Oleh : Verawati S.Pd
( Member Akademi Menulis Kreatif)
Ketika pemerintah menetapkan akan memulangkan para napi di saat wabah corona, jujur sebagai masyarakat kekhawatiran saya terhadap keamanan lingkungan jadi bertambah. Pasalnya kondisi ekonomi sedang sulit, banyak yang di rumahkan bahkan di PHK. Ditambah harga barang-barang terus meningkat. Sedangkan kebutuhan perut harus dipenuhi. Dalam kondisi seperti ini, mendorong orang untuk nekat melakukan pencurian dan kejahatan lainnya. Betul saja beberapa hari yang lalu di komplek perumahan saya tinggal telah terjadi pencurian kaca spion mobil dengan cara menghancurkan kaca pintunya. Kewaspadaanpun akhirnya ditinggkatkan lagi oleh ketua rukun warga dengan pengawasan dari satpam yang lebih sering berkeliling.
Di beberapa daerah seperti di Jakarta dan di Pontianak terjadi pula kasus pencurian. Di jakarta terjadi kasus pencurian kotak amal sebuah mushola yang pencurinya mengaku sebagai ODP. Sebagaimana dilansir oleh media iNews.Id,10/04/2020, Kamera CCTV merekam aksi seorang pria, RZ membobol kotak amal musala di Jalan Liun, Petukangan, Jakarta Selatan. Warga yang melihat aksi pelaku menangkapnya. Demi menghindari amukan massa, pelaku mengaku sebagai Orang Dalam Pengawasan (ODP) virus corona (Covid-19). Warga yang mengepung sempat tidak berani mendekati pelaku.
Sedangkan di Pontianak terjadi pencurian motor yang pelakunya adalah mantan napi yang dibebaskan karena asimilasi. Sebagaimana dilansir oleh media cnnindonesia.com,15 April 2020. Baru dua hari menghirup udara bebas di luar penjara berkat asimilasi yang diberikan oleh Kemenkumham di tengah vandemi wabah corona, seorangmantan narapidana kembali ditangkap polisi di Pontianak, Kalimantan Barat. Mereka ditangkap karena melakukan pidana pencurian.
Sejak awal April 2020 pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly memulangkan sejumah nara pidana. Kurang lebih sekitar 3000 napi mendapatkan remisi atau pemulangan cepat akibat wabah corona. Tujuannya adalah agar tidak terjadi penularan dikerumunan rumah tahanan. Beberapa syarat untuk bisa bebas cepat diantaranya adalah telah menjalani 2/3 masa tahanan. Namun untuk narapidana kasus terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi warga negara asing tidak menerima pembebasan. Pro dan konta pun tengah terjadi di kalangan masyarakat. Sebab kebijakan ini memiliki nilai positif dan negatif. Nilai positifnya adalah mencegah penularan virus corona, namun sisi negatifnya adalah gejolak yang terjadi di tengah masyarakat seperti banyaknya pencurian dan kecemburuan sosial di antara para napi yang tidak bebas.
Teranyar, kerusuhan terjadi di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA, Tuminting, Manado, Sulawesi Utara pada Sabtu 11 April 2020. Kerusuhan itu diduga kuat akibat warga binaan khawatir terjangkit virus corona dan meminta untuk dibebaskan.
Anggota Komisi III DPR, Habiburokhman memandang kerusuhan napi yang terjadi di lapas merupakan bom waktu dari adanya program asimilasi akibat pandemi virus corona hanya diperuntukkan bagi narapidana umum.
Dari fakta-fakta di atas ada beberapa hal yang bisa kita kritisi. Pertama, fakta di atas menunjukan bahwa rezim tidak mampu memberikan jaminan keamanan terhadap masyarakat. Terlebih di tengah wabah saat ini. Seharusnya jaminan keamanan menjadi hal yang utama. Sebab dengan adanya wabah saja sudah membuat masyarakat takut dan mengalami berbagai kondisi yang menyulitkan. Sulitnya akses penghidupan menjadi problem utama, yang bisa menimbulkan stres atau tindak kejahatan. Maka ketika ditambah dengan banyaknya para narapidana yang dipulangkan semakin meningkatkan rasa khawatir yang dialami masyarakat. Hal ini juga menunjukan bahwa kebijakan asimilasi narapidana tidak efektif diterapkan saat ini.
Kedua, menunjukan bahwa penjara tidak membuat para narapidana tobat, bahkan mereka ada yang menjadi lebih beringas ketika keluar penjara. Penjara sejatinya tempat untuk seseorang bisa kembali pada jalan yang benar. Penjara sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu penjoro yang artinya tobat. Namun seiring perkembangannya penjara juga mengikuti kebijakan politik nasinal yang diberlakukan. Misal masanya Soeharto banyak tokoh yang dipenjara bukan karena mencuri tetapi karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Kini kebijakan politik nasional penjara adalah sebagai lembaga pemasyarakatan. Artinya kehidupan di dalam penjara sama dengan kehidupan di luar penjara. Maka kasus suap, sogok dan kongkalingkong serta tahu sama tahu merupakan hal yang lumrah. Maka tidak heran kalau mereka yang keluar dari penjara tidak mengalami perubahan.
Hukuman dalam Islam
Islam memiliki sejumlah hukuman bagi pelaku tindak pidana (kemaksiatan) yang terjadi di tengah masyarakat. Tindak pidana sendiri disebut dengan zarimah. Hukuman zarimah meliputi tiga hal. Pertama yaitu hudud, yang hukumannya sudah ditetapkan di dalam Al-Quran seperti berzina dan mencuri. Kedua, qishos yakni hukuman setimpal bagi pelaku pembunuhan atau penghilangan bagian tubuh dan bila ada pemberian maaf dari korban ada hukuman lain yaitu diyat atau denda. Ketiga, Ta’zir yaitu hukuman atau sanksi yang ditetapkan oleh penguasa. Seperti untuk kasus memakai atau pengedar narkoba.
Demikian jelas hukuman bagi para pelaku zarimah. Kemudian hal lain yang unik dari politik sanksi dalam Islam yaitu fungsinya. Bahwa fungsi dari sanksi itu sebagai zawazir dan zawabir. Zawajir (pencegah) berarti dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan. Jika ia mengetahui bahwa membunuh maka ia akan dibunuh, maka ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Juga sebagai jawabir (penebus) dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia.
Dalilnya adalah artinya “Dari ‘Imran bin Hushain Rhadiyallahu anhu bahwasannya ada seorang wanita dari (kabilah) Juhainah mendatangi Nabi Muhammad saw dalam keadaan hamil hasil perzinaan, wanita tersebut berkata: “Wahai Nabiyallah, aku telah melakukan dosa yang patut mendapat hukuman had, maka laksanakan lah (hukuman had tesebut) kepadaku”. Kemudian Nabi Muhammad saw memanggil walinya (keluarganya) dan berkata “Perlakukan lah ia dengan baik, jika dia sudah melahirkan, bawalah ia kepadaku”. Kemudian (walinya) melakukannya (melakukan perintah Rasul saw). Kemudian Nabi saw meminta untuk menghadirkan wanita tersebut dan menyuruh (orang) untuk mengencangkan bajunya (mengikat kencang bajunya), lalu beliau memerintahkan agar wanita itu dirajam. Rasul pun menyalatinya. Umar RA berkata “Apakah engkau menyalatinya wahai Rasulallah, padahal ia telah berzina?”, Rasul pun berkata “Dia telah melakukan taubat dengan taubat yang apabila dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, niscaya merea semua akan mendapatkan bagian. Apakah engkau menemukan ada yang lebih baik dari seseorang yang sepenuh hati menyerahkan dirinya kepada Allah swt?” (HR Muslim).
Begitulah politik sanksi dalam Islam. Menuntaskan permasalahan kejahatan hingga ke akarnya. Sanksi juga diberikan pada semua orang yang bersalah, tidak pandang bulu. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW. ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Maka sudah selayaknya kita mengambil sistem aturan hidup termasuk aturan sanksi yang berasal dari Islam. Mencampakkan hukum buatan manusia yang lemah dan salah. Sungguh kemulian hidup serta keridhoan Allah Swt akan diraih. Kehidupan yang berkah, dimana semua orang di dalamnya akan didorong untuk memiliki ketakwaan yang tinggi, sebagaimana kasus Ghomidiyyah. Kemudian ditopang oleh masyarakat yang saling mengingatkan, amar ma’ruf nahi munkar serta negara yang tegas dalam memberikan sanksi. Semoga tidak lama lagi Allah memberikan kemenangan pada kaum muslimin untuk menerapkan Islam kaffah dalam bingkai daulah islamiyyah.
Wallahu a’lam bish-shawabi