Hukum Suka-suka di Negeri Dilan



                        Oleh : Yunanda Indah
                      Aktivis Dakwah Kampus

Dilansir oleh CNN Indonesia.co (04/04/20), Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM) telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 narapidana dan anak melalui program Asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus corona.
Dengan kebijakan nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tahun 2020 tentang pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19. (Tirto.co, 31/01/20)
Menurut Yasona H. Laoly ini adalah jalan yang diambil oleh pemerintah guna mencegah penularan virus Corona di area lapas yang melebihi dari kapasitas penghuni lapas tersebut. Kebijakan tersebut menuai pro kontra publik karena secara tidak langsung membuka peluang besar untuk para Nara Pidana (NAPI) melakukan tindakan kriminal lainnya.

Pemerintah seolah tidak mempertimbangkan sebab akibat dari kebijakan yang dikeluarkan, bahkan menurut Yosanna mengatakan pada masyarakat yang kontra dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya orang yang tumpul kemanusiaan yang tidak terima apabila napi dibebaskan. Bersamaan dengan bebasnya ribuan napi tanpa syarat, pemerintah justru memproses aktivis Islam yang menyuarakan kebenaran.
Padahal presiden Jokowi menegaskan bahwasanya tak pernah ada pembahasan mengenai pembebasan napi korupsi dalam rapat di tengah upaya pencegahan pandemi covid-19.
“ Saya hanya ingin menyampaikan bahwa pembebasan napi koruptor tidak pernah kita bicarakan dalam rapat-rapat kita, ujar Jokowi saat membuka rapat Terbatas Laporan Gugus Tugas di Istana Presiden, (CNN Indonesia.co, (06/04/20)
Beginilah kenyataan miris di negeri Dilan, hukumnya suka-suka. Sementara dalam  UUD 1945  pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal tersebut yang digaung-gaungkan hanya tulisan tidak berarti, bahkan hanya sebatas dongeng belaka. Hukum hanya berpihak kepada siapapun yang pro rezim, maka tidak heran apabila hukum yang dihasilkan adalah hukum suka-suka.

Kebijakan pembebasan ribuan napi ini membuktikan bahwa pemerintah telah menghianati kepercayaan rakyat Indonesia seluruhnya. Bagaimana tidak? Napi yang telah dipenjarakan dengan tindakan kriminal yang dilakukan justru dibebaskan dengan dalih menghemat anggaran negara.
Sementara itu, dengan pembebasan napi yang digadang-gadangkan sebagai solusi yang diambil pemerintah untuk menghemat anggaran negara untuk kebutuhan Warga Binaan Permasyarakatan (WBP) hingga 260 Miliyar. Penghematan ini semakin menjadi setelah 30 ribu narapidana dan anak mendapatkan Asimiliasi di rumah serta mendapatkan hak integritasi berupa pembebasan bersyarat, Cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat. (Tirto.id, 01/04/20)
Disamping itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan permasyarakatan, menuai polemik di tengah pandemi COVID-19 ini. Masyarakat menganggap pemerintah seolah mencari kesempatan untuk meringankan hukuman bagi para koruptor.

Pembebasan napi oleh Kemenkuham mendapat komentar dari berbagai kalangan, termasuk Zaenurrohman, peneliti pusat kajian anti korupsi UGM. Dimana ia menyatakan bahwa napi dengan kasus korupsi, narkoba dan terorisme merupakan kejahatan serius yang ada di Indonesia, seharusnya tidak ada peluang para pelaku kejahatan tersebut haru dibebaskan dengan syarat apapun, kecuali mereka yang tengah mengalami kondisi kesehatan memburuk, sehingga atas dasar kemanusiaan inilah mereka bisa dibebaskan. Jadi bukan dilihat dari batasan umurnya atau kriteria lainnya melainkan kondisi kesehatan yang memburuk dengan dibuktikan surat kesehatan dari medis. Kondisi kesehatan yang memburuk dalam artian kondisi yang benar-benar mengkhawatirkan bagi si pelaku, artinya yang mengancam nyawa pelaku, sehingga ada peluang ia dibebaskan.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Yasona padahal berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.  Bahwasanya pelaku koruptor dan pelaku tindak kriminal biasa ditempatkan di tempat dan suasana yang berbeda. Keadaan para koruptor dengan fasilitas mewah bak hotel berbintang yang menjadi tempat kediamannya selama masa tahanan, sedangkan napi dengan tindak kriminal pada umumnya menghuni lapas yang sumpek. Lantas dari segi mana pemerintah mengeluarkan kebijakan ngawur seperti ini ?
Setelah disahkan peraturan pemerintah (PP) mengenai pembebasan napi, ada kebahagiaan yang dirasakan dari ribuan napi setelah pemerintah berhasil mensahkannya. Namun dibalik itu semua, justru akan menimbulkan keresahan tersendiri bagi masyarakat. pasalnya negara Indonesia akan membebaskan ribuan napi ke tengah masyarakat. Andai negara Indonesia bisa memanfaatkan ribuan tenaga napi untuk aktivitas bermanfaat selama masa pandemi covid-19, salah satunya aktivitas menjahit Alat Pelindung Diri (APD) sama halnya negara Malaysia guna membantu petugas medis selama masa genting ini. Namun sayangnya, dengan pembebasan napi bukkan menjamin rasa aman masyarakat, tetapi justru membuat masyarakat dihantui dengan keberadaan napi selama pandemi.

Tak bisa dipungkiri korupsi adalah kejahatan klasik yang masih terjadi di Indonesia yang tak kunjung ada obatnya, meskipun sudah banyak upaya yang dilakukan namun pada faktanya kasus korupsi terus saja menggurita. KPK yang menjadi angin segar untuk mengatasi persoalan korupsi malah tidak mampu membendung arus maju pergerakan tindak pidana korupsi ini. KPK hanya menjadi bulan-bulanan untuk sekedar pemburu dan penangkap pelaku koruptor. Namun pelaku korupsi yang ditangkap hanya divonis dengan hukuman yang ringan oleh Lembaga Peradilan. Pencegahan atau efek jera sama sekali tidak berjalan efektif untuk pencegahan korupsi.

Alhasil, korupsi di bumi pertiwi kian menggurita bahkan sulit ditemukan obatnya. Permasalahan sistematis hanya selalu ditawarkan dengan solusi kelembagaan. Padahal korupsi dan permasalahan lainnya merupakan permasalahan cabang yang harus diselesaikan dengan pemasalahan pokok yakni dengan sistemik dalam artian perubahan besar-besaran dalam ranah sistem.

Islam solusinya
Untuk menuju Indonesia yang baldatun tayyibatun warabul ghafur hanya dengan penerapan syariah Islam secara kafah. Karena dalam sistem Islam, Korupsi juga sebagai agenda terpenting untuk memutus mata rantai penyebarannya yakni dengan pengawasan yang memadai.

pertama, pengawasan yang dilakukan individu, artinya adanya ketakwaan individu kepada Allah swt. sehingga semua perbuatan yang dilakukan menimbang-nimbang sesuai tuntunan syara, sehingga adanya rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan sendiri ataupun ramai.

Kedua, pengawasan dari kelompok, artinya masyarakat atau kelompok juga memiliki visi dan misi yang sama untuk mengurangi angka korupsi ini, sehingga terciptanya kehidupan masyarakat yang susuai dengan syariat islam.
Ketiga, pengawasan dari Negara, negara merupakan institusi terpenting untuk melaksanakan kebijakan sesuai dengan syariat islam, sehingga kebijakan yang dikeluarkan sangat mudah dilaksanakan oleh kelompok atau masyarakat.

Dengan ketiga pengawasan yang dilakukan oleh Individu, kelompok dan negara mampu menutup peluang korupsi semakin kecil. Dan juga dilakukan tindak pidana yang keras kepada pelaku kejahatan, misalnya para pencuri dipotong tangannya. Ini menunjukkan Islam sangat tegas memberikan hukuman kepada para pelaku tindak pidana untuk menimbulkan efek jera.
Islam memiliki aturan yang terkait dengan uqubat dan sanksi sebagai pencegahan dan penebus dosa. Sebagaimana untuk menghentikan tindak korupsi oleh pejabat negara adanya pencegahan yang dilakukan negara, misalnya dilakukan potong tangan sebagai efek jera bagi yang melakukan tindak korupsi atau bagi mereka yang menyaksikannya.

Inilah cara yang ditempuh oleh Islam dibawah naungan sistem Khilafah Islamiyyah untuk memberantas korupsi, dan sanksi yang dikenakan harus secara menyeluruh tidak setengah-setengah, sehingga terwujudlah Islam yang Ramatan lil’alamin.
Wallahu a'lam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak