Oleh : Aina Ahmad Fauzi
Aktivis Muslimah Banjarbaru
Hari Perempuan Internasional diperingati, 8 Maret 2020 lalu . Tema yang diangkat "Saya Generasi Kesetaraan: Menyadari Hak Perempuan". Dengan tema tersebut maka diharapkan menjadi jalan untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender, keadilan ekonomi dan hak untuk semuanya, otonomi tubuh, kesehatan dan hak seksual dan reproduksi, serta tindakan feminis untuk keadilan iklim. Selain itu, menginginkan teknologi dan inovasi untuk kesetaraan gender dan kepemimpinan feminis.
Tak ketinggalan perempuan di Banua, berbagai event dilaksanakan menyambut moment hari perempuan internasional ini, diantaranya dilantiknya Pengurus DPD Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kalsel dengan Ketua Umum DPP KPPI, Dwi Septiawati Djafar di Gedung Mahligai Pancasila Banjarmasin, Rabu (19/2/2020).
Memiliki misi berikan kontribusi terhadap pemenuhan, pemajuan dan perlindungan hak-hak politik perempuan, Ketua Umum KPPI, Hj Dwi inginkan KPPI tak dianggap berniat untuk menyingkirkan atau merebut posisi laki-laki. Namun Ia berharap perempuan dalam politik dianggap sebagai mitra kerjasama untuk bersama membangun Indonesia. (Banjarmasin Post.co.id)
Memang benar bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan Allah tidak untuk saling bersaing. Tetapi sejatinya untuk saling bekerjasama. Namun mengapa ide kesetaraan gender ini terus digaungkan ?
Awal yang harus kita ketahui bahwa ide kesetaraan gender ini lahir dari rahim kapitalisme sekuler dan bukan dari Islam. Dari dulu hingga sekarang perempuan di Barat terus mengalami penghinaan, marjinalisasi, pelecehan dan tidak mempunyai hak sebagaimana yang dimiliki oleh seorang muslimah dalam Islam. Hal tersebutlah yang mendorong perempuan barat membentuk gerakan untuk menuntut hak mereka. Maka muncullah ide feminisme, sebuah perspektif yang menyuarakan kesetaraan gender dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, yang menjadi sebuah gerakan politik untuk mewujudkan hak-hak perempuan dan berbagai kepentingannya, untuk menghapus diskriminasi seks dan dominasi laki-laki atas perempuan.
Menurut dr. Nazreeen Nawaz ada perkawinan antara feminisme dan kolonialisme di dunia Islam yang terus berlanjut hingga zaman modern saat ini. Para pegiat feminisme terus memproduksi narasi bahwa muslimah harus diselamatkan dari “penindasan” hukum-hukum dan aturan Islam dan perlu dibebaskan melalui budaya (peradaban) dan sistem barat (baca: kapitalisme sekuler).
Wajarlah berbagai cara terus mereka lakukan untuk menyebarkan ide feminisme ini ditengah kaum muslimah, dengan tujuan yang lebih dalam yaitu melanggengkan sistem mereka yang sejatinya rusak dan merusak.
Terbukti di Banua kita, Komunitas Narasi Perempuan Kota Banjarmasin akan membuka sekolah feminis di Kota Banjarmasin pada September 2019. Untuk mewujudkan rencana ini, dua anggota Komunitas Narasi Perempuan sudah bertolak ke Jakarta untuk menghadiri undangan Perempuan Mahardhika sejak 25 Juli lalu. Tujuan Narasi Perempuan maupun Perempuan Mahardhika dapat tercapainya visi-misi tentang perempuan. “Sesuai namanya, Perempuan Mahardhika itu memiliki misi untuk kemerdekaan perempuan dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender serta budaya yang menindas dan mendiskriminasi,” ujar Ika, Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika.(banjarhits.id)
Namun, apakah gerakan feminisme ini membuahkan hasil? Di Indonesia sendiri persoalan perempuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat terjadi kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Sepanjang 2019, Komnas mencatat terjadi 2.341 kasus atau naik 65 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1.417 kasus.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang paling banyak terjadi adalah inses, yakni sebanyak 770. Menyusul berikutnya seksual adalah kasus kekerasan seksual sebanyak 571 kasus dan kekerasan fisik sebanyak 536 kasus. Ditilik dari kategori pelaku, tercatat ada 469 kasus di mana pelaku kekerasan adalah ayah tiri dan ayah angkat, dan 618 kasus yang pelakunya ayah kandung.
Selain itu, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat kenaikan sebesar 300 persen dalam kasus kekerasan terhadap perempuan lewat dunia siber yang dilaporkan melalui Komnas Perempuan. Kenaikan tersebut cukup signifikan dari semula 97 kasus pada 2018 menjadi 281 kasus di 2019. (kompas.com, 06/03/2020)
Mengapa persoalan perempuan tak kunjung usai, meskipun berbagai gerakan berbasis gender terus dilakukan dan bahkan setiap tahun diperingati hari perempuan Internasional ?
Jawabannya sangat jelas, bahwa perempuan Barat saja harus terus berjuang untuk menuntut hak mereka, namun masalah perempuan tak kunjung usai. Berarti yang salah adalah sistem yang melingkupinya yaitu sistem Kapitalisme sekuler. Itulah sumber masalah sebenarnya .
Dalam sistem kapitalisme perempuan dianggap komoditas yang bisa diperjualbelikan sesuai kehendak mereka. Lihat saja iklan-iklan yang mengeksploitasi sisi keperempuanan untuk produk yang tidak ada hubungannya dengan perempuan.Sebutan PSK juga semakin menunjukkan bahwa menjual dirinya perempuan itu adalah pekerjaan yang berkompensasi penghasilan tertentu. Sungguh miris bila perempuan dibiarkan dalam keadaan sedemikian.
Karenanya para muslimah, mari kita sadari bersama bahwa permasalahan kita sebenarnya adalah ketika Islam tidak dijadikan sebagai sistem yang mengatur kehidupan ini. Yakinlah bila Islam kita terapkan dengan sempurna (kaffah) permasalahan perempuan, laki-laki, anak-anak, remaja dan siapapun bahkan semua makhluk hidup lainnya dapat terselesaikan. Karena Islam diturunkan oleh Allah Swt sang khalik yang mengetahui hakikat yang terbaik untuk seluruh makhluknya.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. ………” (TQS Al Hujurat: 13).
Ayat di atas jelas menyebutkan bahwa Allah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dalam Islam jelas bahwa laki-laki dan perempuan sama. Tingkat ketakwaan lah yang menjadi pembeda.
Dalam Islam, fitrah laki-laki diberikan kekuatan karena ia sebagai pemimpin dan wajib bekerja. Sedangkan perempuan fitrahnya kelembutan dan kasih sayang, karenanya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga merupakan tugas utamanya.
Laki-laki diberi kewajiban bekerja sementara bagi perempuan hukum bekerja adalah boleh, asalkan tidak mengabaikan kewajiban utamanya dan melanggar hukum syara’. Jadi Islam juga tidak mengekang perempuan, dalam kehidupan publik selama tetap menjaga kehormatan dengan menutup aurat dan tidak berkhalwat , perempuan boleh untuk berkiprah di berbagai bidang selama tidak mengeksploitasi sisi keperempuannya.
Pengaturan yang sedemikian hanya dapat kita lihat dan rasakan dalam sebuah negara yang menjalankan Islam sebagai sistem kehidupan , itulah dia Khilafah Islamiyah dalam waktu yang tidak lama lagi.
Wallahua'lam Bish Shawab
Tags
Opini