Oleh: Rindoe Arrayah
Penyebaran virus corona ke berbagai negara begitu cepatnya. Berbagai cara dikeluarkan oleh pemerintah masing-masing agar penyebaran virus corona ini bisa dihentikan. Salah satu cara yang ingin diterapkan adalah herd immunity. Solusi herd immunity juga menjadi cara yang ingin diambil oleh pemerintah Indonesia, meski masih menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak.
Istilah herd immunity mengemuka dan populer beberapa waktu terakhir. Herd immunity disebut-sebut sebagai cara yang dapat menghentikan penyebaran infeksi virus corona atau Covid-19.
Kekebalan kelompok atau yang disebut herd immunity merupakan bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular. Namun kondisi ini baru akan terjadi ketika sebagian besar populasi kebal terhadap infeksi, sehingga mampu menciptakan perlindungan bagi individu yang tidak kebal.
Kekebalan kelompok (herd immunity) adalah solusi terakhir dan skenario paling buruk untuk menangani Covid-19 dengan risiko yang besar. Pasalnya, dibutuhkan banyak jumlah orang terinfeksi untuk membentuk kekebalan.
"Herd immunity adalah skenario terburuk sebetulnya, jangan sampai kita terinfeksi semua karena biaya perawatan bisa menjadi lebih mahal," kata peneliti mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (Republika.co.id, 26/03/2020).
Menurut dia, memang dalam teori herd immunity atau kekebalan kelompok atau komunitas membuat kemungkinan virus menginfeksi akan semakin kecil ketika tercipta keadaan banyak orang memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu.
Kekebalan seseorang dapat muncul jika dia sudah pulih dari infeksi penyakit atau lewat intervensi medis atau vaksinasi.
Menurut situs Kementerian Kesehatan sendiri herd immunity menimbulkan dampak tidak langsung (indirect effect) yaitu turut terlindunginya kelompok masyarakat yang bukan merupakan sasaran imunisasi dari penyakit bersangkutan.
Menurut pakar epidemiologi Universitas Padjajaran (Unpad), Panji Fortuna Hadisoemarto, secara teori, kalau suatu penyakit menular sudah menginfeksi sejumlah tertentu di suatu kelompok masyarakat, otomatis herd immnunity terbentuk.
"Dengan asumsi infeksinya akan menimbulkan kekebalan," jelas Panji kepada Liputan6.com, Minggu (5/04/2020).
Panji mengasumsikan jika sebagian besar sudah terinfeksi, angka kematiannya berkisar antara satu sampai dua persen saja. Namun, satu sampai dua persen dari total 75 persen penduduk Indonesia angkanya bukan main-main.
"Kalau dari yang terinfeksi mungkin 1-2 persen saja. Saya pikir 1,5-2,5 juta kematian kalau tidak ada intervensi itu angka yang reasonable," kata Panji.
Angka tersebut bukanlah angka yang sedikit. Artinya, jika pemerintah Indonesia tak melakukan intervensi laju penyebaran virus corona, sekitar satu setengah hingga dua setengah juta penduduk Indonesia akan terbunuh karena virus ini.
Maka lanjut Panji, cara paling efektif untuk menekan angka kematian itu dengan cara menurunkan jumlah kasus baru secara maksimal serta meningkatkan kesembuhan bagi yang sudah terinfeksi. Langkah ini dilakukan dengan cara melakukan isolasi dan karantina.
"Dan semoga nanti segera ada vaksin. Obat ini bisa meningkatkan dan mempercepat kesembuhan. Artinya, akan menurunkan penularan juga (karena masa penularan dipersingkat)," jelas Panji.
Dari pemodelan yang ia lihat, puncak kasus Covid-19 di Indonesia akan terjadi di bulan Mei nanti. Namun menurut dia, setiap daerah akan berbeda-beda mengalami puncak wabah ini.
"Saya rasa cukup reasonable. Tapi menurut saya puncak ini akan dialami di waktu yang berbeda, untuk wilayah yang berbeda di Indonesia. Jakarta akan mencapai puncak lebih cepat dari tempat lain karena mulainya juga lebih cepat," terangnya.
Terakhir, Panji pun berpesan agar pemerintah mendengarkan rekomendasi dari para ahli jika ingin terlepas dari mimpi buruk ini.
"Tolong dengarkan masukan ahli. Soalnya sudah begitu banyak masukan, rasanya tidak didengar," pungkasnya.
Membaca pendapat dari dua ahli di atas, herd immunity ternyata tidak bisa untuk diterapkan dalam pandemi virus corona yang sudah menyebar begitu cepat di beberapa negara (termasuk di Indonesia), serta telah menimbulkan banyak korban.
Sebelumnya, herd immunity sempat akan diterapkan di Inggris. Namun, para ilmuwan banyak yang mengajukan penolakan dan melakukan petisi menolak kebijakan ini, seraya menekan pemerintah untuk segera bertindak.
Sebanyak 501 saintis menandatangani petisi untuk mendesak pemerintah melakukan social distancing ketika isu pembiaran pandemi herd immunity alami bergulir.
Lalu, bagaimana jika ide berbahaya ini diterapkan di Indonesia? Sekarang, coba kita hitung secara matematis. Dengan melihat data statistik, jumlah penduduk Indonesia 270 juta.
Berarti untuk membentuk herd immunity butuh 70% x 270 juta = 189 juta jiwa minimal harus terinfeksi virus ini.
Dari 189 juta jiwa, berarti ada 3% yang meninggal dunia, yaitu sekitar 3% x 189 juta = 5.670.000 orang “harus dikorbankan” untuk meninggal. Ini jumlah yang sangat besar. Jadi jangan cuma dilihat dari angka 3% saja.
Ada yang berpendapat, Indonesia ini mempunyai bonus demografi, dimana jumlah mayoritas penduduk adalah usia produktif atau masih muda.
Maka, kalau dilihat dari resiko terpapar virus covid-19 ini, usia muda itu lebih cepat sembuh dan bisa terbentuk imun.
Lantas siapa yang mau dikorbankan?
Bisa jadi, munculnya ide ini setelah menilai berbagai kemungkinan ketika solusi lockdown diambil. Tindakan lockdown di suatu wilayah akan berdampak serius pada wilayah tersebut.
Selain itu, negara juga tidak siap karena memutuskan lockdown akan membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. Perekonomian menjadi colaps.
Ditengah penyebaran virus yang semakin tak terkendali, mengapa pemerintah Indonesia masih belum mengambil opsi lockdown?Apakah pemerintah lebih mencemaskan perekonomian yang colaps dibanding keselamatan rakyatnya?
Menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menegaskan, sudah saatnya pemerintah melakukan lockdown.
Saat ini, kesehatan dan keselamatan masyarakat sangat penting. Dia menilai dengan lockdown justru virus corona dapat lebih mudah ditangani.
“Harusnya di-lockdown, saya setuju karena akan lebih cepat diselesaikan karena orang yang terjangkit nggak keluyuran. Jadi, nggak cepat menyebar,” ungkap Agus kepada detikcom, Jumat (20/03/2020).
Mengenai dampaknya ke perekonomian, Agus berpendapat jangan dulu melihat ke arah sana karena pemulihan negara dari virus corona harus diprioritaskan.
“Mau ekonomi gimana juga semua hancur, konsentrasi saja ke pemulihan ini. Cobalah dihitung, ada atau tidak lockdown berapa banyak kerugiannya? Sama-sama mahal, malah lebih mahal kalau nggak ada lockdown,” kata Agus.
Sungguh amat disayangkan, lambatnya penetapan status dan penyerahan langkah tindak pada masing-masing daerah terbukti membuat warga terjangkit virus corona meningkat berlipatganda.
Jumlah korban terinfeksi terus bertambah. Namun, pemerintah belum mengambil langkah serius untuk melakukan lockdown. Padahal, sebenarnya jika mau lebih serius lagi, lockdown ini solusi yang bukan tidak mungkin untuk dilakukan.
Dibutuhkan ketegasan dan keberberanian dalam mengambil risiko untuk mengeluarkan dana demi kepentingan masyarakat.
Lockdown tak mustahil untuk dilakukan asalkan optimis, pasti bisa dilakukan. Jangan mengorbankan nyawa rakyat, demi mengkhawatirkan perekonomian yang colaps, apalagi sampai mengambil opsi herd immunity.
Sungguh, akan sangat mengerikan bila tindakan herd immunity ini dilakukan. Maka, sangat perlu pemerintah bertindak cepat mengambil opsi lockdown secara efektif. Tentunya, harus dibarengi dengan menjamin kebutuhan pokok warga negara.
Strategi lockdown sebenarnya telah disyari’atkan dalam Islam. Manakala dahulu pernah dilakukan ketika ada wabah penyakit.
Sebagaimana Nabi SAW bersabda, “Jika kau mendengar tentang wabah (thā’ūn) di suatu daerah maka jangan mendatangi daerah itu. Namun jika wabah tersebut menimpa daerah tempat tinggalmu maka janganlah keluar darinya.” [HR al-Bukhārĩ dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 5396, dan Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 2218.]
Dikutip dalam buku berjudul ‘Rahasia Sehat Ala Rasulullah SAW: Belajar Hidup Melalui Hadits-hadits Nabi’ oleh Nabil Thawil, di zaman Rasulullah SAW jikalau ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit tha’un, Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus, jauh dari pemukiman penduduk.
Tha’un sebagaimana disabdakan Rasulullah saw adalah wabah penyakit menular yang mematikan, penyebabnya berasal dari bakteri Pasterella Pestis yang menyerang tubuh manusia.
Jika umat muslim menghadapi hal ini, dalam sebuah hadits disebutkan janji surga dan pahala yang besar bagi siapa saja yang bersabar ketika menghadapi wabah penyakit.
“Kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya). (HR Bukhari)
Selain Rasulullah SAW, di zaman khalifah Umar bin Khattab juga ada wabah penyakit. Dalam sebuah hadits diceritakan, Umar sedang dalam perjalanan ke Syam lalu ia mendapatkan kabar tentang wabah penyakit.
Hadits yang dinarasikan Abdullah bin ‘Amir mengatakan, Umar kemudian tidak melanjutkan perjalanan. Berikut haditsnya:
“Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilah bernama Sargh.”
Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhori).
Dari fakta sejarah tersebut, seharusnya pemerintah dapat mengambil pelajaran bahwa keselamatan rakyat adalah hal utama. Dalam sistem Islam, keselamatan dan nyawa masyarakat tak dapat diukur oleh apapun.
Maka, tugas negara sejatinya adalah mementingkan keselamatan dan kemaslahatan rakyatnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun khalifah Umar bin Khattab dalam menangani wabah pada waktu itu. Rakyat dalam wilayah yang terjangkit wabah akan dilarang untuk keluar dari wilayah tersebut. Begitu pula, rakyat yang berada di luar wilayah itu dilarang untuk masuk dalam wilayah yang sedang terjangkit wabah.
Telah nyata adanya, bahwa penerapan herd immunity dalam menangani pandemi virus corona ini bukanlah suatu keputusan yang bijak. Justru, herd immunity akan semakin mendzalimi rakyat yang dari hari ke hari selalu berhadapan dengan penderitaan.
Oleh karena itu, solusi yang paling dinanti saat ini adalah mengembalikan kehidupan Islam dengan menerapkan syari’at-Nya dalam seluruh aspek kehidupan demi tercapainya rahmatan lil’alamiin.
Wallahu’alam bishowab.