Jeratan Perempuan Dalam Angan-angan Feminisme






Oleh: Suci Hardiana Idrus

Kata Feminisme mungkin tidak asing lagi bagi kita dan di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Dimana kata Feminisme dapat diartikan sebagai serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Wikipedia

Kata feminisme itu tentu sangat berkaitan dengan yang namanya kesetaraan gender. Para pengusung dan aktivisnya sering kali menggaungkan dan mengampanyekan ide tersebut ditengah-tengah masyarakat setidaknya menuntut untuk disetarakan, disejajarkan dengan kaum laki-laki. Tak ingin ada perbedaan dan diskriminasi dalam segala ruang baik diranah ekonomi, sosial, pokitik, juga pendidikan. Oleh karena itu setiap tahun para penyokong feminisme memperingati Hari Perempuan Internasional atau biasa disebut Internasional Women's Day (IWD) yang jatuh pada tanggal 8 Maret.

Dilansir dari detiknews, 8 Maret 2020, Di tahun 2020 ini, Hari Perempuan Sedunia mengangkat isu #EachforEqual. Dalam situs resmi International Women's Day mengungkapkan alasan mengapa #EachforEqual menjadi isu yang kembali dibahas tahun 2020. Dalam situs tersebut dijelaskan "Dunia yang setara adalah dunia yang memungkinkan untuk melakukan apapun. Kesetaraan bukan hanya isu wanita tapi juga isu bisnis. Kesetaraan gender sangat penting untuk perkembangan ekonomi dan masyarakat. Dunia yang setara secara gender bisa jadi lebih sehat, kaya dan harmonis."

Dari tema yang dibahas di atas cukup menarik. Pasalnya setara yang dimaksud adalah kesamaan dalam hal apapun, dan lantas kemudian menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan oleh setiap perempuan. Artinya, selain dalam hal gender, pempuan pun tak boleh kalah saing dengan laki-laki dalam bisnis atas nama perkembangan ekonomi dengan tujuan agar mencapai keharmonisan.

Akhir November 2019 lalu, Komnas Perempuan mengeluarkan Siaran Pers tentang “Refleksi 25 Tahun Pelaksanaan Beijing Platform for Action (BPfA+25) di Indonesia: Komitmen Negara dalam Menjawab Tantangan 12 Bidang Kritis Kehidupan Perempuan”.

Dikutip dari laman resmi Komnas Perempuan, BPfA adalah kesepakatan dari negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Discrimination Against Women) pada tahun 1995 di Beijing.

Dalam konferensi dunia tentang perempuan yang dilaksanakan di Beijing tanggal 4 hingga 15 September 1995 ini, seluruh negara anggota PBB sepakat untuk mengadopsi BPfA menjadi resolusi dan merekomendasikan Majelis Umum dalam sesi kelima untuk mengesahkan BPfA.

BPfA menghasilkan 12 bidang kritis dan setiap 5 tahun harus dilaporkan perkembangannya oleh setiap negara. Salah satu di antaranya adalah Perempuan dan Kesehatan, Perempuan dan Kekerasan.

Melansir dari katadata.co.id, tanggal 20 Februari 2020, Tren perceraian di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus.

Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%).

Melansir pula dari laman www.komnasperempuan.go.id, tanggal 6-Maret 2020, dikemukakan beragam spektrum dan bentuk kekerasan yang beragam terekam dalam CATAHU 2020, dan temuan khusus yang didapatkan diantaranya:

Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Diagram di atas masih merupakan fenomena gunung es, yang dapat diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman;

Terdapat Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) melonjak sebanyak 2.341 kasus, tahun sebelumnya sebanyak 1.417. Kenaikan dari tahun sebelumnya terjadi sebanyak 65% dan paling banyak adalah kasus inses dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual (571 kasus);

Dalam data pengaduan yang langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan yakni pengaduan kasus cyber crime 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300%. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban;

Kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas dibandingkan tahun lalu naik sebanyak 47% dan korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.

Berdasarkan fakta yang tertera di atas, ini menjelaskan bahwa setiap tahunnya kekerasan terhadap perempuan senantiasa mengalami peningkatan yang signifikan. Dan sangat jauh bertolak belakang dengan apa yang selama ini diteriakkan oleh para Feminisme. Ide-ide yang diusung ternyata hanyalah ilusi baik kesetaraan, keadilan, kekerasan ataupun keharmonisan. Justru dengan adanya tuntutan kesetaraan gender memicu lebih banyak persoalan dari internal (rumah tangga) dan eksternal (sosial)

Feminisme bukanlah solusi dalam menyelesaikan permasalahan dan kekerasan terhadap perempuan. Ide tersebut adalah buah dari pemikiran kapitalisme yang memandang segala sesuatu berdasarkan nilai manfaat. Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran perempuan dalam ruang lingkup pekerjaan begitu menguntungkan bagi para kapitalis. Sebab banyak yang bisa dimanfaatkan dari perempuan mulai dari kepala hingga ujung kaki. Keindahan dan kemolekan tubuhnya pun dibayar dengan pundi-pundi rupiah tanpa sadar bahwa kehormatannya dieksploitasi.

Selain itu keluarnya ibu rumah tangga untuk bekerja menyebabkan tergesernya peran seorang ibu bagi anak-anaknya sebagai guru dan segala tanggung jawabnya di rumah. Sehingga penghuni rumah menjadi kehilangan kehangatan seorang ibu sekaligus istri yang dapat memicu konflik rumah tangga dikarenakan sama-sama kelelahan bekerja diluar. Istri tak lagi hormat pada suaminya karena merasa perannya sudah setara dengan suaminya ketika diluar dan merasa didiskriminasi dengan beban tanggung jawab lainnya. Sehingga tak segan menunjukkan keberaniannya terhadap suaminya. Hal ini sangat rentan memicu KDRT.

Terdahadap kesehatan, Badan Kesehatan Dunia (WHO), menganggap bahwa pernikahan dan kehamilan dini termasuk salah satu hal yang mempengaruhi kesehatan para perempuan muda dan anak-anak. Padahal akibat fatal seks diluar nikah tak kalah memprihatinkan. Angka aborsi, dan  melahirkan seorang diri juga begitu membahayakan kesehatan perempuan dan anak-anak. Sayangnya, persoalan seks dipayungi oleh HAM. Individu lain tak boleh mencampurinya selama tak mengganggu individu yang lain. Akan tetapi dampaknya adalah merusak tatanan kehidupan masyarakat yang jauh dari martabat mulia. Sama halnya, hubungan diluar pernikahan (pacaran) tak jarang sering kita dengar terjadi kekerasan fisik, yang itu semua berdampak pada kesehatan perempuan.

Islam memiliki pandangan khusus terhadap perempuan. Bagaimana ia harus dihargai, dipelihara kehormatannya, dan bagaimana menempatkan sebuah keadilan terhadap perempuan pada posisi yang benar.
Bahkan Allah mengabadikan hal-hal yang berkaitan dengan perempuan di dalam Al-Qur'an tepatnya surah An-nisa. Yang apabila wanita mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Qur'an maka dengan itu pula ia akan menjadi perempuan yang mulia dan dimuliakan. Berbeda seperti pandangan kapitalis yang mengukur perempuan hanya akan dihormati apabila ia memiliki kemandirian atau kemerdekaan ekonomi.

Kalaupun ada tuntutan perempuan yang mengharuskannya keluar rumah terlebih untuk bekerja, maka aturan syariat adalah bentuk penjagaannya. Sayangnya, banyak dari perempuan yang melupakan bahkan melepas syariat tersebut dalam aktivitas sehari-harinya. Hal inilah yang kerap membuat wanita mudah mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual ketika diluar. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengingatkan dengan sabda-sabdanya agar umat Islam menghargai dan memuliakan kaum wanita. Di antara sabdanya:

 اِسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

 “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729)

 خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam “ash-shahihah”: 285)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.”(an-Nisa: 19)

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hal ini,

وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228)

Oleh karena itu, kesetaraan gender hanya ilusi penciptakan kehidupan mulia bagi perempuan. Mereka bisa saja setara dengan laki-laki dalam hal pendapatan atau karir, tapi hal itu pula yang membuat perempuan banyak kehilangan peran sebagai ummun warabbatul bait. Feminis akan memberi kesetaraan, tapi belum tentu memberi keadilan dalam kesetaraan tersebut. Untuk itu sebagai perempuan jangan sampai tertipu oleh propaganda feminisme yang terbukti membuat perempuan keluar jauh dari fitrahnya.

Wallahu'alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak