Oleh: Endah Husna
Kesenjangan dalam lapangan kerja merupakan satu persoalan yang dianggap sebagai penghalang terwujudnya kesetaraan gender, yang posisinya tetap berada pada 31% persen poin yang stagnan sejak dua puluh tahun lalu ( https://www.unwomen.org/-/media/headquarters/attachment/sections/library/publications/2020/gender-equality-women-rights-in-review-en.pdf?la=en&vs=934).
Lebih dari setengah perempuan bekerja, atau 740 an juta perempuan bekerja dalam bidang ekonomi informal dan kurang mendapatkan hak-hak dasar dan perlindungan, bahkan dibayar 16% lebih rendah daripada pekerja laki-laki.
Sementara itu, masih banyak perempuan yang sudah berhasil mengenyam bangku pendidikan sampai ke Universitas, masih sulit untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sama seperti laki-laki. Maka hal ini membutuhkan aksi nyata untuk mengubah dunia kerja agar bisa menolong perempuan meraih kemerdekaan berekonomi.
Sangat penting untuk mewujudkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan agar kemerdekaan berekonomi bagi perempuan bisa tercapai. Maka prioritas utamanya adalah mewujudkan kesetaraan upah.
Jadi wajar jika sampai detik ini para penggiat gender utusan Kapitalis terus berusaha keras untuk meningkatkan partisipasi kerja perempuan, hingga setara dengan laki-laki sesuai dengan target yang sudah dicanangkan. Planet 50x50 in 2030. Target setara itu adalah harga mati, ditegaskan oleh Direktur Ekskutif UN Women, Phumzile Mlambo-Ngcuka yang menyatakan, "Only half is an equal share, and only equal is enough"
Dari sini sudah tampak jelas, apa yang menjadi tujuan para penggiat kesetaraan gender, dengan dalih membela perempuan, dengan dalih memperjuangkan perempuan. Namun sejatinya ide ini hanya "ide pemanis buatan" demi mewujudkan ambisi Kapitalisme, yakni upaya mengeksploitasi perempuan dengan memanfaatkan potensi luar biasanya dan menghancurkan keluarga Kaum muslim.
Salah satu penyebab belum tercapainya kesetaraan kesempatan kerja adalah masa kehamilan dan pengasuhan anak, yang menurut mereka adalah sebuah beban bagi perempuan, maka ini membutuhkan terobosan baru untuk mengubah semua kondisi "Fitrah perempuan" ini.
Waktu yang habis untuk mengurus anak dan rumah tangga pun dianggap sebagai waktu yang sia-sia, karena tidak menghasilkan uang/materi. Anak dan keluarga menjadi penghalang besar untuk bisa memdapatkan pekerjaan yang besar. Inilah pemikiran yang sudah ditancapkan oleh kapitalis, segalanya dipandang berdasarkan manfaat atau materialistis.
Dengan memaksa kaum perempuan bekerja penuh diluar rumah, sesungguhnya perempuan harus membayar mahal sebagai ganti terhadap ketidakhadirannya ditengah keluarga menjalankan kewajibanya sebagi Ibu dan pengatur rumah tangga. Rapuhnya ketahanan keluarga, ketidakharmonisan rumah tangga yang berujung perceraian, rusaknya generasi, semua dipertatuhkan untuk bisa mengejar keidealaan sebagai wanita karier ala Kapitalisme.
Jelaslah, upaya untuk meningkatkan partisipasi kerja perempuan hanya akan menambah pundi-pundi emas para kapitalis, bukan bagi perempuan, apalagi keluarga. Perempuan hanya diperalat, dimanfaatkan, dikorbankan, dengan jargon emansipasi perempuan.
Tidaklah demikian jika didalam Islam. Islam menetapkan kewajiban masing-masing bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki wajib mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Negara pun memudahkan bagi laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan, agar kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki bisa terpenuhi. Sedangkan kewajiban bagi perempuan atau istri adalah Ibu pendidik pertama dan utama, sekaligus pengatur rumah tangganya.
Islam membolehkan perempuan bekerja, didalam bidang yang tidak menampakkan kekhasannya sebagai perempuan yang terjaga kehormatannya, auratnya, privasinya, dan terjaga dari segala hal yang membuat perempuan meninggalkan fitrah dan tanggungjawabnya.
Semua itu bisa terwujud bukan dalam sistem Kapitalis sekarang ini, tapi akan terwujud dalam sistem Islam yang memuliakan perempuan. Mari sadari semua ini, dengan turut berjuang meraih ridha Allah dengan masuk kedalam Islam sampai tataran bernegara.
Wallahu A'am bishawwab