BPfA Absurd, Islam Solusinya


sumber gambar : google



Ruly Ummu Fawwaz
( Praktisi Pendidikan dan pengasuh Grup Ibu Cinta Quran)

Kasus pemerkosaan terhadap anak perempuan kelas 2 SD di Jambi oleh empat orang kakak kelasnya adalah tamparan keras bagi bangsa ini. Tak berselang lama, sebelumnya  viral sebuah video pelecehan seksual seorang siswi di Sulawesi Utara. 

Pelecehan seksual  terjadi di dalam kelas dilakukan sekelompok siswa yang masih mengenakan seragam sekolah. Peristiwa tersebut menjadi catatan kelam kasus kekerasan terhadap anak perempuan Indonesia. (Detik.com 20/03/2020)

Masih banyak kasus-kasus pelecehan seksual yang kerap menimpa perempuan dan anak Indonesia. Bahkan, catatan tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Catahu Komnas Perempuan) 2020 yang diluncurkan, Jumat (6/3/2020) di Jakarta, mencatat   kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2019 mencapai 431.471 kasus.

Angka ini jauh melonjak dibandingkan Catahu Komnas Perempuan 2008 yang jumlahnya mencapai 54.425 kasus. Itu artinya, angka kekerasan pada Perempuan hingga di level mengkhawatirkan, yaitu 8 kali lipatnya atau naik sebesar 792 persen.

Feminis memandang permasalahan diatas terjadi karena tidak ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Maka dari itu, sangatlah wajar jika para feminis terus menyuarakan ide kesetaraan. Baik penyadaran dalam bentuk kampanye, konferensi internasional, seminar-seminar di institusi pendidikan, hingga deklarasi yang bermuara pada upaya pelegalan dalam bentuk kebijakan pemerintah.
Seperti Deklarasi Beijing tahun 1995 di Cina yang diadopsi oleh 189 negara, termasuk Indonesia.  Yang digadang-gadang pengiat Feminis mampu menjadi solusi permasalahan permpuan.

BPfA, Absurd!

Dikutip dari laman resmi Komnas Perempuan, BPfA (Beijing Platform for Action) adalah kesepakatan dari negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Discrimination Against Women) pada tahun 1995 di Beijing.

Dalam konferensi dunia tentang perempuan yang dilaksanakan di Beijing tanggal 4 hingga 15 September 1995 ini, seluruh negara anggota PBB sepakat untuk mengadopsi BPfA menjadi resolusi dan merekomendasikan Majelis Umum dalam sesi kelima untuk mengesahkan BPfA.

BPfA menghasilkan 12 bidang kritis dan setiap 5 tahun harus dilaporkan perkembangannya oleh setiap negara. Berikut adalah 12 bidang kritis tersebut:

1) Perempuan dan kemiskinan; 2) Perempuan dalam pendidikan dan pelatihan; 3) Perempuan dan Kesehatan; 4) Kekerasan terhadap perempuan; 5) Perempuan dalam situasi konflik bersenjata; 6) Perempuan dalam ekonomi; 7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) Perempuan dalam mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan; 9) HAM perempuan; 10) Perempuan dan media; 11) Perempuan dan lingkungan hidup; dan 12) Anak perempuan.

Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi CEDAW, bersama dengan negara-negara lain yang juga menyepakati BPfA, wajib membuat review implementasi BPfA sejak tahun 1995. Indonesia juga melaporkan perkembangan pelaksanaan BPfA di forum Asia Pasifik setiap lima tahun, yang kemudian di-review secara utuh oleh Commission on the Status of Women (CSW) yaitu pada tahun 2000, 2005, 2010, 2015, dan selanjutnya tahun 2020 ini. 

Tahun ini, 2020, Indonesia melakukan evaluasi terhadap 25 tahun pencapaian Deklarasi tersebut. Danty Anwar sebagai perwakilan dari delegasi pemerintah Indonesia menyebutkan beberapa keberhasilan yang dicapai Indonesia dalam soal keadilan dan kesetaraan gender yaitu pendidikan bagi perempuan, kuota perempuan di dalam parlemen yang melebihi 30% dan rencana pembahasan Rancangan Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) walau sempat tertunda. 

Pegiat feminis mengakui sejauh ini pelaksanaan BPfA belum maksimal. Setelah 25 tahun berlalu sejak 1995, progresnya lambat. Mereka berharap  BPfA+25 pada 2020 ini dapat menghasilkan review, pembelajaran dan langkah-langkah signifikan untuk pemajuan HAM perempuan ke depan.

