Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Sudah hampir beberapa bulan ini harga bawang putih meningkat. Meski dijual dengan harga tinggi, namun persediaan bawang putih di sejumlah pedagang masih tetap banyak. Bawang putih dijual dengan kisaran harga hingga Rp 55 ribu per kilogram (kg). Tingginya, harga bawang putih dikeluhkan berbagai masyarakat terutama kalangan ibu rumah tangga. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Batam, Gustian Riau mengaku bahwa pihaknya tengah mengupayakan ketersediaan stok bawang putih dari daerah lain, pihaknya juga menunggu keputusan impor pangan dari India, Thailand dan Australia, Menurut Gustian, untuk stok bawang putih dipastikan aman hingga bulan Maret, sekitar tanggal 27 Februari 2020 mendatang, impor bawang putih dari Tiongkok akan kembali masuk ke Batam. Tergantung pada pusat.(Batampos.co.id,17/02/2020).
Pemerintah adalah elemen pelengkap kehidupan manusia yang dimana tugasnya adalah menjaga agar dinamika kehidupan manusia yang menjadi rakyatnya jauh dari berbagai macam kesenjangan. Demikianlah sebuah pemerintahan yang ideal.
Namun, sungguh disayangkan hal tersebut hanya sebatas teori belaka. Justru kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan semakin membebani rakyat. Mulai dari kebijakan politik, sosial, hingga ekonomi. Inilah yang sedang membebani negeri tercinta Indonesia.
Kebijakan impor ditengah surpluss menjadi polemik ditengah masyarakat. Bagaimana tidak, kebijakan tersebut mengancam kerugian para petani dikarenakan panennya “telah tergantikan” oleh barang impor. Disisi lain dengan adanya kebijakan ini, harga barang akan terus melonjak naik. Tentu hal ini akan terus menyusahkan Masyarakat. Bukan hanya itu, dengan adanya impor, potensi terjadinya tindak korupsi juga meningkat.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin pribahasa tersebut cukup mewakili perkara yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia. Rakyat kini kembali dikeluhkan dengan harga bawang putih yang meroket akibat terhambatnya proses distribusi.
Saat ini, bawang putih dijual dengan kisaran harga hingga 55 ribu per kilogram (kg). Tingginya harga bawang putih dikeluhkan oleh sejumlah masyarakat, terutama kalangan ibu rumah tangga. Hal ini langsung ditanggapi serius oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengingat bawang putih adalah salah satu kebutuhan pangan terpenting bagi masyarakat Indonesia. Penyebab kenaikan harga bawang putih ini diketahui masih disebabkan oleh virus mematikan corona dan proses distribusi yang terhambat.
Tidak hanya persoalan harga yang membebani masyarakat, tetapi juga korupsi yang telah mendarah daging ditubuh para kapitalis demi memuaskan kepentingan sendiri sehingga menyebabkan distorsi pasar. Sebagaimana dilansir dalam Detiknews, “Dalam sidang ini, Dhamantra didakwa menerima suap sebesar Rp 3,5 miliar dari Direktur PT Cahaya Sakti Agro (CSA) Chandry Suanda alias Afung. Dhamantra didakwa itu bersama dengan Mirawati dan Elviyanto terkait kuota impor bawang putih“.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2017 produksi bawang putih Indonesia sebanyak 19.150 ton dari lahan seluas 2148 Ha itupun mengalami penurunan sebesar 7,75 % dari 2016 yang menghasilkan 21.150 ton. Jelas, sangat kewalahan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang mencapai 400 ribuan ton/tahun. Ya, hanya memenuhi 1/30 nya saja dari total konsumsi. Padahal pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan swasembada bawang putih pada tahun 2021.
Kebijakan impor yang terus-menerus dilakukan hingga membuat Negara menjadi ketergantungan, disebabkan karena tata kelola pangan yang amburadul dan peran Negara dengan kebijakan yang tidak lagi berpihak kepada Masyarakat (negara korporatokrasi).
Negara model ini hanya tunduk pada kepentingan korporasi, hingga abai terhadap pengurusan segala kebutuhan rakyat karena sumber pendapatan Negara sudah dikuasai oleh korporasi hingga tidak mampu lagi membiayai pelayanan rakyat.
Islam merupakan agama yang sempurna dan paripurna yang tidak hanya mengatur persoalan Ibadah ritual, tetapi juga mengatur dan memecahkan persoalan Individu, Masyarakat hingga Negara termasuk persoalan pengelolaan pangan.
Sebagaimana tercantum dalam AL-Qur’an yang artinya : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu (TQS. Al-Maidah ; ayat 3)
Ketika suatu Negara mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri dan mampu menentukan kebijakan pangannya tanpa diintervensi pihak lain, maka Negara tersebut dapat dikatakan telah memperoleh kedaulatan pangan.
Dalam Islam, menggantungkan pemenuhan pangan melalui impor dari Negara lain dapat menjadi jalan untuk menguasai kaum Muslimin. Hal tersebut diharamkan. Kedaulatan dan kemandirian pangan mutlak diwujudkan dalam Islam. Dalam hal ini, Khilafah akan menjalankan politik ekonomi Islam dalam pengelolaan pangan dan pertanian.
Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadis Beliau : “sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Tanggungjawab ini mutlak diemban oleh seorang Khalifah tanpa boleh dialihkan pada pihak lain apalagi korporasi.
Dalam pengelolaan pangan, Khalifah akan mendukung penuh usaha pertanian yang dilakukan rakyatnya. Seperti memberikan kemudahan mengakses bibit terbaik, teknologi pertanian terbaru, menyalurkan bantuan subsidi, membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi dan sebagainya. Negara menerapkan hukum pertahanan dalam Islam sehingga mencegah penguasaan lahan dan menjamin semua tanah terkelola maksimal.
Secara prinsip, aspek distribusi dan stabilisasi harga dalam pandangan Islam mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami, tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal. Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan jika terjadi kondisi yang tidak normal.
Pada kondisi harga tidak normal, Khalifah akan mengambil dua kebijakan utama yaitu menghilangkan penyebab distorsi pasar seperti penimbunan, kartel dan sebagainya. Kedua, dengan menjaga keseimbangan supplay dan demand.
Demikianlah Islam mengatur persoalan pengelolaan pangan dan pertanian. Sudah seharusnya Indonesia dengan sumber daya alamnya berlimpah berhenti menggunakan system dan konsep bathil Neoliberalisme yang menjadikan ketahanan dan kedaulatan pangan hanya menjadi hayalan belaka. Dan mengembalikan pengelolaannya kepada Islam dengan menggunakan system politik ekonomi Islam, agar kedaulatan pangan tidak lagi menjadi angan-angan.
Namun perlu untuk diketahui bahwa konsepsi yang ideal tersebut tidak akan pernah kita dapatkan dalam sistem yang menjadikan suara rakyat sebagai standar hukum syara` melainkan dalam sebuah sistem yang menjadikan Islam sebagai standar hukumnya. Dan itu hanya adalah dalam sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyyah.