakaian seorang muslimah,” jelasku lembut.
“Pikiranmu telah diracuni oleh kajian sesat itu. Lihat, apa yang akan kamu dapatkan,” ejek Ibu.
“Ibu mau berbuat apa terhadap jilbabku?” air mataku mengalir deras sembari mengumpulkan satu persatu jilbabku yang dibiarkan terjatuh di lantai.
“Sini, bajumu,” Ibu menarik paksa jilbabku sembari mendorongku ke kamar.
"Mau Ibu apakan jilbabku?“ teriakku dari balik pintu kamar.
"Akan Ibu bakar bajumu."
-
Seiring detik bergulir dengan asa yang membahana. Saat rumput tertawa bahagia bersua dengan mentari. Aku harus tetap tersenyum untuk siapapun yang mencintaiku, termasuk Ibu. Aku harus tetap ceria, untuk menjalani hidup yang penuh suka cita. Meski, banyak angin yang menghambat langkahku. Meski, harus terjatuh dan terluka berulang kali. Aku harus bangkit dan meneruskan perjalanan. Sebab, aku yakin ada hadiah surga yang sudah Allah sediakan bagi orang-orang yang yakin.
“Kamu tidak sekolah, Naj?” tanya Ibu yang tengah fokus menonton berita.
“Tidak, Bu. Aku ingin di rumah, menghabiskan waktu bersama Ibu”, Aku merayu. Tapi, hatiku berkata lain. Bagaimana aku mau pergi ke sekolah, Bu? Sedangkan bajuku Ibu bakar.
“Tadi Ibu menonton berita tentang harga BBM dan harga bahan pokok yang melambung tinggi. Ibu iba melihat banyak rakyat yang menjerit. Tapi, pemerintah tampaknya berlepas tangan akan hal itu,” jelas Ibu.
Jari jemariku fokus memijit tubuh Ibu yang mulai renta, “Begitulah fakta yang terjadi sekarang, Bu. Hidup terasa terbelenggu dalam sistem sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Agama tak boleh berperan mengatur kehidupan. Maka tak salah, banyak kebijakan penguasa yang berseberangan dengan rakyat.
Ibu terdiam mencoba memahami ucapanku. “Lantas apa yang harus kita lakukan agar semua penderitaan ini segera berakhir?” tanya Ibu pernah penasaran.
“Tak ada solusi lain kecuali solusi yang ditawarkan oleh Islam, Bu. Dalam sistem Islam, negara menjamin kebutuhan setiap rakyatnya tanpa terkecuali. Untuk pelayanan umum semua tak berbayar atau sesuai mudah diakses oleh rakyat."
“Bagus itu kalau sistem Islam diterapkan di seluruh dunia,” Ibu menganggukkan kepala.
“Iya, Bu. Makanya, Ibu harus memberi izin untukku mengkaji Islam. Agar sistem Islam itu segera diterapkan kembali di seluruh pelosok negeri," bujukku mencoba meluluhkan hatinya.
Ibu hanya diam terpaku, tak ada satupun kata yang terlontar dari mulutnya. Kutatap matanya lekat-lekat ada setitik cahaya dalam bola matanya.
-
Aku mendekap erat sahabat setiaku. Tampak ada bagian tubuhnya terluka. Tubuhnya masih terasa basah sebab deraian air mataku tadi. Kebahagiaanku dengannya kembali diganggu oleh orang ketiga. Iya, pintu kamarku tengah menjerit kesakitan. Seperti ada seseorang dari luar yang menyakitinya. Aku memaksa kakiku berjalan mendekati pintu lalu membukanya.
“Ibu? Ada apa Ibu memanggilku?” tanyaku.
“Ini buatmu,” Ibu menyodorkan sebuah bingkisan.
Seketika Aku membuka bingkisannya, “Jilbab. Terima kasih, Bu,” Aku mendekap mesra malaikat tanpa sayapku.
“Semoga kamu suka dengan gamisnya. Doakan juga Ibu punya banyak rezeki, agar bisa membeli gamis untukmu lagi,” Ibu memandangku dengan penuh cinta.
Aku mengiyakan.
Tapan, 12 Januari 2018
Assalamu’alaikum sahabat setiaku. Saat ini, Aku akan mengoreskan tinta kebahagiaan untukmu. Sahabat, masihkah engkau ingat dengan cerita Ibu yang terukir di sini?. Kini, Ibu yang Aku kenal delapan belas tahun yang lalu telah kembali. Dia masih menjadi malaikat tanpa sayapku. Mencintai, menyayangi, dan mengasihiku seperti sedia kala.
Dia kembali mewarnai duniaku dengan pelangi yang indah. Dia telah mengizinkanku untuk tetap berada dibarisan perjuangan ini. Bahkan, dia memintaku untuk tetap bertahan sampai ajal menjemputku. Dia bangga dengan pilihanku, mejadi pejuang Islam. Satu pesannya yang selalu tergiang dibenakku, “Tetaplah menapaki jalan yang telah ditapaki oleh Rasulullah dan para sahabat.” Allahu Akbar!
*Najwa*
***
#KomunitasAktifMenulis
#MenulisUntukPeradaban
#SetorTugasPeubi