Covid 19 Mengaktifkan “Virus” KDRT, Atasi dengan Sistem Islam



               Oleh: Farida Nur Rahma, M. Pd.

 Dosen Ilmu Komunikasi dan Penyiaran STIBA Ar Raayah

Ditengah pandemi Covid-19 pemerintahan di negara manapun menerapkan kebijakan lockdown atau social distancing. Ternyata kebijakan ini melahirkan masalah baru seperti inflasi ekonomi, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, meningkatnya angka kemiskinan, krisis keamanan, bahkan meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.


Social Distancing memang bisa memutus rantai penyebaran Covid-19 namun mengaktifkan “virus’ KDRT. Meningkatnya kasus KDRT ternyata terjadi hampir di seluruh negara terdampak Covid-19. Sehingga Sekretaris Umum PBB Antonio Guterres menyampaikan kekhawatirannya atas peningkatan kasus KDRT di tengah krisis pandemi virus Corona lewat Twitter. "Lockdown dan karantina memang sangat penting dilakukan untuk memperlambat penyebaran COVID-19. Tapi itu juga bisa membuat wanita terperangkap bersama pasangan yang kasar," ujar Antonio.

Kekhawatiran tersebut juga disampaikan organisasi pendamping korban kekerasan domestik di berbagai kota Eropa. "Untuk banyak orang, rumah mereka bukanlah tempat yang aman," ujar pihak BFF, salah satu organisasi yang berbasis di Jerman. Keterbatasan gerak, hilangnya pekerjaan, dan kesulitan finansial, akan memicu konflik. "Masalah-masalah tersebut menciptakan tekanan besar di dalam rumah tangga," ujar Florence Claudepierre dari FCPE, sebuah organisasi yang berbasis di Upper Rhine, Prancis.


Banyak fakta di temukan di Brasil, Jerman, Italia, hingga China, para aktivis dan orang yang selamat mengatakan bahwa mereka telah melihat peningkatan kekerasan yang signifikan. China, negara yang mejadi pusat penyebaran virus Corona, mencatat sedikitnya 300 pasangan mengajukan cerai sejak 24 Februari 2020, waktu di mana lockdown di negeri Tirai Bambu itu mulai diberlakukan. Di Spanyol, nomor darurat untuk KDRT juga menerima aduan 18 persen lebih banyak di dua minggu pertama lockdown diberlakukan.

Kepolisian Prancis pun melaporkan ada peningkatan kasus KDRT hingga 30 persen. Di Inggris, panggilan telepon ke layanan darurat KDRT meningkat 65% pada akhir minggu. Di Australia Barat angka KDRT telah meningkat 5 persen. India pun melaporkan kasus KDRT meningkat dua kali lipat pada minggu pertama lockdown. di Afrika Selatan terjadi hampir 90 ribu kekerasan terhadap perempuan dalam pekan pertama lockdown. Di Tunisia jumlah KDRT meningkat lima kali lipat. Saat ini diperkirakan ada 10 juta orang di Los Angeles mengalami KDRT. Di Turki, para aktivis sosial menuntut perlindungan yang lebih besar setelah banyak wanita jadi korban pembunuhan usai otoritas setempat menerapkan kebijakan ketat. Lebanon dan Malaysia pun mencatat kenaikan jumlah kasus KDRT.


Fenomena meningkatnya kasus KDRT pun terjadi di Indonesia. Menurut Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi perempuan Indonesia untuk keadilan (LBH Apik) Jakarta mencatat 59 kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan seksual, dan online pornografi sejak 16 Maret hingga 30 Maret. Dari 59 kasus itu, 17 adalah melibatkan kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Situ Zuma, direktur LBH Apik, ini adalah angka tertinggi KDRT yang pernah mereka terima dalam periode dua minggu. Begitu juga di Jogjakarta kenaikan kasus terjadi mulai pertengahan Maret 2020.


Meningkatnya kasus KDRT diberbagai belahan dunia ketika masa lockdown dipicu meningkatnya stress karena kehilangan pekerjaan, sehingga sulit memenuhi kebutuhan. Sedangkan tuntutan pemenuhan kebutuhan justru meningkat. Menimbulkan rasa frustasi dan marah yang disalurkan kepada orang terdekat yaitu perempuan (istri) dan anak. Ini bisa terjadi pada keluarga yang tidak ada riwayat KDRT sekalipun.


Rumah tempat bertemuanya pasangan (suami istri) dan berkumpulnya keluarga menjadi tempat yang tidak aman. "Bagi banyak wanita dan anak perempuan, ancaman terbesar tampak di mana mereka seharusnya paling aman di rumah mereka sendiri," kata Antonio Guterres.
Kekacauan fungsi rumah sebenarnya “dirajut” oleh sistem kapitalisme yang sedang dijalankan jauh sebelum pandemi melanda. Feminisme, kesetaraan peran, hak dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan telah mendatangkan tekanan dan kesengsaraan bagi perempuan. Kehidupan pernikahan menjadi tegang karena perselisihan tentang tanggung jawab. Sehingga akhirnya mendevaluasi peran unik perempuan sebagai ibu, sehingga mengabaikan hak-hak anak.


 Materialisme telah menilai harga seorang ibu dari produktifitas dia secara material. Sistem ekonomi Kapitalisme telah menyeret ibu terjun ke lapangan pekerjaan dengan upah murah, sedang bapak terseok-seok menegakkan fungsinya sebagai pencari nafkah. Ketika peran Ibu dan Bapak “hangus”, maka gaya hidup hedonisme dan permisifisme-lah yang menjadi sumber kebahagian bagi anak anak mereka. Pesta narkoba, pesta seks, tawuran, prostitusi remaja dan LGBT. Liberalisme yang diaruskan justru menjaga dan menumbuh suburkan perilaku hedonisme dan permisifisme. Demokrasi yang berjalan tidak memberikan solusi apapun bagi rakyat. Bagi keluarga muslim, sekulerisme dan pluralisme justru semakin mengikis identitas Islam pada diri umatnya.
Hukum Islam sengaja dipropagandakan sebagai aturan yang kolot, anti kemajuan, eksklusif, bias gender, dan gambaran buruk lainnya.


Sejatinya rumah dan pasangan adalah muaranya cinta, ketenangan dan kasih sayang. Rumah tempat pasangan dan anak mendapatkan curahan kasih sayang. Mendapatkan ketenangan dari berbagai gangguan di luar rumah. Namun, kondisi ini membutuhkan dukungan sistem ekonomi dan sosial. Sistem ekonomi dan sosial Islam telah menyediakan seperangkat aturan yang telah terbukti menjamin setiap rumah tangga sakinah, mawadah, wa rahmah.
Negara yang menjalankan sistem Islam (Khilafah) akan menjalankan sistem ekonomi yang menjamin setiap rumah mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan secara murah dan langsung, dengan pembiayaan bersumber dari hasil pengelolaan sumber daya alam milik umat. Sedangkan, untuk memenuhi sandang, pangan dan papan maka Khilafah akan menjalankan pelayanan tidak langsung melalui mekanisme ekonomi yang menjamin setiap kepala rumah  tangga mampu dan memiliki pekerjaan.


Sistem sosial Islam menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga (Ummun wa Rabbah al Bait). Menempatkan ibu sebagai madrasah (lembaga pendidikan) pertama bagi anak-anaknya. Menyematkan penghargaan terbaik baik laki-laki (suami) yang memperlakukan istrinya dengan baik dan memenuhi kebutuhan istri dan anaknya sesuai dengan standar pemenuhan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat (ma’ruf).


 Islam menempatkan keluarga sebagai bagian penting dalam masyarakat. Sehingga Islam menyediakan seperangkat aturan perkawinan, waris, nasab, perwalian,talak, rujuk yang bisa menjaga perempuan maupun laki-laki dari kedzaliman/ kekerasan pasangannya.
Maka, kasus KDRT adalah akibat penerapan kapitalisme yang sedang berjalan saat ini. Bisa diatasi jika diterapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan.

Wallahu A'lam Bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak