Oleh : Luluk Kiftiyah
Member AMK
Member AMK
Akhir-akhir ini media sedang hangat-hangatnya memberitakan pembebasan napi dengan dalih kemanusiaan.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai pembebasan napi demi pencegahan penyebaran virus Covid-19 di lapas yang sudah over kapasitas.
Sejak Kepmen tersebut diterbitkan pada 30 Maret, hingga kini sudah ada 35.676 narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi.
Diduga program ini dijalankan karena untuk mengurangi anggaran pengeluaran negara dan dananya akan di alihkan untuk korban Covid19 .
Napi yang bebas berdasarkan Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkum HAM Nomor 19.PK.01.04 Tahun 2020 itu hanyalah narapidana umum dan napi anak. Sedangkan napi koruptor, napi narkotika, dan napi terorisme tidak termasuk.
Pertanyaannya, akankah hal itu bisa menjadi jaminan, bahwa para napi tidak akan melakukan tindak kriminal kembali?
Mengingat ditengah pandemi Covid-19 ini, perekonomian sangatlah sulit, minimnya lapangan pekerjaan, belum lagi adanya catatan hitam bagi para napi. Sehingga bukan hal yang mudah mereka akan bisa diterima di masyarakat.
Mengingat ditengah pandemi Covid-19 ini, perekonomian sangatlah sulit, minimnya lapangan pekerjaan, belum lagi adanya catatan hitam bagi para napi. Sehingga bukan hal yang mudah mereka akan bisa diterima di masyarakat.
Bisa kita lihat, belum lama para napi menghirup udara segar dan sudah beredar kabar mereka melakukan tindak pidana lagi. Seperti di Bali, pria bernama Ikhlas alias Iqbal (29) yang dibebaskan pada 2 April. Ia kembali ditangkap pada 7 April karena menerima paket ganja seberat dua kilogram.
Lalu di Sulawesi Selatan (Sulsel). Seorang pria berinisial (RH) harus kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri di rumah warga.
Di Blitar, seorang pria berinisial MS ditangkap dan babak belur diamuk massa setelah kepergok mencuri motor warga. MS dibebaskan pada 3 April dan ditangkap tiga hari kemudian (kumparan.com)
Selanjutnya dua napi asal Surabaya M Bachri (25) dan Yayan Dwi Kharismawan (23) keduanya ditangkap karena menjambret lagi.
Disusul lagi dari Lapas Lamongan. Kasusnya sama dua-duanya (penjambretan)," kata Made, Minggu (12/4/2020). (detik.com)
Terkait adanya fakta ini menunjukkan bahwa sistem pidana yang diterapkan negara gagal, padahal hukum pidana dilakukan agar membuat efek jera. Namun fakta dilapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Belum selesai masyarakat dibuat resah oleh virus covid-19 ini, mereka juga harus menelam ludah ditengah keadaan yang serba mahal, PHK menjamur, pekerjaan tidak ada, faktor kriminologi tinggi, kini di tambah lagi resah menjalani hidup karena khawatir menjadi korban kejahatan dari napi yang sudah dibebaskan.
Dampak ini berawal dari kurang tegasnya kebijakan yang diambil pemerintah saat pertama kali virus covid-19 ini ada, dampaknya sekarang sudah menyebar ke pelosok desa.
Sebenarnya wajar saja, jika para napi yang bebas karena program asimilasi tak menghiraukan ancaman yang diberikan pada mereka jika berbuat kejahatan lagi. Karena dalam lapas mereka tidak mendapatkan pembinaan yang manusiawi dan yang seharusnya didapatkan. Air, listrik, bahkan kamar yang mereka tempati disesuaikan dengan uang yang mereka keluarkan selama masa tahanan.
Karena perlakuan yang diberikan pada tahanan antara si kaya dan si miskin saja berbeda. Sehingga di dalam penjara sering terjadi bentrok. Kesenjangan sosial begitu tinggi, kecemburuan sosial menjadi ancaman serius bagi keamanan di lapas.
Lantas, bagaimana mungkin negara bisa memberikan rasa aman di tengah rakyat, jika di dalam lapas saja mereka keteteran ?
Jika alasan takut terjadi penyebaran virus covid-19 di dalam lapas yang over kapasitas, bukankah ini terkait teknisnya mengatur sistem jenguk. Inilah tugas negara untuk mengatur dan mengurus umat, bukan lantas karena lapas sudah over kapasitas kemudian membebaskan para napi tanpa adanya pemantauan dan sistem yang ketat.
Apakah ini yang disebut kebijakan yang manusiawi? Bukankah keamanan masyarakat menjadi bagian yang dipertimbangkan oleh pemerintah? Sebenarnya dari mana ide membebaskan para napi ini muncul?
Ternyata benar, lagi-lagi setiap kebijakan di negeri ini memang tak bisa lepas dari pesanan sang ‘tuan’. Yasonna mengakui bahwa munculnya ide pembebasan napi didapatkan dari pesan Komisi Tinggi untuk HAM PBB, Michelle Bachelett, Sub Komite Pencegahan Penyiksaan PBB yang merekomendasikan agar Indonesia membebaskan sejumlah napi yang tinggal di lapas dengan kapasitas overload.
Ia menjelaskan bahwa pembebasan napi tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Misalnya, Iran, Polandia, Amerika, California, New York. Hal itu menjadi sumber inspirasi pemerintah. Hingga akhirnya Yasonna membicarakan masalah tersebut dengan Presiden Jokowi, dan sang bapak mengamini ide tersebut.
Keadaan ini membuktikan bahwa negara gagal melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Realitas merajalelanya kriminalitas adalah bukti hilangnya eksistensi hukum demokrasi-Kapitalis yang memberikan efek
jera di tengah masyarakat. Sehingga hukum ini dinilai gagal memanusiakan manusia.
jera di tengah masyarakat. Sehingga hukum ini dinilai gagal memanusiakan manusia.
Pada buku Sistem Sanksi dalam Islam dijelaskan makna penjara ialah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Penjara adalah tempat di mana orang menjalani hukuman yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.
Di dalamnya harus ada pembinaan kepada para napi agar mampu meningkatkan rasa takut kepada Allah dan memperkuat ketakwaan. Mereka diberikan hak hidup sesuai syariat misalnya makanan yang layak, tempat tidur yang terpisah, serta kamar mandi yang tetap melindungi aurat dan menjaga pergaulan antarnapi. Jadi tidak boleh ada perbedaan perlakuan hanya dengan sogokan uang.
Seperti yang di contohkan di masa Khalifah Harun al-Rasyid, para napi dibuatkan pakaian secara khusus. Jika musim panas tiba, dipakaikan pakaian yang terbuat dari katun, sedangkan pada musim dingin dibuatkan pakaian dari wol. Dan secara berkala, kesehatan para napi diperiksa.
Jika kondisinya seperti di atas, barulah dapat disebut sebagai kebijakan yang manusiawi. Membina napi dengan sepenuh hati, setelah bebas dari penjara, mereka kembali menjadi masyarakat yang bermanfaat untuk agamanya dan sesama manusia. Takkan ada kejahatan yang terulang lagi.
Sementara, apa yang terjadi di negara saat ini tidaklah demikian. Mereka mengkhianati amanah rakyat. Kekuasaan yang diberikan telah disalah gunakan. Hukum dijadikan alat menebas bagi yang tak sejalan dengan agenda pemerintah.
Seharusnya mereka mengingat sabda Rasulullah saw, “Bagi setiap pengkhianat ada bendera di hari kiamat, ia akan diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya dari pemimpin masyarakat umum.” (HR Muslim).
Sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Sudahi ketidak adilan ini, atau Allah yang akan turun tangan menimpakan semua azab di bumi Allah Swt ini.
Naudzubillah mindzalik.
Tags
Opini