Herd Immunity Bukan Solusi Bijak dalam Menghadapi Corona



Oleh: Septi

Kamis (2/4), Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan bahwa posisi Indonesia lebih menguntungkan karena memiliki cuaca panas. Kondisi tersebut membuat virus corona semakin lemah namun harus didukung dengan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan mudik (REPUBLIKA.CO.ID).

"Tapi kalau jaga jarak tidak dilakukan, itu (kondisi cuaca Indonesia yang menguntungkan) juga tidak berarti. Sekarang ini tinggal tergantung kita. Kita yang mau bagaimana," jelas Luhut.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan dari kajian sejumlah ahli menyebut terdapat pengaruh cuaca dan iklim terhadap tumbuh kembang virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Rita dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (4/4), mengatakan BMKG mengkaji variabel tumbuh kembang virus corona dengan cuaca dan iklim bersama 11 doktor meteorologi, klimatologi, matematik beserta ilmuwan kedokteran, mikrobiologi, kesehatan dan pakar lainnya.
"Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis," kata dia.
Di tengah desakan publik agar pemerintah lebih tegas dalam mengendalikan sebaran virus dengan kebijakan karantina wilayah, Pernyataan Luhut bahwa virus akan mereda ketika masuk musim kemarau/panas mendapat kecaman publik. Namun malah dibenarkan oleh kepala BMKG dan pejabat lainnya. Ini mengindikasikan arah kebijakan pemerintah yang lepas tanggung jawab. Ini juga mengonfirmasi bahwa pemerintah cenderung mengambil kebijakan Herd Immunity dengan mengorbankan nyawa rakyat.
Apa itu Herd Immunity ?
Herd Immunity adalah konsep epidemiologis yang menggambarkan keadaan dimana suatu populasi cukup kebal terhadap penyakit sehingga infeksi tidak akan menyebar dalam kelompok itu. Dengan kata lain cukup banyak orang tidak bisa kena penyakit, baik melalui vaksinasi atau kekebalan alami sehingga orang- orang yang rentan terlindung.

Karena semakin banyak orang terinfeksi virus corona COVID-19, maka akan lebih banyak orang yang semakin sembuh dan yang kemudian kebal terhadap infeksi dimasa depan. Menurut data dari Jonhs Hopkins University, Lebih dari 210.000 orang telah pulih dari virus pada jumat pagi (3/4).
Ketika sekitar 70 persen populasi telah terinfeksi dan pulih, kemungkinan wabah penyakit menjadi jauh lebih sedikit karena kebanyakan orang resisten terhadap infeksi, kata Martin Medicine. “Ini disebut kekebalan kelompok (herd immunity)” tambahnya, seperti dikutip Aljazeera
Kekebalan dari Infeksi Alami Bukan Pilihan
Populasi untuk kekebalan kelompok pada tiap penyakit berbeda persentasenya. Sebagai gambaran salah satu penyakit menular, satu orang dengan campak bisa menginfeksi 20 orang lainnya. Jika ingin mencapai kekebalan kelompok maka cakupan target vaksinnya harus mencapai 95 %.

Lalu bagaimana dengan COVID-19?
Infeksi SARS-CoV-2 pada satu orang diperkirakan dapat menular kepada 2-3 orang lain. Rata-rata algoritma kekebalan kelompoknya harus mencapai 50-67 persen populasi. Dengan jumlah penduduk 271 juta jiwa (proyeksi 2020), Indonesia perlu membuat 182 juta rakyatnya terinfeksi dan membentuk herd immunity.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk lansia di Indonesia berkisar 10 persen. Dengan asumsi tersebut pemodelan kelompok rentan yang harus mendapat penanganan khusus mencapai 18,2 juta jiwa. Jumlah tersebut belum ditambah kelompom rentan lainnya yang memiliki penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes, kanker, HIV, dll. Sementara jika dihitung dari persentase kematian akibat COVID-19 sebesar 8,9 persen, maka Indonesia akan kehilangan sekitar 16 juta jiwa dari total 182 juta jiwa yang terinfeksi.

