Oleh : Nurul Irma N, S.Pd
Indonesia baru saja dicoret dari daftar negara berkembang dirubah statusnya menjadi negara maju, yang dilakukan sepihak oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative). Tak hanya Indonesia saja yang dirubah statusnya menjadi negara maju, ada beberapa negara seperti Brasil, India, China, Korea Selatan, Malaysia, Thailand hingga Vietnam. (23/02/2020, kumparan.com).
Kebanggan semu status negara maju bagi Indonesia
Secara naluri, manusia ketika memperoleh sesuatu keberhasilan dan kemajuan dari usaha-usaha yang dilakukan secara maksimal dan kondisi yang nyata menunjukkan indikator keberhasilan akan merasa bangga dan puas secara hakiki. Namun, berbeda halnya ketika sesuatu itu dinyatakan berhasil tanpa sesuai dengan realita kondisi yang ada atau kondisi yang ada tidak menunjukkan indikator keberhasilan, maka layak disebut sebagai kebanggaan semu.
Indonesia dikukuhkan statusnya menjadi negara maju berubah dari status negara berkembang merupakan kebanggan yang semu. Bagaimana bisa dikatakan sebagai negara maju sedangkan kondisi perekonomian di dalam negeri begitu terpuruk. Daya beli masyarakat semakin menurun, semakin banyaknya penggangguran karena lapangan pekerjaan kian sempit, ditambah banyak perusahaan yang melakukan PHK, utang luar negeri kian menggunung, aneka subsida dicabut. Sungguh kondisi ini tak mencerminkan indikator sebagai negara maju. Lantas, dengan kondisi didalam negeri yang seperti ini layakkah kita berbangga dengan berubahnya status sebagai negara maju?. Padahal tujuan utama USTR mengkategorikan sebagai negara maju agar tidak memperoleh perlakuan khusus dalam perdagangan internasional.
Efek atau dampak perubahan status sebagai negara maju ketika dianalisa akan menimbulkan :
Mengancam neraca perdagangan dengan AS. Dalam beberapa tahun terakhir neraca perdagangan Indonesia dengan AS selalu surplus. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso (24/02/2020, kumparan.com). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan selama Januari 2019 menunjukkan deficit USD 860 juta, mengecil dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang deficit USD 1,06 miliar. Dari capaian ini, neraca dagang Indonesia dengan AS surplus USD 1,01 miliar lebih besar dibandingkan Januari 2018 yang hanya surplus USD 804 juta.
Hilangnya diskon tarif preferences (GSP) sejumlah komoditas ekspor Indonesia ke AS. Terdapat sekitar 3.572 produk Indonesia yang mendapat fasilitas diskon tariff bea masuk ke AS hingga 0 persen. Dari jumlah tersebut baru 836 produk Indonesia yang diekspor ke AS dan mendapat fasilitas GSP sebagaimana yang dipaparkan oleh menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati (24/02/2020, kumparan.com).
Hilangnya atau terhapusnya kebijakan Countervailing Duties (CVD) yang dilakukan AS terhadap Indonesia. CVD adalah salah satu penerapan pungutan tambahan terhadap produk impor suatu negara. Ada sejumlah komoditas RI yang dibebaskan CVD, salah satunya karet. Selama ini di Indonesia hanya lima sektor komoditas yang menikmati CVD. (Sri Mulyani Indrawati, 24/02/2020, kumparan.com)
Jika dampak buruknya begitu besar bagi perekonomian Indonesia dengan berubah statusnya sebagai negara maju, lantas layakkah kita berbangga diri? Untung ataukah bunting bagi negeri ini?
Status Sebuah Negara Bentuk Penjajahan Politik dan Ekonomi
Negara yang ada didunia ini, masing-masing memiliki status kenegaraannya. Apakah sebagai negara maju, berkembang ataukah negara miskin. Status ini sematkan oleh lembaga perdagangan dunia yaitu World Trade Organisation (WHO) yang dikomandoi oleh negara super power Amerika Serikat. Begitulah AS, merasa sebagai negara terkuat yang tidak ada tandingannya atau tidak ada negara satupun yang menyainginya, dengan sekehendak hatinya melabelkan status negara kepada semua negara yang ada didunia. Status yang disematkan tanpa melihat suatu kondisi negara tersebut, apakah layak mendapatkan status negara berkembang ataukah negara maju.
Penyematan status oleh AS kepada masing-masing negara tentu bukanlah tanpa tujuan. Tidaklah mungkin, AS yang merupakan negara super power dan beridiologikan kapitalis, melakukan sesuatu tanpa ada tujuan. Sebagai negara bersistem kapitalis penyematan status negara merupakan strategi imperiliasme gaya baru atau penjajahan gaya baru, terlebih dari sisi politik dan ekonomi. Sebagaimana yang dinyatakan secara tersirat dalam South China Morning Post (SCMP) Minggu (23/2) menyebutkan keputusan tersebut memang bertujuan agar negara-negara tersebut (yang dirubah statusnya menjadi negara maju) tidak memperoleh perlakuan khusus dalam perdagangan internasional. Maka dengan demikian, AS telah menjadikan labelling sebagai alat keuntungan politik dan ekonominya, bukan untuk kebaikan seluruh dunia serta mengarahkan opini dunia untuk mendukung AS.
Jika Indonesia dan negara-negara muslim lainnya ingin menjadi negara maju yang sebenarnya/hakiki, jalan satu-satunya dengan menerapkan idiologi Islam. Idiologi Islam adalah idiologi sempurna, mulai dari teori hingga aplikasi yang dituntunkan oleh sang Maha Pencipta sekaligus Pengatur Kehidupan, Allah Subhanahu wata’ala.