Oleh : Rantika Nur Asyifa
Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2020 yang lalu, tak banyak maysarakat yang tahu. Para aktivis perempuan sering menggunakan momentum ini untuk mengevaluasi dan menguatkan komitmen perjuangan melawan ketidakadilan berbasis gender yang dinilai belum berbuah keberhasilan.
Kesetaraan gender bukan sekadar sebuah seruan agar perempuan memiliki hak-hak politik, ekonomi, pendidikan, dan hukum yang sama dengan laki-laki, atau sekadar memandang kedua gender ini setara dalam nilai dan intelektualitas. Lebih dari itu, kesetaraan gender adalah sebuah seruan untuk kesetaraan di seluruh aspek sosial, termasuk peran dan tanggung jawab dalam pernikahan dan keluarga.
Kesetaraan ini juga mencakup seruan untuk menjamin kebebasan seksual bagi perempuan, membiarkan mereka untuk menjalin ikatan hubungan sesuai keinginan, baik di dalam atau di luar pernikahan. Ini adalah sebuah konsep yang berakar kuat dari budaya sekuler liberal.
Dokumen Persiapan dari Konferensi Beijing+5 oleh UN Women tahun 2000 meliputi pernyataan, “Menjamin perempuan pada seluruh usia untuk sepenuhnya mengontrol seksualitas mereka, bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan, dengan mengupayakan aturan hukum, menyebarkan informasi, dan mempromosikan berbagai layanan yang mudah diakses dan terjangkau”. (MuslimahNewsID, 16/03/2020)
Sedangkan deklarasi tahun ini (2020) merupakan tahun yang penting untuk kesetaraan gender. Dilansir dari CNNIndonesia, 09/03/2020. Phumzile Mlambo-Ngcuka, direktur eksekutif Perempuan PBB (UN Women), menjelaskan bahwa " 2020 adalah tahun yang luar biasa untuk kesetaraan gender, dan manfaat dari kesetaraan gender tidak hanya untuk wanita dan anak perempuan, tetapi untuk semua orang yang hidupnya akan diubah oleh dunia yang lebih adil ", tuturnya.
Namun secara fakta, banyak hal yang bisa membuktikan betapa negara-negara kapitalis telah secara sengaja ‘memanfaatkan’ kalangan perempuan (muslim) untuk memuluskan jalannya skenario besar mereka.
Mereka sadar betul bahwa ada korelasi positif antara penghancuran masyarakat dengan penghancuran kaum perempuan, karena perempuan merupakan separuh masyarakat dan berfungsi sebagai pilar penyangga masyarakat. Di sisi lain, mereka pun melihat bahwa upaya menjauhkan masyarakat dan pemerintahan dari sistem Islam masih belum berhasil sepenuhnya.
Kesetaraan gender yang di jadikan sebagai konsep untuk memenuhi tujuan utama kapitalisme, sangat bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah untuk melestarikan hegemoni negara-negara kapitalis Barat di dunia dengan mencegah diterapkannya sistem Islam dalam suatu negara.
Islam telah menetapkan perbedaan yang jelas dan pasti di dalam peran, tugas, dan hak bagi laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat seperti hukum waris, proses perceraian, poligami, mahar, dan tanggungjawab antara suami dan istri, termasuk tugas laki-laki sebagai pemimpin dan pemberi nafkah keluarga, sedangkan perempuan sebagai pengatur rumah tangga dan pengasuh utama anak-anaknya.
Begitu juga dengan kebebasan seksual. Dalam Islam, terdapat hukum-hukum yang tegas yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, seperti melarang laki-laki dan perempuan non-mahram berdua-duaan (khalwat) atau bertemu kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh syariah, seperti pendidikan, pengobatan, dan perdagangan.
Islam juga melarang hubungan seksual apapun di luar pernikahan, dan menetapkan hukuman keras bagi para pelaku zina, baik sudah menikah maupun belum. Segala hukum dan aturan ini akan membantu memelihara kesucian individu yang berikutnya akan melindungi keutuhan unit keluarga dan kesejahteraannya, serta hak-hak laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Wallahu a’lam