Jika diasumsikan serupa wabah flu spanyol yang datang dalam tiga gelombang, maka tiap gelombang COVID-19 bisa memakan korban meninggal lebih dari 5 juta orang. Tentu kita tak mau statistik tersebut menjadi kenyataan. Dari sudut pandang epidemiologis, tingkat infeksi COVID-19 harus diturunkan setara flu, sekitar 1,3 orang.

Dilihat dari gambaran di atas sangat disesalkan bahwa pemerintah terbukti lalai. Tampak dari kecerobohan dalam memberi pernyataan dan menetapkan kebijakan yang jelas menjadi bukti ketidaksungguhan pemerintah dalam mengupayakan pencegahan dan pengobatan. Bahkan pemerintah juga dinilai ceroboh sejak awal terhadap sumber wabah. Tampak dari tidak adanya keputusan pemerintah melarang pendatang dari Cina masuk ke Indonesia, sejak dari terjadinya wabah di Wuhan hingga saat ini.

Terkait ketidaksungguhan pemerintah dalam upaya pencegahan adalah dari sisi peningkatan imunitas masyarakat melalui asupan bergizi. Sebab, nyaris tanpa tindakan, jauh dari langkah antisipatif, praktis produktif yang berbuah kebaikan pada setiap individu masyarakat. Di saat bersamaan ada ratusan juta penduduk Indonesia miskin. Sedang kemiskinan itu sendiri identik dengan buruknya akses pada segala aspek yang penting bagi peningkatan daya tahan tubuh. Seperti asupan bergizi, sanitasi dan air bersih, tempat tinggal dan perumahan yang sehat.
Ini semua jelas-jelas membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk penyelesaiannya.

Di sisi lain, angka kesakitan berbagai penyakit menular yang menjadi faktor risiko kematian 2019-nCoV begitu tinggi, seperti TBC, HIV, dan malaria.

Kelalaian pemerintah juga tampak pada upaya pengobatan. Karena efektivitas kemampuan fasilitas kesehatan di Indonesia terbatas pada jumlah tertentu. Sebagaimana ditegaskan Tri Yunis Miko Wahyono, Ketua Departemen Epidemiologi di Universitas Indonesia, “Dari 100 rumah sakit, paling banyak rata-rata masing-masing merawat 3 pasien, jadi sekitar 300 pasien yang mampu di rawat di rumah sakit isolasi itu.”
Dengan demikian dari aspek mana pun, jelas sekali pemerintah Indonesia lalai dan tidak siap menghadapi wabah 2019-nCoV. Yang bila ditelisik secara mendalam semua kelalaian itu berpangkal dari paradigma batil sekuler yang menyandera pemerintah.
Semua itu berpangkal dari kehadiran rezim berkuasa sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler kapitalisme, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri.

Lalu, bagaimana Islam memberi jawaban?

Khilafah: Solusi Sahih

Islam memiliki kekayaan konsep dan pemikiran cemerlang yang bersifat praktis. Terpancar dari akidah Islam sahih dan mengalir dari telaga kebenaran Alquran dan Sunah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya. Bahkan telah teruji kemampuannya di seluruh penjuru dunia selama puluhan abad. Beberapa kewajiban Khilafah dalam Islam:

1. Negara dan pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan tindakan pencegahan bahaya apa pun termasuk wabah virus mematikan 2019-nCoV.

2. Negara wajib melarang masuk warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah.

3. Bebas dari agenda imperialisme karena diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala apa pun bentuknya.

4. Negara harus terdepan dalam riset dan teknologi tentang kuman-kuman penyebab wabah, alat kedokteran, dan obat-obatan.

5. Negara wajib melakukan langkah praktis produktif untuk peningkatan daya tahan tubuh masyarakat.
6. Ketersediaan fasilitas kesehatan terbaik dengan jumlah yang memadai lagi mudah diakses kapan pun, di mana pun, oleh siapa pun.
7. Anggaran berbasis baitulmal dan bersifat mutlak.
8. Kekuasaan tersentralisasi, sementara administrasi bersifat desentralisasi.

Wallahu a’lam bish-showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak