Oleh Arif Susiliyawati, S.Hum
Publik geger karena pembunuhan anak usia 5 tahun di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat oleh seorang siswa SMP. Remaja berinisial NF terinspirasi dari film horor dan merasa puas serta tidak menyesali pembunuhan keji yang dilakukannya dengan menenggelamkan anak tetangganya di bak mandi. Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menilai, NF memiliki gangguan kesehatan mental dan jiwa hingga membuatnya memiliki perilaku sadis atau diduga psikopat.
Sebelum berita menggegerkan ini, aksi kriminalitas remaja lainnya juga dilaporkan awak media. Polsek Tanjung Duren telah meringkus seorang remaja berinisial CCS yang menusuk ibu kandungnya dengan menggunakan gunting akibat kecanduan bermain game online.
Di Mojokerto 2 remaja kakak beradik ditahan karena telah secara biadab mencekik seorang siswa SD hingga tewas hingga menusuk bagian tubuh korbannya menggunakan bambu. SJ (17), remaja asal Cikampek, Jawa Barat, dianiaya hingga tewas oleh rekannya, USA (19) gara-gara rebutan lem Aibon. Baru-baru ini 2 remaja putri di Bekasi juga ditahan polisi karena menganiaya temannya hingga tewas akibat rebutan pacar.
Sejumlah kasus ini kembali mengangkat keprihatinan publik tentang angka kriminalitas remaja di Indonesia. Laporan BPS berjudul Profil Kriminalitas Remaja 2010 menunjukkan peningkatan dari segi kuantitas dari tahun 2007 yang tercatat sekitar 3100 orang remaja yang terlibat dalam kasus kriminalitas, serta pada tahun 2008 dan 2009 yang meningkat menjadi 3.300 dan sekitar 4.200 remaja.
Tidak hanya dari segi kuantitas, laporan tersebut juga menjelaskan bahwa tindak kriminalitas remaja juga meningkat secara kualitas, yang pada awalnya hanya berupa perilaku tawuran atau perkelahian antar teman, kini berkembang sebagai tindak kriminalitas seperti pencurian, pemerkosaan, penggunaan narkoba hingga pembunuhan.(1)
Psikolog mengatakan bahwa remaja yang terlibat dalam aksi kenakalan dan kriminalitas tidak dipicu oleh faktor tunggal. Secara internal, aspek kepribadian yang lemah, seperti konsep diri yang rendah, penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap yang berlebihan serta pengendalian diri yang rendah menjadi salah satu sebab.
Kemudian, diiringi dengan faktor eksternal berupa pola asuh dalam keluarga yang tidak sehat serta lingkungan pergaulan yang salah berpotensi menjerumuskan remaja ke dalam tindak kenakalan atau kriminalitas, demikian menurut Kriminolog Universitas Indonesia Chazizah Gusnita.
Kegagalan Sistem Sekuler Mendidik Kaum Remaja
Meningkatnya angka kriminalitas remaja membuktikan bahwa kehidupan sekuler hari ini sungguh bukan lingkungan yang kondusif untuk pendidikan remaja. Alih-alih mencetak pemuda yang berkiprah dan berdaya guna untuk masyarakat, remaja justru menjadi bagian yang merugikan bahkan membahayakan pihak lain atau menjadi pelaku kerusakan. Padahal, di pundak remaja bertumpu harapan besar masa depan umat.
Di pundak merekalah diamanahkan potensi kekuatan dan kelebihan yang besar yang tidak dimiliki oleh 2 golongan manusia lain yang lemah. Allah SWT. Berfirman, “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Ar-Rum 54)
Untuk membentuk konsep diri yang kuat seseorang haruslah memahami apa tujuan hidupnya. Sekularisme tidak mampu secara cemerlang(memuaskan akal, sesuai dengan fitrah, dan menenangkan hati(menguraikan 3 pertanyaan dasar (uqdatul kubro) yang merumuskan tujuan hidup seseorang, membentuk identitas dan konsep dirinya.
Penolakan sekularisme terhadap peran agama sebagai pengatur dalam kehidupan membuat remaja kebingungan menemukan identitas dirinya sebagai makhluk Tuhan, yang penuh keterbatasan dan membutuhkan aturan dari Penciptanya.
Disingkirkannya aturan agama dari keseharian membuat remaja yang sedang butuh-butuhnya panduan memandang ajaran agama bukan sesuatu yang ‘hidup’ dan asyik dalam keseharian mereka, melainkan hal membosankan yang dipakai hanya di masjid atau ibadah ritual dan hanya dipelajari oleh yang sudah ‘bau tanah’ (pent: orang tua renta).
Agama tidak dipandang sebagai solusi dan inspirasi, melainkan sebagai musuh kemajuan, penyebab kemunduran, bahkan sumber masalah seiring dengan pencitraan negatif terhadap Islam dalam Islamofobia. Tidak aneh, saat mencari teladan, remaja berpaling pada tokoh-tokoh Barat, idola-idola Korea, selebgram/influencer liberal, tokoh-tokoh film/drama tontonan sekuler yang semakin menjauhkan mereka dari konsep diri yang hakiki.
Sistem pendidikan sekuler yang memarginalkan pelajaran agama mencetak generasi remaja dengan split personality, muslim tapi tak mau bergaya hidup Islam(cara berpikir tidak berdasarkan perintah dan larangan Allah, tindakannya tidak mengikuti kaidah halal-haram dalam Islam. Alhasil, remaja muslim split personality bisa jadi sangat cerdas di sekolah, tapi miskin adab, individualis hingga tega merugikan atau membahayakan orang lain demi kepuasan diri, tak punya pengendalian diri yang kuat bahkan berani congkak melanggar syariat.
Industri media dan hiburan di sistem kapitalisme juga berorientasi profit belaka. Rezim di bawah sistem ini turut menjaga kepentingan korporasi untuk sebanyak-banyaknya meraup keuntungan dengan memastikan tidak ada peraturan yang mengikat para kapitalis dengan fungsi dan kewajiban turut mengedukasi masyarakat dan sanksi yang tegas.
Tidak segan industri ini menyuguhkan produk-produk hiburan apa saja selama digemari pasar dan mendatangkan keuntungan, tidak terkecuali tayangan, bacaan, tontonan, games yang miskin faedah bahkan tidak pantas, seperti mengumbar aurat, mengekspos khalwat dan ikhtilat hingga bertemakan kekerasan. Tidak sekali dua kali saja terjadi tindak kriminal yang pelakunya terinspirasi dari produk media atau hiburan berbau kekerasan.
Fungsi keluarga sebagai benteng pertahanan pertama remaja dari pengaruh negatif lingkungan juga telah rusak dan tak lagi ideal. Ketahanan keluarga rapuh dengan tingginya angka perceraian, mengakibatkan pola asuh anak yang tidak sehat. Sistem kapitalisme dengan kebebasan kepemilikannya menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebar berujung pada angka kemiskinan yang tinggi.
Negara bak pedagang yang mnegkomersialisasi hak-hak asasi rakyat yang seharusnya disediakan secara percuma, seperti kesehatan dan pendidikan. Semua ini membuat para ayah pun kesulitan memenuhi tanggung jawabnya menafkahi keluarga. Sistem kapitalisme juga telah merusak peran utama ibu sebagai madrasatul ‘ula menjadi kaum pekerja atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender.
Disfungsi peran ibu dan ayah ini akhirnya dapat berdampak negatif kepada pengasuhan dan pendidikan remaja. Mereka tidak dididik sesuai fitrahnya hingga gagal mengenali konsep dan identitas dirinya sebagai hamba Allah yang diciptakan semata untuk beribadah kepada-Nya.
Sistem Islam Mencetak Generasi Remaja Pembela Islam dan Umat
Tentu tak asing lagi nama-nama, seperti Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, Mush’ab bin Umair, atau Zaid bin Tsabit. Mereka adalah sedikit dari barisan pemuda yang hidup di zaman Nabi SAW yang harum namanya karena perjuangan dan dedikasi mereka untuk Islam. Mereka merepresentasikan kualitas generasi pemuda yang mampu dicetak oleh peradaban Islam yang menerapkan syari’at Allah secara kaffah.
Mereka adalah generasi yang rela membuang kenikmatan dunia demi bisa mengiringi perjuangan Rasulullah yang penuh kesulitan, menguras waktu, pikiran, uang, hingga nyawa. Mereka tidak pernah bersepakat dalam penyimpangan syri’at Islam dan kesesatan. Kepribadian Islam dalam dirinya tak menyisakan sedikit pun ruang untuk individualisme atau kepentingan duniawi yang fana, sebaliknya ridha Allah jadi satu-satunya tujuan kehidupan, kemuliaan Islam dan kaum Muslimin memenuhi benaknya, hingga keberanian dan kekuatan yang dimiliki semua dicurahkan untuk membela Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia melalui jihad.
Generasi dengan level ini hanya mampu dibentuk melalui penerapan syariat Islam secara keseluruhan. Ketahanan keluarga terjaga karena keharmonisa relasi suami istri untuk mengejar ridha Allah dengan pemenuhan peran masing-masing yang telah ditetapkan syariat Islam. Akhirnya, kepribadian Islam dipupuk sejak dini, sehingga remaja memiliki landasan aqidah Islam yang kuat memahami konsep dirinya yang hakiki sejak dini.
Pendidikan keluarga ini ditopang dengan sistem pendidikan berbasis aqidah Islam, yang membentuk kepribadian Islam sehingga remaja tak hanya dibekali dengan ilmu pengetahuan dan sains, melainkan juga ilmu-ilmu Islam; mereka berpikir dan beramal sesuai dengan ketentuan Ilahi. Pendidikan berkelas ini akan dinikmati secara merata karena sistem ekonomi Islam meniscayakan penyelenggaraan pendidikan untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa biaya.
Media akan difungsikan untuk membangun masyarakat islami yang kokoh dengan menjelaskan semua tuntunan hidup baik berdasar syari'at, beberapa nilai dan panduan bersikap hingga peningkatan kualitas hidup dengan pemanfaatan iptek. Ini menjaga tsaqafah asing dan nilai-nilainya yang bertentangan dengan Islam merusak kepribadian generasi remaja di dalam negara.
Terakhir, seluruh sistem ini hanya mungkin terealisasi di dalam sistem Khilafah Islamiyah, yang merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin yang akan menegakkan sistem Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia. Tidakkah kita mendambakan generasi emas remaja Islam seperti barisan pemuda zaman Nabi SAW tersebut di atas?!
_______________________
1.https://psikologiforensik.com/2015/01/30/ada-apa-di-balik-kriminalitas-remaja-indonesia/
2.Tutut Chusniyah, Universitas Negeri Malang, Penyebab Kenakalan dan Kriminalitas Anak
Tags
Opini