Oleh: Nadiya Sidqin
Hari ini semua pihak "dipaksa" untuk sepakat pada keputusan "merumahkan" seluruh aktivitas di tengah kepungan wabah. Termasuk hal ini adalah aktivitas persekolahan. Maka rutinitas sekolah pun berpindah ke rumah menggunakan sistem dalam jaringan (daring). Home learning, belajar dari rumah secara online.
Semua juga sepakat betapa terasa bedanya. Otomatis sensasi proses belajar di rumah dengan di sekolah sangat berbeda. Kondisi ini harus dipahami oleh semua.
Mengkondisikan anak-anak terutama usia sekolah dasar untuk melaksanakan program sekolah sebagaimana mestinya bukanlah perkara mudah bagi sebagian besar orang tua khususnya ibu. Terlebih apabila Sang Ibu diminta full mendampingi anak-anak sesuai jadwal. Amat berat karena jadwal anak akan beredar mengikuti jadwal ibu di rumah.
Sebelum terjadi wabah saja pekerjaan ibu di rumah sudah sangat melimpah. Pekerjaan rumah tangga tanpa asisten sering kekurangan waktu sehingga pekerjaan masih tersisa. Apalagi jumlah anak yang banyak. Keberadaan sekolah dianggap membantu mengalihkan kerepotan ibu dari celoteh dan tingkah sang anak ketika di rumah.
Kini, ketika wabah mengepung, semua harus di rumah sehingga beban rumah kian bertambah. Pekerjaan berjalan mulus sesuai jadwal rasanya hanya mimpi. Nyatanya berbagai kekisruhan kerap terjadi. Ibu lelah bahkan tak jarang marah-marah. Anak-anak stres mendapat tugas harian dari guru. Hampir setiap guru memberikan tugas dengan deadline waktu yang hampir sama sehingga menumpuk. Anak-anak pun tertekan dan tidak nyaman hatinya.
Belum lagi persoalan gadget, signal, dan kuota internet yang kurang mendukung. Ditambah beberapa orang tua yang kondisinya "gaptek". Akhirnya, rumah terasa panas. Aktivitas di rumah terasa membosankan.
Di luar sana, pihak KPAI pun dibanjiri berbagai aduan seputar home learning ini, dimana intinya banyak anak merasa stres. Sedihnya, para guru pun tak luput dari keluhan dan kritik orang tua. Guru pun hampir stres. Orang tua mengkritik sekolah, sekolah mengkritik pemerintah, pemerintah mengkritik guru maupun ortu. Rantai kritik pun terus berputar-putar. Apabila kondisi ini dibiarkan begitu saja, akan banyak pihak yang terinfeksi virus stres. Sungguh, itu adalah kondisi yang tidak diinginkan.
Padahal, undang-undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 menyebutkan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Secara tekstual, fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita memang ideal. Tetapi bagaimana implementasinya? Tentu saja masih jauh dari harapan. Mengapa demikian?
Bila ditelusuri, selama ini semua pihak, baik para siswa, guru, sekolah, dan pihak orang tua sedang berhadapan dengan sistem pendidikan sekuler remang-remang, tidak jelas arah dan tujuan kecuali hanya tekstual. Sudah saatnya semua menyadari bahwa asas pendidikan yang sekuler tidak bisa sinkron dengan tujuan pendidikan yang dimaksud bunyi pasal di atas. Ditambah kurikulum "bunglon" serta sistem administrasi dan standarisasi keberhasilan pendidikan yang "nomaden" termasuk program sertifikasi dan standarisasi kompetensi, serta standarisasi ketuntasan materi pelajaran dan sistem ujian nasional telah membuat semua pihak "klepek-klepek". Padahal menurut para ahli, kondisi stres dapat memicu imunitas tubuh menurun. Bila ini terjadi, wabah penyakit sangat mudah menjangkiti. Naudzubillahi minta dzalik!
Asas sekularisme ini juga diselimuti oleh atmosfer kapitalistik yang tebal. Sehingga dibutuhkan imun dan iman yang kuat untuk bisa menembusnya. Bagaimana tidak, tujuan bersekolah hari ini sangat "materi minded", yaitu untuk beroleh pekerjaan, berpenghasilan. Yang penting lulus. Kalaupun peduli prestasi, maka belajar hanya untuk mengejar ranking dan nilai dalam deret angka tanpa diiringi mutu kepribadian secara nyata. Tak sedikit siswa berprestasi secara akademik namun mengidap penyakit moral. Negara-negara Barat dan Timur seperti Indonesia memiliki banyak contoh kasus dalam hal ini.
Proses belajar dimaknai transfer ilmu semata. Targetnya adalah penuntasan materi, bukan pemahaman materi. Akhirnya yang penting tugas beres, PR beres, ujian beres, semua beres. Sementara itu, target pemahaman terhadap materi masih bersembunyi. Belajar mengajar pun jauh dari kesan menyenangkan apalagi berbinar-binar.
Kondisi ideal mungkin saja bisa dicapai oleh sebagian kecil saja individu guru, siswa maupun ortu yang terkategori "ideal", akan tetapi sekali lagi ini sangat kecil jumlahnya. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa sistem yang diadopsi berkontribusi pada proses belajar sekaligus outputnya.
Oleh sebab itu, dengan model pembelajaran apapun, tidak akan ampuh menepis boring di kalangan siswa, guru, maupun ortu kecuali mindset bersekolah seperti di atas diganti terlebih dahulu agar cita-cita luhur pendidikan nasional terwujud. Percuma gonta-ganti kurikulum, menteri, dan model pembelajaran apabila mindset belajarnya masih sekuler "kolot", jauh dari spirit mencari ilmu dan memuliakan ilmu.
Jadi persoalan pendidikan hari ini bukan hanya pada home learning akibat wabah Corona, melainkan juga paradigma sesat pendidikan yang sekuler dan kapitalistik. Oleh karena itu, bentuk penyelamatan yang paling tepat adalah mengganti paradigmanya dengan paradigma yang shahih yaitu berlandaskan wahyu Alquran dan Hadis. Dari paradigma ini akan lahir spirit belajar anti boring sebab semua paham bahwa menuntut ilmu dalam rangka beribadah kepada Tuhan dan menebar manfaat bagi manusia dan seluruh alam.
Apa dan bagaimana paradigma yang shahih itu dapat ditemukan secara gamblang pada sejarah panjang umat Islam selama 14 abad memerintah. Poin pentingnya terdapat pada mindset negara yaitu sebagai garda terdepan yang menjamin berlangsungnya pendidikan untuk generasi masa depan. Pendidikan diposisikan sebagai kebutuhan primer setiap individu yang dijamin negara tanpa memungut biaya kepada rakyatnya. Negara mengerahkan segenap potensi sumberdaya untuk menunjang keberlangsungan pendidikan. Sistem pendidikan disinkronkan dengan sistem ekonomi yang menyejahterakan dan antiriba, sistem politik yang independen dan tidak bergantung pada bantuan Asing, sistem sosial yang menjaga fitrah insaniah, dan sistem hukum yang manjur mengikis kemaksiatan. Semua berlandaskan keimanan bahwa apa yang Allah turunkan pasti mengandung kebaikan.
Karenanya, sistem pendidikan Islam mampu bertahan pada kondisi apapun, termasuk ketika menghadapi wabah. Cara apapun yang digunakan, baik online maupun offline, tidak akan menemui hambatan yang berarti karena semua menyadari filosofi pendidikan, yaitu menimba ilmu sebagai kewajiban dari Tuhan demi kemashlahatan seluruh alam.
Support yang besar dari negara berupa penyedia fasilitas dan instrumen pendidikan seperti kurikulum, pengajar, tunjangan, dan lain-lain sangat membantu dalam pencapaian visi pendidikan. Outputnya, pada masa Islam memimpin peradaban dunia, nama-nama ilmuwan sekaligus ulama fantastis jumlahnya. Mereka menjadi inspirasi para ilmuwan Barat pada abad sesudahnya.
Dan sekali lagi, keberhasilan sistem pendidikan seperti itu bukan mustahil untuk diulang pada masa sekarang. Syaratnya, ada otoritas negara yang kredibel menjalankannya seperti yang dicontohkan Nabi dan para khalifah sesudahnya.
Wallahu A'lam Bishshowab.