Oleh : Anis Zakiyatul M
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Rencana pemindahan Ibu kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan sudah beberapa kali di wacanakan menuai reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Indonesia telah tercatat melakukan pemindahan Ibu kota sejak era kolonial, yakni antara tahun 1945-1950 dari Jakarta ke Yogyakarta lalu ke Bukittinggi, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta hingga saat ini.
Pemindahan ibu kota negara, kembali direncanakan di era Jokowi. Sejak 2019 lalu, hal ini sudah santer diberitakan. Banyak hal yang melatarbelakangi rencana pemindahan ibu kota. Seperti populasi penduduk di Jakarta yang sudah padat, kemacetan, kualitas air buruk, menurunnya permukaan tanah, meningkatnya permukaan laut, banjir, hingga polusi.
Untuk lokasi ibu kota baru, Jokowi telah memastikannya yakni berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Setidaknya ada lima alasan utama dipilihnya daerah tersebut yang pertama adalah karena dianggap minim risiko bencana, kedua karena berada di tengah kota, ketiga lokasi berdekatan dengan wilayah berkembang, keempat memiliki infrastruktur relatif lengkap, dan alasan yang kelima adalah karena lahan milik pemerintah.
Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota lain di luar pulau Jawa adalah sekitar Rp. 323 - Rp. 466 triliun. Terkait aspek pendanaan, APBN hanya bisa menanggung 19,2% atau 89,472 triliun dari total kebutuhan pembiayaan. Untuk sisanya pemerintah mengandalkan investasi langsung swasta/BUMN dipatok 26,2% atau sebesar Rp 122,092 triliun. Sedangkan melalui KPBU/PPP porsinya 54,6% atau sebesar Rp 254,436 triliun (cnbcIndonesia.com 19/12/19). Ini berarti lebih dari 80% pendanaan ibu kota baru bersumber dari swasta.
Pemindahan ibu kota negara juga akan melibatkan banyak pihak asing. Seperti Syekh Mohammed bin Zayed (MBZ) dari Uni Emirat Arab, CEO SoftBank Masayoshi Son, dan mantan Perdana Menteri Inggris 1997-2007, Tony Blair. Mereka bertiga telah ditunjuk Jokowi sebagai dewan pengarah pembangunan ibu kota negara yang baru. Amerika serikat, China, dan Jepang juga akan turut membantu dalam mendesain ibu kota baru. Tidak hanya itu, Jokowi juga menjelaskan bahwa banyak investor asing yang berminat untuk investasi di ibu kota baru, mulai dari Jepang, Hongkong, Korea, Hongaria, dan tak ketinggalan Uni Emirat Arab.
Sudah sepatutnya kita merasa khawatir dengan rencana tersebut, dengan banyaknya investor asing di ibu kota baru, maka akan semakin besar pula intervensi kepentingan asing di negeri ini. Selain itu, nantinya dalam pengambilan keuntungan ekonomi juga pasti akan tersalurkan kepada asing, bukan lagi kepada rakyat.
Saat ini Indonesia tengah menghadapi badai pandemi virus covid-19, meski demikian Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan persiapan pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur terus berjalan. Hal itu diungkapkan oleh juru bicara Luhut, Jodi Mahardi. Senada dengan Jodi, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Danis Sumadilaga pada pekan lalu juga mengatakan bahwa saat ini kementeriannya terus menyiapkan pemindahan ibu kota di tengah pandemi corona. Persiapan itu meliputi penyusunan desain urban yang ditargetkan tuntas pada medio tahun 2020. (Tempo.co 25/3/20)
Hal tersebut tentu sangat disayangkan, terlebih kondisi seperti saat ini dimana kasus positif virus covid-19 terus bertambah setiap harinya. Hingga Selasa 7 April 2020 tercatat ada 2.738 orang yang positif covid-19 di tanah air. Ketua DPP PKS Aboe Bakar Al Habsy pun menganggap aneh keputusan pemerintah yang tetap ngotot untuk memindahkan ibu kota negara, sedangkan penanganan wabah virus covid-19 pemerintah justru berencana membuka rekening khusus untuk menampung donasi dari pelaku usaha. (Gelora.co 28/3/2020)
Dapat dikatakan bahwa tidak ada urgensi pemindahan ibu kota terlebih untuk kondisi saat ini. Pemerintah harusnya bisa lebih fokus menanggulangi semakin bertambahnya warga yang positif Covid-19, bukan malah tersibukkan mencari investor baru untuk ibu kota negara. Akan tetapi berharap hal demikian pada negara yang menganut sistem kapitalisme adalah sia-sia belaka, karena penguasa hanya akan membuka tangannya untuk asing. Sedangkan untuk mengatasi wabah yang menjangkiti rakyat mereka menutup mata.
Memang begitulah watak pemimpin dalam sistem kapitalisme, selalu memudahkan kepentingan pengusaha dan asing. Sedangkan urusan nyawa rakyat dianggap tidak lebih penting dari pemindahan ibu kota baru. Padahal rakyat telah dibebankan dengan berbagai pajak dan iuran.
Kondisi seperti ini tentu tidak akan mungkin terjadi seandainya negara menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Mengelola negara tidaklah sama dengan mengelola perusahaan. Negara bukan profit entity, namun supremacy state. Karena fungsi pemimpin negara dalam sistem khilafah adalah sebagai pengurus sekaligus pelindung bagi rakyat, tanah air, dan kedaulatannya.
Apabila suatu saat dalam sistem kekhilafahan terjadi wabah seperti saat ini, Hal utama yang harus dilakukan adalah fokus memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyat, memberikan jaminan kesehatan, menggratiskan biaya pengobatan, melakukan edukasi secara terus menerus tentang pentingnya menjaga kebersihan diri ataupun lingkungan, mengumpulkan para pakar dan ilmuwan untuk menemukan obat atau vaksin, dan utamanya adalah tidak akan memberi celah sedikit pun pada pengusaha kapitalis ataupun asing untuk mengambil kesempatan menjerat negara lewat utang atas nama bantuan kemanusiaan.
Semua kewajiban tersebut akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan serius oleh khalifah. Karena khalifah sadar betul bahwa dia adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW : Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).