Harapan tersebut seperti jauh panggang dari api, suatu hal yang mustahil terwujud. Karena sesungguhnya kejahatan pada perempuan tidak akan selesai hanya dengan melegalisasi undang-undang. Sementara ideologi yang menaungi negaranya adalah ideologi kapitalisme yang merendahkan perempuan. 

Misalnya saja undang-undang progender yang bertujuan untuk menghormati perempuan.
Hal demikian menjadi kontradiktif dengan prinsip kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan, termasuk di dalamnya eksploitasi perempuan.
Begitu pun solusi keterwakilan perempuan di parlemen, sungguh tidak akan pernah mewujudkan kehidupan perempuan yang lebih baik. Karena seruan keterwakilan ini didasarkan pada asumsi cacat yaitu ketika jumlah perempuan banyak di parlemen, hal itu akan meningkatkan status pengaruh politik dan ekonomi perempuan.

Padahal, negara adalah sebuah institusi yang dinaungi oleh sistem. Sistem kapitalisme liberal selalu memenangkan orang kaya. Tak peduli dia laki-laki ataupun perempuan, syahwat kekuasaan adalah motivasi ketergabungannya.

Islam Melindung Perempuan dari Kekerasan

Kekerasan terhadap perempuan adalah sesuatu yang lumrah di sistem kehidupan yang kapitalistik. Hal tersebut dikarenakan kapitalisme tidak menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga. Kapitalisme hanya menjadikan perempuan sebagai sekrup-sekrup hegemoni mereka, yang bisa dieksploitasi kapan saja.

Islam dengan seperangkat aturannya telah menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga. Perempuan harus diberi perlindungan dan dijaga kehormatannya, termasuk di dalamnya terhadap kekerasan.
Pertama, syariat mengatur agar kehormatan perempuan terpelihara. Perempuan adalah mitra laki-laki, interaksi keduanya adalah ta’awun (tolong menolong).

“Sesungguhnya wanita itu adalah saudaranya para pria.” (HR. Ahmad)

Dari pengaturan tersebut, tugas pokok perempuan adalah ummun warobatul baiti (Ibu dan pengatur rumah tangga). Dengan pengaturan yang jelas seperti ini, perempuan akan terlindungi dari kekerasan di ruang publik, karena kesehariannya adalah di rumah.

Sejalan dengan itu, Islam telah mewajibkan pada laki-laki untuk menanggung nafkah perempuan. Pembagian peran ini, bukanlah bentuk diskriminasi seperti yang digaungkan oleh para feminis. Namun pembagian tugas ini adalah sebuah bentuk kerja sama yang saling mengoptimalkan potensi fitrahnya.

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. 

"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."(QS Al-Baqarah: 233)

Kedua, syariat Islam menjamin perlindungan perempuan dari tindakan kekerasan di rumah. Dengan adanya syariat pernikahan yang menjamin hak dan kewajiban bagi suami istri, maka jika ada yang menistakan salah satu pihak, berarti sama saja sedang melanggar syariat Allah SWT.
Oleh karena itu, syariat mendorong agar laki-laki ataupun perempuan menikah atas dasar agamanya, bukan hartanya, keturunannya atau fisiknya. Sehingga, bekal keimanan dalam mengarungi bahtera rumah tangga adalah modal terbesar dalam kokohnya bangunan sebuah keluarga.

Rasulullah Muhammad Saw pun bersabda,

“Orang yang imannya paling sempurna di antara kalian adalah yang paling berakhlak mulia, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR Tirmidzi)

Ketiga, syariat Islam juga memberikan perlindungan kepada perempuan secara menyeluruh. Melarang aktivitas yang menjadikan perempuan sebagai komoditas sehingga merendahkan derajatnya. Menerapkan sanksi tegas pada segala bentuk pelecehan. Sehingga perempuan bisa aman jika berada di ruang publik.

Perempuan pun bisa berkiprah di politik dan berkontribusi dalam kemaslahatan umat tanpa mengabaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Perempuan tidak dibebani dengan urusan nafkah. Inilah yang menjadikan perempuan dalam Islam justru bisa memiliki semuanya.  Namun, syariat tentang perlindungan terhadap perempuan ini, sungguh mustahil diterapkan dalam sistem pemerintahan yang berideologikan kapitalisme. Syariat ini hanya bisa diberlakukan dalam sistem pemerintahan Khilafah yang menerapkan seluruh syariat Allah SWT.

Semoga Allah Ta’ala meneguhkan hati para pegiat syariat Allah SWT, yaitu para pengemban dakwah yang tak kenal menyerah dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah.  Wallahu a'lam


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak