Gotong Royong Kapitalis Bikin Hati Miris





Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo

Seakan tak pernah cukup ketamakan penguasa terhadap harta yang menjadi hak rakyat. Dari mulai penggunaaan dana haji untuk infrastruktur, zakat yang ditarik sebelum Ramadan, donasi Covid-19 dan kini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara tegas menyebut tunjangan kinerja (tukin) aparatur sipil negara (ASN) di sejumlah daerah terlampau tinggi.


Pernyataan ini menyikapi terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara bendahara negara dan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Surat ini memang meminta agar abdi negara di daerah menyesuaikan tukin seperti di pemerintah pusat. Sebab di wilayah tertentu tukin yang di terima dianggap terlalu banyak sehingga boros anggaran.


Dalam situasi wabah Covid-19 pemerintah daerah diharap bisa bekerja sama dengan melakukan penghematan anggaran untuk dialokasikan untuk penanggulangan Covid-19. "Dengan demikian, kegotongroyongan antara pusat yang sudah menambahkan belanja untuk kesehatan, bantuan sosial dan dunia usaha bisa ditambah dengan pemerintah daerah," papar Sri Mulyani


Konsekuensi bagi daerah yang tidak patuh yakni dapat dilakukan penundaan untuk transfer DAU (Dana Alokasi Umum) (CNBCindonesia.com, 18/4/2020). Benarkan keadaan keuangan negara sangat memprihatinkan sehingga masih harus menarik dana dari masyarakat?


Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak sepanjang 2019 mencapai Rp 1.332,1 triliun. Angka ini baru sekitar 84,4 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun (Liputan6.com, 7/1/2020).


Bahkan, Sri Mulyanipun telah meminta ijin kepada DPR untuk membiarkan APBN mengalami defisit lebih dari 3 persen karena pengaruh Corona. Angka penerimaan pajak tersebut tidak akan mencapai angka ideal, sebab pajak dalam negara kapitalis merupakan pendapatan utama selain hutang.

Menganggap penarikan dana ini bagian dari gotong royong adalah bentuk kekejian, sebab apalah fungsi negara sebagai pengurus rakyat jika pembiayaan wabah saja harus meminta rakyat. Mandulkah negara?


Virus Corona adalah makhluk kecil tak kasad mata, ia bertugas sebagai tentara Allah untuk membuka mata dunia, bahwa kapitalisme dan demokrasi yang dibangga-banggakan tak mampu menanggulanginya. Dampaknya bahkan hingga menyerang segala lini.

Lihat saja bagaimana tak berhati nuraninya penguasa, sudah menjadi rahasia umum jika APBN atau APBD mengalami kelebihan , maka akan dihabiskan dalam " semalam " dengan berbagai cara termasuk jika mereka harus membuat proyek fiktif agar dana yang tersisa itu" terserap".

Akibatnya, ketika negara menghadapi wabah nampak begitu kedodoran. Tak sinkron antara pernyataan hari ini dan esok. Bagaimanapun penyelesaianya . Secara sejarah ketika peranan Islam mempimpin dunia sangat tak diragukan lagi. Tertoreh dengan tinta emas.

Syariat mengatur seluruh urusan masyarakat dalam satu sistem. Tak perlu penarikan dana dari rakyat, kecuali jika negara dalam keadaan tertimpa wabah atau bencana dan kas Baitul Maal kosong. Maka seketika kewajiban yang seharusnya diemban Baitul Maal beralih kepada rakyat, kaum Muslim. Berupa pajak atau hutang. Dan ketika kebutuhan sudah terpenuhi maka pajak atau hutang akan dihentikan.


Negara tidak boleh lagi memungut apapun dengan alasan apapun kepada rakyat. Maka sebenarnya kalapnya perekonomian ini sebab salah urus. Sistem keuangan yang berbasis pada pajak dan hutang memang membawa resiko. Salah satunya adalah makin tertancapnya hegemoni asing dalam bentuk perjanjian dan hutang. Wallahu a' lam bish showab.

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak