Oleh: Dewi Susanti (Guru dan Pemerhati Kebijakan publik)
Masuknya RUU ketahanan keluarga (RUU KK) dalam prolegnas 2020 ternyata menimbulkan pro dan kontra di tengah tengah masyarakat. Walaupun gagasan dasar perumusan RUU itu, sebagaimana diungkapkan Netty Prasetiyani, seorang dari lima anggota DPR yang mengusulkannya, adalah untuk melindungi keluarga-keluarga demi "mewujudkan peradaban Indonesia". Ketahanan keluarga, katanya, bermuara pada ketahanan nasional.
Namun kenyataannya ide yang seakan baik untuk meningkatkan kualitas keluarga dan menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa keluarga ini mendapatkan penolakan keras termasuk dari pihak istana. Seperti dilansir dari detik.com, Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi), Dini Purwono, menilai RUU Ketahanan Keluarga terlalu menyentuh ranah pribadi.
Pasal 25 tentang peran ibu dalam RUU KK ini dikritik keras oleh para feminis karena menekankan peran perempuan di ranah domestik, sehingga perempuan tidak wajib mencari nafkah dan harus melayani kebutuhan suami dan anak-anaknya.
Penolakan terhadap RUU KK ini juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyebut pasal mengenai LGBT dan kehidupan rumah tangga berpotensi melanggar HAM.
Seperti dilansir dari liputan6.com Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengingatkan, bahwa Indonesia merupakan anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan begitu, seluruh produk Undang-undang maupun kebijakan harus berdasarkan pada prinsip dan standar HAM.
Dalam teori HAM, kata Beka, setiap warga negara memiliki hak atas integritas personal. Artinya berdaulat atas dirinya sendiri, bebas berpikir, bertindak, maupun bersosialisasi. Sehingga negara tidak bisa serta merta masuk ruang-ruang privat warganya.
Jika kita cermati, maka sungguh tidak aneh berbagai penolakan ini akan ada. Di tengah arus liberalisasi dan makin banyaknya wujud keberhasilan kampanye liberal, RUU seperti ini dianggap ide mundur dan menggugat kemapanan (kesetaraan gender, peran publik perempuan, perlakuan terhadap LGBT) serta terlalu mencampuri ranah privat.
Harapan terwujudnya ketahanan keluarga dari pembakuan relasi suami istri, pendidikan dalam rumah untuk mencegah kekerasan seksual dan mengobati penyimpangan seksual justru dipersoalkan.
Pro dan kontra terhadap RUU KK ini ada karena perbedaan perspektif yang tajam tentang peran negara dan agama dalam menyelesaikan persoalan. Semangat untuk mewujudkan nilai nilai kebaikan yang lahir dari pemahaman syariah akan mendapat perlawanan yang sengit dari pihak moderat sekuler.
Di dalam sistem demokrasi sekuler ini agama tidak akan pernah mendapat tempat untuk menyelesaikan problematika masyarakat. Agama hanya diposisikan sebagai keyakinan individu atau kelompok semata. Tidak boleh ada norma agama sedikitpun dalam perundang undangan negara.
Ketahanan keluarga hanya bisa diwujudkan dengan peneraoan islam secara kaffah. Islam menetapkan negara sebagai penanggung jawab utama untuk kebaikan bangda, masyarakat, termasuk keluarga.
Ketahanan keluarga adalah perkara yang sangat dipeehatikan di dalam islam. Sebagai madrasah ula, keluarga ditempatkan sebagai dasar pembentukan identitas bangsa.
Keluarga dalam naungan Khilafah mendapat support dari supra sistem untuk melangsungkan berbagai fungsinya. Fungsi agama, fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi perlindungan, kasih sayang, fungsi reproduksi, sosial dan lingkungan dapat berjalan ideal dengan adanya peran negara secara benar dan bertanggung jawab penuh.
Sistem ekonomi Islam yang menekankan pada distribusi kekayaan yang adil dan merata, menjamin pemenuhan kebutuhan setiap individu. Dengan kewajiban bekerja kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya, memastikan bahwa para perempuan dan anak-anak yang berada dibawah tanggung jawabnya mendapat pemenuhan kebutuhan ekonominya. Bagi para janda atau sebatang kara dan tidak mampu bekerja maka negara menjamin pemenuhan kebutuhannya. Dan menjamin keluarga tersebut mampu untuk merealisasikan hukum sya