Oleh: Tri nuryani
Di tengah hiruk pikuk penanganan pandemi Covid-19, ada tenaga medis yang bekerja dalam senyap. Mereka mempertaruhkan nyawa untuk merawat para pasien yang terjangkit. Salah satunya Minarsih (47), perawat ruang isolasi RSUD Gambiran, Kota Kediri, Jawa Timur.
Minarsih menceritakan, tidak semua perawat mau ditempatkan di ruang isolasi karena risikonya tinggi. Sejak wabah corona melanda Kota Kediri, RSUD Gambiran membentuk tim dan sarana perawatan pasien yang terpapar penyakit.
Tugas yang diembannya ini tak sebanding dengan penderitaan dan ketakutan pasien yang terindikasi corona. Setiap kali pasien dimasukkan ruang isolasi, wajah mereka sangat tegang dan depresi. Bahkan ada yang nyaris bunuh diri karena stres, ungkap Minarsih dikutip dari Surya, Jumat (3/4/2020). Sehingga peran Minarsih dan tenaga medis di ruang isolasi sangat dibutuhkan.
Namun ironisnya, tugas berat itu tak diimbangi dengan pemenuhan APD yang memadai. Padahal setiap saat mereka berpotensi terpapar virus corona saat berinteraksi di ruang isolasi. Kami terpaksa mengurangi intensitas keluar masuk ruang isolasi karena keterbatasan APD. Di zona merah, APD hanya bisa dipakai sekali dan langsung dibuang, ucap Minarsih (Kompas.com, 5/4/2020).
Sebagai gantinya, Minarsih membentuk grup WhatsApp yang terdiri dari petugas ruangan dan pasien. Sehingga komunikasi bisa dilakukan secara daring tanpa harus masuk ke dalam ruang isolasi.
Rekan Minarsih, Tri Sudaryati (54) memberikan kesaksian sama. Perawat senior ini bahkan mengalami tekanan mental di luar tempat kerjanya sejak merawat pasien corona. Mereka mengucilkan saya karena dianggap bisa menularkan virus. Tak hanya oleh tetangga, beberapa rekan kerja di rumah sakit turut menjaga jarak dengan para tenaga medis yang bertugas. Mereka tak mau tertular oleh virus mematikan ini (Kompas.com 5/4/2020).
Di masa pertempuran melawan tentara tak terlihat ini, masyarakat justru bertindak diskriminatif dengan paramedis. Mereka yang merupakan pejuang garda depan dalam melawan pandemi ini, yang tak egois berjibaku merawat korban-korban yang jatuh terkena serangan, yang dengan sabar menahan kerinduan terhadap keluarga, memberi jarak agar kesayangan mereka tak terimbas dari virus ini.
Kecewa hati ini saat mendapat kabar ada masyarakat yang menolak pemakaman jenazah para medis. Dengan alasan takut tertular virus ini, mereka tak membiarkan jenazah itu bersemayam dengan tenang. Akibat Coronafobia dimasyarakat. Ganjar Pranomo, orang nomor satu di Jawa Tengah itu berpesan peristiwa penolakan jenazah ini jangan sampai terulang (Kompas, 10/4/20).
Akan tetapi, ada yang lebih menyayat hati. Ini bukan lagi bicara masalah orang mati, tapi orang yang masih hidup. Akibat rasa takut yang berlebihan, luntur sudah rasa kemanusiaannya. Sebagian masyarakat tega mengusir para dokter dan perawat dari kosnya, hanya karena takut tertular virus. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa paramedis di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta (liputan6, 25/3/20).
Miris, di tengah krisis seperti ini seharusnya kita bahu membahu. Meringankan beban saudara. Saling menolong dan menyuntikkan semangat kepada mereka para pejuang garda depan Covid-19. Namun, egoisme mengikis rasa kemanusiaan tersebut.
Sebagian masyarakat terlalu “parno” dan akhirnya hanya memikirkan keselamatannya sendiri. Kondisi seperti ini bisa dialami masyarakat karena kurangnya sosialisasi. Banyak dari mereka tak memahami bagaimana Covid-19 bisa menular. Yang mereka tahu hanya “paramedis adalah kelompok yang paling rentan terpapar corona”. Apalagi dengan melihat prosesi pemakaman yang menurut mereka “aneh”.
Kondisi macam ini tentu melahirkan pemikiran-pemikiran negatif kepada para pejuang garda terdepan. Apabila tak diimbangi dengan penyuluhan yang pas, sosialisasi yang rata, serta penyediaan sarana kesehatan yang tercukupi, akan menimbulkan pemahaman yang tumpang tindih.
Hasilnya rakyat berpersepsi dengan spekulasi sendiri. Tragedi ini terjadi akibat adanya miskomunikasi yang sampai pada masyarakat. Sebuah kelalaian yang harus dipertanggungjawabkan sebab merugikan paramedis dan masyarakat itu sendiri.
Harusnya, instansi terkait yang memberikan penyuluhan kepada masyarakat, dapat memastikan informasi itu sampai ke setiap rakyatnya. Bukan hanya duduk dan diam tinggal menerima laporan saja. Inilah bukti lalainya pemimpin dalam mengecek apakah info itu benar-benar sampai pada masyarakat ataukah tidak.
Pemimpin itu pelayan bukan minta dilayani. Sangat disayangkan jika pemimpin yang ditugaskan mengayomi rakyat bertindak lalai. Jika hal ini dibiarkan, bisa saja akan ada banyak nyawa tak berdosa dikorbankan.
Entah dari kurang tanggapnya masyarakat terhadap pandemi ini, atau justru banyaknya paramedis yang dikorbankan dalam perang ini. Harusnya, sebagai seorang pemimpin ingat bahwa segala apa yang dipimpin akan diminta pertanggungjawaban. Apalagi bagi pemimpin yang lalai, hidupnya tidak akan tenang di akhirat. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini