Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Virus Corona kian merona beritanya. Membuat gaduh dan panik seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Setelah sebelumnya pemerintah menyangkal masuknya virus mematikan itu kemudian tak lama mengumumkan lagi jika sudah positif virus tersebut masuk ke Indonesia.
Tak berapa lama, banyak media memberitakan kepanikan yang akut. Harga rempah menjulang apalagi masker. Hand sanitizer ikut merangkak naik harga. Padahal benda-benda ini biasanya tak pernah signifikan diperhatikan. Mengapa virus Corona menimbulkan kepanikan?
Secara sederhana, efek psikologis akibat lambannya tanggapan pemerintah, bahkan terkesan meremehkan membuat masyarakat panik. Padahal fakta yang diterima masyarakat melalui media sosial sudah banyak dan semua memperlihatkan bagaimana setiap negara mengusahakan keselamatan bagi warganya.
Pada kasus hebohnya masyarakat karena virus Corona, efek tersebut terlihat jelas – di mana masyarakat memiliki ketakutan berlebih terhadap virus Corona. Seakan semua manusia akan terpapar virus dan mati. Padahal nyatanya jika kematian itu telah sampai pada ajal, maka kematian tak dapat ditolak. (pinterpolitik.com,4/3/2020).
Alih-alih memikirkan bagaimana penanganan yang tepat, pemerintah justru melakukan beberapa tindakan yang sangat tak bisa diterima akal dan hati. Antara kepanikan publik, penjualan Masker sitaan polisi , penerimaan TKA asal Cina dan perlindungan utuh Pemerintah.
Kepanikan mereka justru pada pertumbuhan ekonomi yang turun drastis pasca China mulai disibukkan dengan penangan Corona. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bahkan ingin tenaga kerja asing (TKA) asal Cina untuk bisa segera kembali ke Indonesia ( tirto.id, 21/4/3/2020).
Luhut berdalih tidak ada larangan WHO bagi orang dari Cina yang ingin datang ke Indonesia kecuali Wuhan provinsi Hubei yang menjadi pusat wabah itu. Lagipula, sebut Luhut, langkah ini sudah diambil juga oleh Malaysia.
Di tambah lagi pemerintah menjual masker hasil sitaan dari penimbun. Pemerintah tidak mengambil langkah-langkah yang menghentikan sumber kepanikan masyarakat. Yakni menanamkan keyakinan publik bahwa pemerintah melakukan langkah antisipasi yang maksimal yang mengedepankan keselamatan rakyat dibanding kepentingan ekonomi dan lain-lain. Malah pemerintah menyalahkan kepanikan rakyat, sambil mengambil keuntungan materi dari situasi tersebut.
Inilah watak rezim korporatokrasi lebih berorientasi untung dibanding kemaslahatan rakyat. Sebenarnya tak penting banget panik buying jika pemerintah sigap dan tidak memancing di air keruh.
Persoalan ini tak bisa hanya diselesaikan dengan aturan yang parsial. Namun harus dengan aturan yang mampu memberikan kepastian penyelesaian. Sesuai fitrah dan memuaskan akal. Dan itu hanyalah dari hukum syariat Allah.
Islam memandang bahwa merebaknya virus Corona tak lepas dari periayahan yang buruk. Fungsi negara sebagai pihak yang seharusnya menjamin kesejahteraan umat kini justru melemah dan menunjukkan sisi lain dari demokrasi. Satu sisi memang demokrasi berpendapat bahwa suara rakyat adalah nomor satu, namun prakteknya hanya " rakyat" tertentu. Alias rakyat yang memiliki modal.
Sehingga setiap kebijakan kental dengan nuansa perolehan untung rugi, sekalipun itu untuk hak rakyat. Sebaliknya langkah yang akan ditempuh oleh khilafah itu adalah dengan mengoptimalkan penanganan dalam negeri agar perkembangannya tidak memakan korban lebih banyak. Kemudian daulah akan memberlakukan isolasi, di wilayah yang terdampak dan mengawasi keluar masuknya orang.
Dari sisi hubungan luar negeri pun sementara waktu tidak menerima kunjungan warga asing apapun tujuannya hingga dinyatakan telah terbebas dan sehat. Di dalam negeri, daulah akan mengadakan edukasi pentingnya makan makanan yang halal dan toyyib.
Maka, akan banyak aspek yang bersinergi guna mewujudkan langkah-langkah tersebut. Wallahu a'lam bish Showab.
Tags
Opini