Tak Lepas dari Tontonan Kekerasan


Sangat meresahkan kondisi remaja saat ini. Bagaimana tidak,tindakan bullying semakin merebak. Mulai dari tindakan verbal sampai non verbal kerap menjadi kebiasaan.

Dilansir dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (10/02), disebutkan bahwa sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat 37.381 pengaduan mengenai anak. Untuk bullying, baik di pendidikan maupun sosial media, mencapai 2.473 laporan.

Ini terus berlanjut hingga publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Mulai dari 'senda gurau' sampai candaan yang berujung merenggut nyawa. Perilaku bullying justru menjadi tren saat ini karena dinilai lumrah dan dianggap gaul dan hebat. Miris!

Bukan tanpa sebab, bullying terjadi tak lepas dari tontonan kekerasan, yang menjadikan banyak remaja mencontoh adegan-adegan yang ada pada media tersebut. Kemudian, dampak negatif perundungan, yang membuat korban bullying justru melakukan hal yang sama kepada temannya serta penghakimam di media sosial.

Bullying merupakan salah satu problem akut bangsa. Ini semua tak lepas dari diterapkannya asas sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sehingga, menghasilkan SDM yang gagal dan rusak. Prestasi dalam akademik saja tidak cukup jika tidak memiliki akhlak yang baik dalam lingkungannya.

Oleh karena itu, bullying seyogianya dihilangkan dengan cara membangun kepribadian utuh generasi melalui sistem pendidikan yang berdasarkan ketakwaaan individu. Melalui sistem pendidikan berkurikulum Islam, penataan media dengan menghilangkan segala macam tontonan yang merusak dan menutup akses yang bisa dijangkau dan pendidikan keluarga yang menjadi tempat terbentuknya kepribadian yang unggul bagi anak.

Monica Silviana
(Pemerhati Sosial)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak