Oleh : Rantika Nur Asyifa
Kemiskinan yang semakin hari semakin meningkat, membuat para perempuan terpaksa harus menjadi kepala keluarga. Dengan dalih kesetaraan gender, para perempuan kian hari lebih menunjukkan eksistensinya sebagai pekerja dan bukan sebagai pengurus rumah tangga.
Kemiskinan memang menjadi masalah utama dunia. Kemiskinan seringkali dijadikan tameng bagi kaum feminis gender untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah publik. Dalam isu gender dan kemiskinan, rumah tangga seringkali menjadi target serangan kaum gender. Rumah tangga dianggap sebagai salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.
Selain menempatkan kaum perempuan sebagai objek, di saat yang sama Beijing Platform for Action (BPFA), secara gamblang telah mengaitkan peran aktif kaum perempuan dalam pengentasan kemiskinan ini. Artinya, kaum perempuan bukan hanya dipandang sebagai objek yang harus dientaskan, tapi juga sebagai subjek yang didorong untuk terlibat total dalam menyelesaikan problem kemiskinan global dengan cara aktif terlibat, khususnya dalam kegiatan ekonomi atau produksi.
Dampak kesetaraan gender ini, tidak hanya dirasakan oleh kaum perempuan sendiri tetapi terhadap anak dan keharmonisan keluarga. Anak menjadi korban utama dari kesetaraan gender ini, karena dengan perempuan sebagai tulang punggung keluarga maka urusan rumah tangga menjadi terlalaikan dan tak terurus.
Berdasarkan penelitian Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) tahun 2015, di desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur terdapat lebih dari 350 anak (0-18 tahun) yang ditinggal oleh ibu atau bapak dan bahkan keduanya untuk bekerja di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong dan negara-negara Timur Tengah. Jumlah yang hampir sama juga ditemukan di desa tetangganya, Lenek Lauk.
"Kita tidak bisa membayangkan kalau kemudian satu desa rata-rata sekitar 300 anak dan di Kabupaten Lombok Timur ada sekitar 250 desa berapa jumlah keseluruhan," kata Suharti, direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia, yang melakukan pendampingan anak-anak buruh migran di kabupaten itu. (BBCIndonesia, 06/03/2020)
Kemiskinan yang dialami kaum perempuan bukanlah kemiskinan yang berdiri sendiri. Faktor yang paling memengaruhi adalah kemiskinan struktural sebagai akibat penerapan sistem yang diterapkan. Jika kesejahteraan perempuan tak terurus itu bukan karena faktor ketidakadilan gender dan ketimpangan gender.
Selain mengeksploitasi kaum perempuan dan menjebak mereka sebagai penopang tegaknya hegemoni sistem kapitalisme yang hampir runtuh, yakni dengan mendorong mereka menjadi mesin penggerak industri kapitalisme sekaligus menjadi objek pasar mereka, proyek-proyek ini juga akan melunturkan fitrah perempuan sebagai pilar penyangga utama keluarga dan penyangga masyarakat yang justru dibutuhkan untuk membangun peradaban Islam cemerlang.
Sejatinya, Islam sudah memiliki seperangkat aturan untuk mengatasi problematik yang melanda kaum perempuan. Kemiskinan bukan saja menimpa kaum perempuan. Kemiskinan bermula dari rendahnya tingkat pendidikan, sulitnya lapangan pekerjaan, beban hidup yang makin berat, malas bekerja, serta keterbatasan sumber daya alam maupun modal.
Meskipun dalam Islam perempuan dibolehkan untuk bekerja dan berkiprah di sektor publik, namun tetap tak boleh abai terhadap peran utamanya sebagai ummun wa rabbat al bayt, serta harus terikat dengan batasan-batasan syariat.
Jika seluruh elemen memahami hal ini, niscaya tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan. Laki-laki maupun perempuan akan menjalankan sebagaimana tugas utamanya. Negara juga akan membuat kebijakan yang sejalan dengan hukum syariat, tidak akan mengutamakan kepentingan korporasi dan investasi.
Semua itu akan berjalan jika Islam dijadikan dasar. Karena negara Islam (pemimpin muslim) akan memahami bagaimana kewajibannya. Wallahu a’lam
Bogor, 19 Maret 2020
Tags
Opini