Back to Fitrah



Oleh : Arimbi N.U

Dampak covid-19 nampaknya tak hanya mengguncang dunia kesehatan dan perekonomian saja. Dunia pendidikan dan dunia kaum ibu pun tak luput diguncang oleh wabah satu ini. Pasalnya, sejak mulai mewabahnya virus ini di Indonesia, sejumlah provinsi mengeluarkan kebijakan untuk meliburkan sekolah. Tak tanggung-tanggung, sejak senin (16/3) sampai senin (13/4) siswa-siswi dari jenjang TK, SD, SMP dan SMA belajar dari rumah. 

Langkah itu diambil untuk mengantisipasi penyebaran virus di lingkungan lembaga pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan pemerintah daerah (pemda) yang meliburkan sekolah karena khawatir dengan penyebaran Covid-19. Menurut Nadiem, keselamatan peserta didik dan guru menjadi yang utama.

"Dampak penyebaran COVID-19 akan berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Kami siap dukung kebijakan yang diambil pemda. ," ujar Nadiem. (Republika.co.id, Rabu 18 Maret 2020)

Meskipun demikian, siswa tetap mengerjakan semua tugas sekolah meski berada di rumah dan orang tua yang juga bekerja dari rumah diminta untuk mengawasi proses belajar anak.

Selama hampir satu bulan beralih dari belajar di sekolah ke belajar di rumah, bagaimana kondisi yang terjadi? Sekilas sepertinya akan menyenangkan, belajar di rumah tak perlu takut terlambat ke sekolah, istirahat bisa kapan saja, bahkan mungkin belajar sambil makan dan minum. Tidak ada guru yang marah-marah, pokoknya asyik.

Tapi apakah iya seasyik itu? Ternyata jauh panggang dari api. Harapan tak seindah kenyataan. Justru fakta di lapangan nyaring terdengar lonceng permasalahan berdentang. Mulai dari siswa yang mengeluh terlalu banyak tugas, para orang tua yang kebingungan karena tak memiliki fasilitas untuk mengerjakan tugas anaknya serta tak sedikit yang gaptek karena tugas-tugas sekolah banyak diberikan dengan format digital.

Namun ada satu hal yang paling mendasar, yaitu banyak orang tua yang shock dengan keberadaan sang anak di rumah. Biasanya seorang ibu rumah tangga memiliki waktu sekitar kurang lebih 6 jam tanpa kehadiran anaknya yang sedang bersekolah. Sedangkan untuk wanita karir mungkin lebih lama lagi, menyesuaikan dengan jam kantor. Sehingga mereka tidak siap, kaget dan kebingungan karena tidak terbiasa dengan kehadiran anaknya dirumah. 

Banyak suara dari kalangan para ibu yang mengatakan mereka lelah secara mental. Hal ini terjadi karena biasanya urusan pendidikan anak pasrah sepenuhnya diserahkan pada pihak sekolah, gurunya. Sekarang, dengan pengalihan metode belajar di rumah ini, para ibu harus menjelma menjadi guru di sekolah dan menghadapi anak secara fulltime. 

Terlebih bagi ibu yang mendua, menjadi seorang wanita karir. Yang sangat mungkin menjauhkan fitrahnya sebagai ibu, pengatur rumah dan pendidik yang pertama. 

Apakah para ibu yang mendua ini termakan rayuan kesetaraan gender yang lantang menyamakan fungsi laki-laki dan perempuan? Sehingga justru memalingkan fungsi keibuannya menuju peran pemberdayaan ekonomi? Ataukah memang tuntutan kehidupan?

Yang jelas, dengan memilih menjadi ibu yang bekerja di luar rumah, waktu dan tanggung jawab terhadap anaknya pastilah tereduksi. Peran ibu yang utama tak terlaksana dengan optimal. Padahal anak merupakan generasi penerus bangsa. Jika kualitas generasi penerus bangsa buruk karena kurangnya pendidikan dari ibunya. Maka sangatlah mungkin masa depan bangsa itu akan hancur.

Suatu bangsa bisa maju jika memiliki kualitas generasi muda yang gemilang. Tak cuma pandai dalam bilangan, namun cemerlang dalam memahami kehidupan. 

Hal ini hanya bisa tercapai dengan peran ibu di dalamnya. Islam telah meletakkan singgasana para wanita di rumahnya yang dengannya terjaga kehormatannya. Hendaknya para ibu yang meninggalkan singgasana ini segera kembali. Karena disinilah sesungguhnya peran luar biasa yang mampu membawa kebangkitan manusia. Yang mampu membawa manusia tidak hanya pada kebahagiaan dunia namun juga di akhirat. 

Tak usah termakan rayuan kesetaraan gender, yang terbukti selama 25 tahun digembar-gemborkan tak mampu memperbaiki kehidupan wanita seperti yang digadang-gadang. Justru kesetaraan gender menjadi salah satu penyebab mundurnya bahkan hilangnya peran ibu dalam keluarga. 

Allah SWT sebagai pencipta manusia pasti tahu apa yang terbaik untuk makhlukNya, pasti sudah memberikan porsi yang pas dan seimbang antara laki-laki dan perempuan. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (An-Nisa Ayat 32).

Dibalik segala sesuatu pasti ada hikmah tersembunyi yang tidak kita ketahui. Demikian juga dengan kondisi sekarang. Jadikan momen belajar di rumah ini, masa physical distancing ini sebagai sarana mendekatkan diri pada keluarga dan menanamkan nilai-nilai Islam pada anak-anak. Generasi mulia yang taat pada syariat adalah tujuan utama seorang ibu. 

Anak-anak adalah salah satu ladang amal yang Allah SWT berikan kepada kita. Semoga kita bisa menuai sebanyak-banyaknya amal saleh.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (An-Nahl Ayat 97).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak