Oleh : Keni Rahayu, S.Pd
(Penulis dan Praktisi Pendidikan)
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi tengah menjadi sorotan publik terkait pernyataannya soal agama adalah musuh terbesar Pancasila.Yudian pun mengklarifikasi soal pernyataannya tersebut. Menurut Yudian penjelasannya yang dimaksud adalah bukan agama secara keseluruhan, tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan Pancasila. Karena, menurutnya dari segi sumber dan tujuannya Pancasila itu religius atau agamis.
"Karena kelima sila itu dapat ditemukan dengan mudah di dalam kitab suci keenam agama yang telah diakui secara konstitusional oleh negara Republik Indonesia," tegas Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Republika, 12/2/20).
Penuh kontroversi. Ya, itulah kiranya komentar yang pas dari statement Kepala BPIP, Yudian Wahyudi. Kini, beliau sibuk mengklarifikasi pernyataannya, nampak tambal sulam. Sejatinya, apa tujuan di balik ia melontarkan statement "agama adalah musuh pancasila?"
Pancasila masih dianggap sebagai sesuatu yang sakral bagi rakyat Indonesia. Tidak ada yang berani sedikit pun mengotak-atiknya. Hal ini dibaca dan dipahami betul oleh rezim. Sehingga, kondisi ini dimanfaatkan rezim menjadi senjata yang ampuh untuk memukul siapa saja yang berseberangan dengannya. Atas nama Pancasila, rezim (yang direpresentasikan oleh BPIP) memberangus siapa pun yang menghalangi langkahnya, terlepas langkahnya sesuai atau tidak.
Inilah yang terbaca dari statement Yudian Wahyudi maupun beberapa klarifikasi setelahnya. Sejatinya, yang dibidik oleh Yudian adalah kelompok umat Islam yang tegas dan istiqomah menyuarakan kebenaran Islam dan pemerintahan Islam. Meski BHP dicabut, meski izin tak lagi diturunkan, kelompok-kelompok Islam ini terus istiqomah meng-oposisi pemerintah, selama rezim tak menjalankan amanah. Mereka lantang meyuarakan dakwah, sampai rezim kehabisan akal.
Sejarah yang Berulang
Kisah seperti ini bukan kali pertama. Dulu, kala rasulullah berdakwah di Makkah, kafir Qurais senantiasa mencari cara agar nabi Muhammad saw menghentikan dakwahnya. Awalnya dicibir, tapi Rasul tak ambil banyak pikir. Langkah dakwah terus diukir.
Sampai siksaan fisik diterima oleh Rasul dan para sahabat, mereka tak patah arah. Dakwah terus merekah. Terakhir, pemboikotan. Tak ada satu kabilah pun yang boleh berinteraksi dengan kaum muslimin. Bahkan berada di antara hidup dan mati karena perut tak terisi, tetap tak membuat umat Islam menyerah dalam dakwah.
Inilah kondisi hari ini. Para pengemban dakwah mendapati resikonya. Karena istiqomah dan lurusnya jalan dakwah yang diseru, membuat rezim mengernyitkan dahi dan menumpu dagu. Tak sedikitpun arah dakwah dapat dibelokkan, hingga rezim pun marah. Berbagai cara terus dilakukan agar mereka berenti berdakwah.
Maha Besar Allah yang dengan mudah membuat lidah Yudian tergelincir dengan statement kontroversinya: Agama adalah musuh Pancasila. Secara tidak langsung, dari lisannya sendiri ia mengatakan bahwa kehidupan negara ini terpisah dari hukum agama. Jika ada nilai-nilai agama yang tidak selaras dengan nilai kebangsaan, nilai agama yang harus dimusnahkan. Inilah buah sistem sekularisme.
Dalam konteks ini, negara yang sedang dibangun oleh rezim direpresentasikan dengan Pancasila. Pancasila diambil menjadi simbol yang seolah-olah menggambarkan kehidupan demokrasi hari ini. Padahal, jika kita mau fair apa bedanya demokrasi Pancasila milik Indonesia dengan demokrasi milik negara lain?
Mengutip pernyataan Prof. Suteki dalam ILC, 18 Februari 2020 lalu, " rezim mana yang pernah berkuasa di Indonesia sebagai rezim yang paling Pancasilais? Apa bedanya demokrasi Pancasila di Indonesia dengan demokrasi di negara lain? Saya rasa sama saja, tidak ada bedanya".
Sejatinya, negeri ini tidak sedang menjalankan Pancasila, tapi menjalankan sistem kapitalisme dan liberalisme atas nama Pancasila. Tujuannya adalah mensakralkan aktivitas rezim yang sebenarnya pro kapitalis sehingga dianggap rakyat berjalan sesuai Pancasila. Ditambah lagi, tujuan lainnya untuk menggebuk siapapun yang bertentangan dengan negara, atas nama Pancasila. Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini