Oleh : Nurhidayah Ilham SE.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan 50 persen mahasiswa tidak sanggup membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) karena dampak wabah covid-19 atau virus corona.
"Rata-rata 50 persen mahasiswa (di PTS) tidak mampu membayar SPP. Ini dampaknya luar biasa. Sebentar lagi kami juga akan buat surat ke presiden karena dampaknya sangat signifikan," ujarnya melalui sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, 24 April 2020.
Bertahan dalam kondisi seperti ini, sangat sulit dilakukan oleh kampus skala kecil dan menengah. Dimana setidaknya ada 75 persen PTS di Indonesia berskala kecil, 20 persen menengah dan 5 persen besar. Ditambah tidak adanya dukungan yang layak dari pemerintah. Padahal kebanyakan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah paling banyak kuliah di PTS.
Harus ada upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Masyarakat dihadapkan pada pemotongan gaji, bahkan PHK di mana-mana, yang berimbas menurunkan daya beli masyarakat . Ditambah dengan mahalnya pembayaran pendidikan, terutama di PTS. Membuat masyarakat kebingungan harus mengadu kemana? Karena pemerintah acuh terhadap nasib mereka.
Sungguh miris hati ini melihat biaya pendidikan yang mahal, yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Pendidikan merupakan cara agar masyarakat dapat bangkit dari keterpurukan. Malah membuat kantong terkuras.
Pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah kewajiban negara yang harus dipenuhi secara gratis. Tapi di negeri ini, hal tersebut dijadikan bisnis oleh segelintir orang. Alhasil rakyat menanggung beban yang sangat berat.
Sesungguhnya solusi perubahan terbaik atas kondisi pendidikan hari ini hanyalah Islam.
Dahulu peradaban Islam menjadi mercusuar untuk bangsa-bangsa lain selama lebih dari seribu tahun. Kota-kota al-Khilafah menjadi tujuan utama bagi orang-orang Eropa untuk belajar . Daulah Islamiyah memikul tanggung jawab pendidikan putra-putri umat.
Tujuan utama pendidikan dalam daulah al-Khilafah adalah menetapkan politik pendidikan yang mampu membangun kepribadian Islami dengan aqliyah dan nafsiyah yang kuat. Dan kurikulum yang disusun dalam bentuk yang bisa menembangkan metode pemikiran, pemikiran analisis dan hasrat pada pengetahuan agar dapat meraih pahala dan keridhaan Allah SWT.
Terkait pembiayaan, di dalam Kitab al-Iqtishadiyyah al-Mutsla disebutkan bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan negara. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw :
"Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR al-Bukhari).
Khilafah harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah. Dan menyiapkan seluruh fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti Gedung-gedung sekolah, balai penelitian, perpustakaan dan laboratorium.
Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah.
Jika harta di Baitul Mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka Syariat mewajibkan pembiayaan berpindah kepada kaum Muslimin. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT memberikan hak kepada negara untuk memungut pajak (dharibah) dari kaum Muslim.
Hanya saja, penarikan pajak dilakukan secara selektif. Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenakan pajak. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup dibebaskan dari pajak. Sangat berbeda dengan sistem kapitalis saat ini, dimana semua orang diwajibkan membayar pajak.
Selain itu, dharibah (pajak) dalam pandangan syariah Islam adalah pemasukan yang bersifat pelengkap, bukan sebagai pemasukan utama dalam APBN Khilafah. Negara hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam keadaan darurat, yaitu ketika harta di Baitul Mal tidak mencukupi.
Walaupun negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh warganya, bukan berarti individu dilarang menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Setiap warga negara Khilafah diperbolehkan mendirikan sekolah, madrasah, pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan serta menarik kompensasi atas jasa yang telah mereka berikan.
Mereka juga diperbolehkan menyusun kurikulum dan mata pelajaran sendiri. Hanya saja, kurikulum dan mata pelajaran tersebut tidak boleh menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Negara Khilafah mengawasi kurikulum dan mata pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan swasta tersebut serta akan menindak dengan tegas siapapun yang mengajarkan pelajaran-pelajaran yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini