Oleh: Rindoe Arrayah
Keterpurukan serta penderitaan yang tidak berkesudahan telah menimpa masyarakat di seluruh dunia, tak terkecuali di negeri kita tercinta. Mengapa bisa demikian? Hal ini dikarenakan, pemimpin yang berkuasa tidak mau menerapkan sistem kehidupan dari Al-Khaliq. Telah jamak adanya, jika sistem demokrasi yang diterapkan saat ini terbukti tidak bisa mengantarkan masyarakat menuju perubahan ke arah kebaikan. Banyak fakta didapati terkait akibat kerusakan demokrasi.
Kasus korupsi yang hingga kini tiada titik akhirnya. Masih hangat dalam ingat tentunya, kasus korupsi di PT. Jiwasraya beberapa waktu lalu. Persoalan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) diketahui membengkak dari Rp 802 miliar pada Oktober 2018 menjadi Rp 12,4 triliun pada akhir 2019 (CNBC Indonesia, 30/01/2020).
Fakta di atas bukanlah korupsi pertama dan satu-satunya yang terjadi di Indonesia. Bahkan, korupsi yang terjadi telah menyeret nama-nama para pejabat tingkat atas hingga bawah. Pemimpin yang diharapkan menjadi sosok yang amanah ternyata jauh dari kenyataan. Sangat disayangkan, sosok mereka tidak bisa dijadikan sebagai panutan bagi rakyat.
Biaya pendidikan yang kian tahun selalu meroket, BBM yang dinaikkan harganya secara diam-diam di tengah malam, serta fakta terbaru tentang penanganan pemerintah menghadapi penyebaran virus corona saat ini yang penuh kontroversi. Sungguh, sangat menyedihkan jika melihat sosok pemimpin yang tidak bisa amanah dalam mengemban tugasnya dalam mengurus rakyatnya.
Salah satu ciri orang Mukmin adalah memenuhi amanah. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا …
“Sungguh Allah menyuruh kalian untuk memberikan amanah kepada ahlinya…” (QS. An-Nisa’ [4]: 58).
Sebaliknya, Allah SWT mencela sikap khianat:
…إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“…Sungguh Allah tidak menyukai para pengkhianat.” (QS. Al-‘Anfal [8]: 58).
Khianat bahkan menjadi salah satu tanda kemunafikan. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu ada tiga; jika berkata, ia berdusta; jika berjanji, ia ingkar; jika diberi amanah, ia berkhianat.” (HR. Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
Amanah mencakup segala aspek kehidupan seorang Muslim. Seluruh perintah syariah adalah amanah. Karena itu melakukan ketaatan total terhadap syariah dapat dikatakan sebagai amanah.
Kepemimpinan—dalam konteks bernegara—adalah amanah untuk mengurus rakyat. Rasulullah SAW bersabda:
…الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Berkaitan dengan pengurusan rakyat, Rasulullah SAW bersabda:
كَانَتْ بَنُوْإِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ. قَالُوْا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ. وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dulu Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak akan ada nabi setelahku, tetapi akan ada banyak khalifah.” Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Beri mereka hak mereka karena Allah nanti akan meminta pertanggungjawaban mereka atas urusan saja yang telah diserahkan kepada mereka.” (HR. Muslim).
Dalam hadits tersebut jelas bahwa para khalifah, sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurus mereka dengan baik atau tidak.
Mengurusi kemaslahatan rakyat yang menjadi amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam). Karena itu selalu merujuk pada syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat adalah wajib. Allah SWT berfirman::
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ…
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah)…” (QS. An-Nisa’ [4]: 59).
Mengomentari ayat di atas, Imam al-Qurthubi berkata, “Setelah ayat sebelumnya (QS. An-Nisa’ [4]: 58) memerintahkan para penguasa untuk menunaikan amanah dan mengatur urusan masyarakat dengan adil, ayat ini diawali dengan perintah kepada rakyat agar: Pertama, menaati Allah SWT dengan cara melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, menaati Rasul-Nya, yakni dalam semua hal yang beliau perintahkan maupun yang beliau larang. Ketiga, menaati para pemimpin.”
Dengan demikian, amanah untuk mengurus semua kemaslahatan rakyat tidak boleh didasarkan pada aturan-aturan kapitalis sekular—sebagaimana yang terjadi saat ini—yang dasarnya adalah hawa nafsu dan kepentingan sesaat. Allah SWT jelas mencela segala tindakan yang berumber dari hawa nafsu manusia:
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ…
“Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya…” (QS. Al-Kahfi [18]: 28).
Allah SWT pun mencela orang-orang—apalagi para pemimpin—yang cenderung tunduk pada kehendak kaum kafir dan kaum munafik:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan kaum kafir dan kaum munafik. Sungguh Allah adalah Mahatahu lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Ahzab [33]: 1).
وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ وَدَعْ أَذَاهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا
“Janganlah kamu menuruti kaum kafir dan kaum munafik itu. Janganlah kamu menghiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung.” (QS. Al-Ahzab [33]: 48).
فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ
“Janganlah kamu mengikuti kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. (QS. Al-Qalam [68]: 8).
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ ءَاثِمًا أَوْ كَفُورًا
“Bersabarlah kamu untuk melaksanakan hukum Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti para pendosa atau kaum kafir di antara mereka.” (QS. Al-Insan [76]: 24).
Allah SWT dengan kasih sayang-Nya telah menurunkan syariah-Nya sebagai pedoman untuk mengatur urusan manusia demi kemaslahatan mereka. Kita wajib terikat dengan seluruh syariah-Nya dan haram mengikuti hawa nafsu. Demikian sebagaimana yang Allah SWT perintahkan:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 49).
Kaum Muslim, termasuk para penguasa, wajib melaksanakan seluruh syariah Allah SWT. Sedikitpun kita haram mencampakkan syariah-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang Mukmin dan mempercayai Rasul-Nya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam dan syariah Islam, mengerjakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya selagi mereka mampu.”
Menjalankan amanah kepemimpinan, bahkan untuk sekadar menasihati rakyat, itu pun menjadi tanggung jawab pemimpin. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
ماَ مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً لَمْ يُحِطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ لمَ ْيَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seseorang diserahi Allah memimpin urusan rakyat, lalu dia tidak menasihati rakyatnya, melainkan dia tidak mencium harumnya surge.” (HR. Bukhari).
Pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah setelah beliau, para pemimpinlah (khalifah/kepala negara, wali/gubernur, amil/walikota/bupati, panglima tentara) yang setiap Jumat berkhutbah menyampaikan nasihat takwa kepada kaum Muslim. Dari sini juga bisa dimengerti bahwa para pemimpin bertugas menjaga agar rakyat yang mereka pimpin tetap dalam jalur takwa, yakni tetap berjalan sesuai dengan syariah Allah SWT agar Dia meridhai mereka.
Sebagai bagian dari umat, ulama juga memiliki amanah untuk membimbing umat dan para pemimpin mereka di atas jalan Allah SWT. Ulama harus amanah dalam menjaga agama dan syariahnya. Ulama harus amanah untuk memastikan pelaksanaan syariah Allah SWT di muka bumi ini karena mereka adalah perwaris para nabi.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
“Sungguh ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian ulama harus selalu menjaga agar kepemimpinan Islam tetap lurus. Para ulama wajib menjalankan amanah ini karena mereka pun akan dihisab atas amanah mereka.
Demikian juga kaum Muslim pada umumnya. Mereka pun—bersama-sama para ulama—memiliki amanah untuk berjuang menerapkan syariah Islam secara kâffah. Mereka harus melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa dan umat. Mereka pun wajib mendorong penguasa dan umat untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Alhasil, semua pihak—para pengusa, ulama dan umat—wajib menunaikan amanah mereka demi terwujudnya syariah Islam secara kâffah. Jika tidak, berarti mereka—sadar ataupun tidak—telah mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kepemimpinan yang amanah hanyalah kepemimpinan yang didasarkan pada syariah Islam. Dengan kata lain, pemimpin yang amanah hanyalah pemimpin yang benar-benar menerapkan dan menjalankan syariah Islam secara kâffah dalam mengurus semua urusan rakyatnya. Tanpa syariah Islam, sebagaimana yang terjadi saat ini, khususnya di negeri ini, mustahil para penguasa dan para pemimpin bisa amanah dalam mengurus rakyat mereka.
وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada hari kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haq dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya.” (HR. Muslim).
أَيُّمَا رَاعٍ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَغَشَّهَا فَهُوَ فِي النَّارِ
“Siapapun yang diangkat memegang tampuk kepimpinan atas rakyat, lalu dia menipu mereka, maka dia masuk neraka.” (HR. Ahmad).
Umat saat ini sedang merindukan kehadiran sosok pemimpin amanah yang akan menerapkan syariah Islam, sehingga bisa mengantarkan masyarakat menuju kebangkitan dalam kehidupan. Sosok pemimpin yang bisa dijadikan sebagai panutan dalam hal kebaikan. Keberadaan pemimpin yang amanah akan mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang penuh dengan keberkahan.
Wallahu’alam bishowab.