Corona Mengganas, Kebijakan Rezim Bikin Gemas




Oleh: Budi Ati Istiqomah, S.Si
  
Ngeri, dunia dihantui wabah pandemi. Kali ini, virus corona baru (2019-nCoV) penyebab infeksi seperti pneumoni. Virus 2019-nCoV yang karakteristik genetiknya mirip dengan penyebab SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) ini pun dengan cepat tersebar ke wilayah geografis yang luas.

Berawal dari Wuhan Tiongkok hingga menyebar lebih dari dua ratus Negara di dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena, 34 provinsi di Indonesia terkonfirmasi sudah menjadi zona merah. Proses penularannnya sangat cepat dari manusia ke manusia. Dari hari ke hari nampak jumlah pasien positif semakin meningkat baik di Indonesia maupun dunia.

 Adapun jumlah kasus di dunia saat ini menyentuh  lebih dari dua juta. Beberapa kepala negara sudah merasa kewalahan dalam menanganinya seperti Italia dan AS. 

Di Indonesia trend pertambahannya juga semakin hari semakin tinggi. Data per 16 April 2020 ada 5516 positif, 496 orang meninggal. Bahkan belum bisa diprediksi secara pasti kapan laju penyebaran virus ini berhenti. 

Ketua Satgas COVID-19  dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. dr. Zubairi Djoerban Sp.PD memprediksi penyebaran COVID-19  ini seperti gunung es. Artinya, jumlah kasus yang terlihat tampak sedikit, padahal banyak yang tidak terungkap. Menurut prediksi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), yang merupakan bagian draft “COVID-19  Modelling Scenarios, Indonesia”, tanpa intervensi Negara, lebih kurang 2.500.000 orang berpotensi terjangkit COVID-19 .  Bila intervensinya rendah, kurang lebih 1.750.000 orang berpotensi terjangkiti COVID-19. 

Menurut prediksi beberapa kalangan, akan terjadi super spreading (penyebaran tak terkendali) wabah ini pada Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
Ketakutan dan kecemasan terkait penularan COVID-19  menggelayut di pikiran. Berbagai reaksi muncul ditengah masyarakat untuk membentengi diri agar tidak ketularan.

Diantaranya panic buying  dengan membeli berbagai APD misalnya masker, vitamin ataupun obat yng diinformsikan mampu menghalau virus ini. Akhirnya masker menjadi langka di pasaran, kalau ada harga melonjak tinggi. Hal itu mengakibatkan tenaga medis kekurangan masker.  

Selain itu, kecemasan masyarakat terlihat dari perlakuan masyarakat terhadap pasien dan keluarganya. Mereka menjauhi keluarga pasien. Tragisnya sebagian masyarakat  menolak TPU nya dijadikan tempat pemakaman korban  Corona karena khawatir akan membahayakan dan menularkan ke masyarakat sekitar. Seperti penolak pemakaman perawat RS Karyadi Semarang, Nuria Kurniasih, yang meninggal terinfeksi virus corona (COVID-19 ), di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sewakul, Ungaran, Kabupaten Semarang.

Masyarakat kian hari semakin cemas dengan semakin ganasnya COVID-19  ini. Sayangnya pemimpin Negeri ini tak bersungguh–sungguh dalam mengatasi wabah. Baik dari preventif maupun kuratifnya. Pemerintah seakan abai dengan nasib dan penderitaan rakyat. Seharusnya yang dilakukan pemerintah sejak awal muncul virus ini di Wuhan adalah mengantisipasinys agar tidak sampai masuk ke Indonesia. Namun ironinya, pemerintah justru menjadikan ini sebagai lelucon dan memandang remeh. Bahkan WNA Cina pun dibiarkan masuk ke Indonesia dengan bebas, impor dari Cina pun masih dilakukan. Mereka mengabaikan pandangan para pakar kesehatan tentang bahaya penyebaran COVID-19. Rezim penguasa cenderung santai.  Mereka malah membuat pernyataan dan kebijakan yang kontraproduktif. Misalnya, ingin Corona bisa dimanfaatkan dalam bidang ekonomi dan pariwisata. Di tengah Corona, rezim negeri ini ingin agar Indonesia bisa mengambil pasar produk yang sebelumnya impor dari Tiongkok dan membuka lebar pintu Indonesia untuk wisata bagi turis yang batal ke Tiongkok. Bahkan rezim ini mengeluarkan 72 miliar untuk membiayai buzzer pariwisata. 

Minimnya upaya preventif inilah yang menjadikan Indonesia terpapar wabah. Sangat disesalkan ketidaksungguhan pemerintah dalam upaya pencegahan.  Sebab, nyaris tanpa tindakan. Jauh dari langkah antisipatif, praktis produktif yang berbuah kebaikan pada setiap individu masyarakat. 
Upaya signifikan untuk mengatasi wabah tak kunjung juga didapatkan rakyat. Hanya sekadar pidato basa basi yang tak memberi solusi. Pemerintah hanya menetapkan kebijakan PSBB di Jakarta sebagai episentrum, tanpa menjamin kebutuhan asasi rakyat. 

Mengharapkan negara akan melayani adalah sebuah ilusi di negara yang menerapkan sistem kapitalis. Rakyat tetap akan dalam angan-angan kosong selama dipimpin oleh penguasa yang terbuka tangannya untuk asing. 

Bahkan saat ini terjadi fenomena mudik skala besar dari Jakarta ke daerah asal karena ekonomi sedang lesu di Jakarta.  Hal ini tentu akan menyebabkan penyebaran COVID-19  semakin tak terkendali.   
Dengan demikian dari aspek mana pun, jelas sekali pemerintah Indonesia lalai dan tidak siap menghadapi wabah 2019-nCoV.

Hingga wabah ini sudah memakan korban jiwa yang banyak pemerintah masih plin – plan dalam mengambil kebijakan. Bila ditelisik lebih dalam semua kelalaian itu berpangkal dari berbagai paradigma batil sekularistik. Semua itu berpangkal dari kehadiran rezim berkuasa sebagai pelaksana sistem kehidupan sekular kapitalistik, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. 

Belum lagi beberapa kepala daerah berusaha membuat kebijakan masing-masing untuk menangani COVID-19 . Hampir tak ada kepemimpinan dari pusat dalam penanganan COVID-19 . Desakan untuk lockdown atau karantina wilayah pun disampaikan oleh banyak kalangan. Namun, rezim tak bergeming. Ia cenderung tak mau menanggung konsekuensi pelaksanaan Pasal 55 ayat 1 UU No. 6 tahun 2018, yaitu Pemerintah Pusat harus menjamin kebutuhan dasar orang dan makanan hewan ternak bila karantina wilayah atau lockdown diberlakukan. Pemerintah sangat jelas ingin menghindar dari tanggung jawab.

Kondisi tersebut sangat berkebalikan sekali dengan Islam. Dalam Islam, ketika terjadi wabah di sebuah wilayah. Maka harus dipastikan betul daerah mana yang perlu ditutup, daerah mana yang perlu diwaspadai, dan daerah mana yang masih dapat aktif seperti biasa. Disini tidak berlaku konsep negara bangsa dan budaya setempat sehingga ada alasan untuk berbeda kebijakan. Kebijakan tersentralisasi di tangan kepala negara (khalifah) meskipun wilayahnya terbentang dimana-mana.

Metode karantina di dalam Negara Islam ini telah mendahului semua negara. Ini pula yang dilakukan oleh Khilafah Umar ra. saat terjadi wabah Tha’un pada era kepemimpinannya. Inilah yang seharusnya diteladani oleh para pemimpin Muslim saat menghadapi wabah.  Ketika wabah telah menyebar dalam suatu wilayah, Negara wajib menjamin pelayanan kesehatan berupa pengobatan secara gratis untuk seluruh rakyat di wilayah wabah tersebut.  Negara harus mendirikan rumah sakit, laboratorium pengobatan dan fasilitas lainnya untuk mendukung pelayanan kesehatan masyarakat agar wabah segera berakhir. 

Negara pun wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, khususnya kebutuhan pangan rakyat di wilayah wabah tersebut. Adapun orang-orang sehat di luar wilayah yang dikarantina tetap melanjutkan kerja mereka sehingga kehidupan sosial dan ekonomi tetap berjalan.

Inilah langkah-langkah sahih yang akan dilakukan oleh negara yang menerapkan syariah  Islam secara kaffah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak