Oleh: Ummu Syaqieb*
Di tengah badai virus corona yang melanda negeri ini, publik dikejutkan kabar yang datang dari Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Sang menteri, Yasonna Laoly, meneken Keputusan Menteri mengenai Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Jumlah narapidana yang dibebaskan mencapai sekitar 30 ribu orang.
Yasonna berdalih, kebijakan yang diambilnya merupakan hasil rekomendasi dan permintaan banyak lembaga internasional, antara lain Komisi Tinggi PBB untuk HAM, Sub Komite bagian Pencegahan Penyiksaan PBB, WHO, dan Unicef. Sebagaimana diketahui, negara-negara lain yang lebih dulu terkena wabah COVID-19 seperti Iran dan Brazil sudah membebaskan ribuan napi mereka dengan sejumlah persyaratan. Yasonna juga mengklaim, pembebasan para napi tersebut telah menghemat anggaran negara sebesar 260 miliar.
Keputusan pemerintah itu menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Sebagian mengungkapkan kekhawatirannya terhadap efek kebijakan. Pelepasan puluhan ribu narapidana dikhawatirkan akan meningkatkan angka kriminalitas di tengah situasi ekonomi yang sulit secara seperti sekarang ini. Keresahan tersebut sangatlah wajar.
Namun, yang membuat publik makin terhenyak adalah wacana pembebasan narapidana kasus korupsi, bagi koruptor berusia 60 tahun ke atas dan sudah memenuhi 2/3 masa tahanan. Menanggapi wacana ini, kritik tajam dari berbagai kalangan pun bermunculan. Mereka menganggap wacana tersebut melukai keadilan, bahkan mementahkan kinerja KPK selama ini.
Meski kemudian dianulir oleh pernyataan presiden Jokowi yang menegaskan tidak ada narapidana korupsi yang dibebaskan terkait upaya penanggulangan Covid-19. Namun sinisme publik tidak langsung mereda. Salah satunya datang dari Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana.
Kurnia menilai pernyataan Jokowi hanya "kesenangan semu". Pasalnya, pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS) diketahui telah disetujui untuk kembali dilanjutkan. DPR dan pemerintah akan segera duduk bersama membahas RUU itu. Revisi UU Pemasyarakatan (RUU PAS) berpotensi memperingan syarat bagi napi korupsi memperoleh asimilasi, remisi, dan pembebasan bersyarat.
Dalam catatan ICW, setidaknya untuk kurun waktu 2015-2019, Yasonna Laoly telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan pada tahun 2019 melalui revisi UU Pemasyarakatan. Selalu membawa isu yang sama, yakni mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman. Padahal PP 99/2012 diyakini banyak pihak sebagai aturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi.
Inilah sekelumit wajah suram penegakkan hukum dalam alam kapitalisme sekular seperti sekarang ini. Dimana hukum yang mengatur kehidupan manusia, termasuk hukum persanksian, merupakan buah pikir akal manusia. Sikap ini lahir dari paham kebebasan, saat manusia merasa bebas menentukan kehidupannya termasuk membuat peraturan dan hukum. Padahal sejatinya akal manusia lemah dan terbatas, tidak mampu memahami hakikat benar atau salah, baik atau buruk. Yang mampu dilakukan sebatas memahami realitas.
Karena lemah dan terbatasnya manusia memahami hakikat sesuatu, maka menjadi wajar hukum buatan manusia selalu berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan kepentingan. Hari ini tidak boleh, esok hari bisa jadi boleh. Revisi hukum menjadi hal yang lumrah. Akhirnya, hukum kental dengan permainan kepentingan (baca: politik). Dalam sistem kapitalisme dimana kendali berada di tangan para kapital, maka hukumpun tak jauh dari kepentingan mereka.
Kondisi ini sangat berbeda dengan Islam, dimana seluruh hukum yang mengatur kehidupan manusia, termasuk sistem persanksian, berasal dari Allah SWT. Atau kita kenal dengan hukum syara. Tidak ada campur tangan kepentingan manusia di dalamnya. Pelaksanaanya menjadi tanggung jawab negara.
Dengan hukum yang murni dan terjaga inilah, hukum persanksian dalam Islam bersifat tetap (fix). Tidak dijumpai perubahan di dalamnya. Di sisi lain, negara sebagai pihak pelaksana senantiasa didorong melalui hukum syara lainnya, agar melaksanakan hukum dengan sebaik-baiknya.
"Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia masuk neraka. Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia masuk neraka. Dan, seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk surga." (HR Tirmidzi).
Sistem persanksian Islam dilaksanakan dengan penuh keadilan. Bahkan pelaksanaan sistem persanksian Islam inilah yang akan menghasilkan keadilan. Hukum pun akan berfungsi sebagaimana mestinya, bersifat Jawabir dan Jawazir. Jawabir bermakna menghapus dosa. Pelaksanaan hukuman/sanksi yang sesuai syariat Islam akan mampu menghapus dosa pelaku kejahatan, sehingga ia bebas dari pertanggung jawaban di akhirat kelak.
Ada pula Jawazir yang dimaknai memberi efek jera. Pelaksanaan hukuman/sanksi dilakukan secara terbuka dan disaksikan oleh masyarakat luas, yang berfungsi menimbulkan efek jera bagi yang melihatnya. Hal ini sangat efektif untuk mencegah munculnya keinginan melakukan kejahatan baru. Jawabir dan Jawazir merupakan keistimewaan yang tidak akan kita temui di luar daripada hukum Islam.
Jelaslah, seluruh hukum syara, termasuk hukum persanksian Islam di dalamnya, merupakan solusi terbaik atas setiap persoalan umat. Penerapannya membawa kemaslahatan, menciptakan keteraturan bagi kehidupan. Melihat carut-marutnya tatanan hukum hari ini, semoga mampu mengetuk pintu kesadaran umat bahwa hanya Islam-lah satu-satunya sistem kehidupan shahih yang wajib untuk diterapkan. []
*( Pemerhati Sosial Masyarakat)
Tags
Opini