Oleh : Elda Andriani
Pendidikan tinggi adalah sebuah kemewahan bagi kaum wanita. Entah dengan "senjata" interpretasi agama, stereotip peran gender yang mengakar dalam budaya setempat, mitos-mitos, atau tindakan represif yang membungkus ketidakpercayaan diri sebagian pihak, perempuan dipaksa mundur menuntut ilmu tinggi. Perempuan harus berusaha ekstra untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya, lepas dari telah tersedianya macam-macam akses ke pendidikan di berbagai negara.
Lirik kisah Malala Yousafzai yang mati-matian berjuang supaya perempuan-perempuan muda Pakistan mampu mengecap pendidikan di tengah kekangan Taliban. Tidak main-main, gadis yang baru berusia 20 ini bahkan sempat mempertaruhkan nyawa demi idealismenya tersebut. Bagi Taliban, perempuan berpendidikan adalah momok dan tidak sejalan dengan keyakinan mereka.
Kisah serupa adalah pengalaman Margdarshi dari India atau perempuan-perempuan muda di sub-Sahara, Afrika, yang sempat berhenti sekolah hanya karena kepelikan yang dialaminya begitu menstruasi. Olok-olok yang lahir dari tabu menstruasi, ditambah sulitnya akses mendapatkan pembalut, membuat mereka akhirnya mengorbankan pendidikan.
Pendidikan untuk perempuan telah diperjuangkan sejak lama di Indonesia. Raden Ajeng Kartini menjadi salah satu sosok perempuan yang dikenal gigih dalam memperjuangkan hal itu. Namun dalam kenyataannya, pendidikan untuk wanita belum merata di Indonesia. Karena kuatnya tradisi, banyak perempuan yang tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Faktor ekonomi dan patriarki seolah menjadi hal yang tidak dapat dielakkan oleh kaum perempuan. Padahal, menurut psikolog Pendidikan Reky Martha, pendidikan dapat menjadi peluang perempuan menyejahterakan hidupnya. Dengan pendidikan yang tinggi, perempuan dapat memberikan ilmu bagi dirinya dan orang sekitar. Perempuan juga dapat menaikkan derajat hidupnya. "Angan-angan untuk sekolah itu masih banyak yang ragu, mereka masih takut," ujarnya.
Menurut Reky, banyak perempuan di beberapa daerah di pelosok Indonesia masih kurang mendapatkan pendidikan. Hal itu biasanya karena kurangnya fasilitas sekolah dan kebutuhan keluarga yang mewajibkan mereka menjadi tulang punggung.
Sejauh ini, Reky mencatat Wilayah Musi, Magelang, Bima, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Maluku adalah contoh wilayah yang masih tertinggal dalam hal pendidikan. Daerah-daerah ini tertinggal lantaran susah akses serta kurangnya fasilitas yang disediakan bagi masyarakat.
Menurut sebuah laporan yang dirilis pada Rabu (4/3) dari UNICEF, Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), dan Plan International, Meskipun terdapat kemajuan dalam pendidikan selama 25 tahun terakhir, kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan masih terjadi di banyak wilayah di seluruh dunia.
Pada 2016, 70 persen korban perdagangan orang yang terdeteksi secara global adalah wanita dan anak perempuan, sebagian besar untuk tujuan eksploitasi seksual. Selain itu, satu dari setiap 20 anak perempuan berusia 15-19 tahun, atau sekitar 13 juta anak perempuan, mengalami pemerkosaan dalam kehidupan mereka, salah satu bentuk pelecehan seksual paling kejam yang dapat dialami wanita dan anak perempuan.
Dalam rangka mengawali International Women’s Day 2020, Komnas Perempuan dalam laman resminya komnasperempuan.go.id merilis Catatan Tahunan (CATAHU) pada 6 Maret 2020. Catatan tersebut berisi rekam data berbagai bentuk dan spektrum kekerasaan pada perempuan dan anak. Data tersebut dihimpun dari berbagai lembaga negara, LSM maupun laporan kasus kekerasaan pada perempuan dan anak, yang masuk ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019.
Data tersebut mencatat dalam kurun waktu 12 tahun, kasus kekerasan pada perempuan meningkat tajam sebesar 792% atau meningkat hampir delapan kali lipat. Ini menunjukkan bahwa kondisi perempuan di Indonesia jauh dari kata aman. Demikian pula Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) melonjak sebanyak 2.341 kasus dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 1.417. Artinya mengalami kenaikan 65% dari tahun sebelumnya. kekerasaan pada perempuan dan anak. Sebaliknya, kasus kekerasan perempuan dan anak terus meningkat setiap tahunnya.
Data yang dirilis Komnas Perempuan juga semakin membuktikan bahwa kapitalisme-liberalisme telah gagal menjamin keamanan dan kesejahteraan perempuan. Di satu sisi, berbagai resep yang direkomendasikan sejatinya hanyalah solusi tambal sulam, yang tidak menuntaskan akar persoalan. Sebaliknya semakin menjerumuskan perempuan dan anak ke jurang kenistaan.
Namun, hingga hari ini tampaknya gagasan tersebut tidak memberikan kontribusi lebih dalam mengangkat problematika perempuan, berbagai solusi yang ditawarkan kapitalisme telah menjerumuskan perempuan untuk menanggalkan fitrahnya. Yaitu dengan berkiprah seluas-luas di ranah publik demi iming-iming peningkatkan taraf ekonomi. Berkiprahnya perempuan secara luas di bidang ekonomi dimanfaatkan para kapitalis untuk menggenjot perekonomian dunia. Inilah sejatinya niat jahat yang tersembunyi di balik berbagai agenda dan rekomendasi kaum feminis.
Di sisi lain, fitrahnya sebagai ibu generasi sukses dikebiri. Alhasil kerusakan tatanan keluarga dan masyarakat menjadi ancaman. Sebab minimnya peran ibu sebagai al-umm wa rabbatul bait dan madrasah ula bagi anak-anaknya.
Jelas solusi tersebut berhasil menciptakan seabrek masalah baru yang semakin ruwet. Sebab ditunggangi berbagai agenda jahat kaum feminis radikal yang mengusung ide kebebasan. Di mana ide kebebasan menjadi cara Barat menghancurkan generasi kaum Muslimin.
Satu-satunya harapan adalah Islam, sistem hidup sempurna yang diturunkan Allah Swt. Islam telah menetapkan berbagai hukum untuk manusia dalam sifatnya sebagai manusia. Islam juga menetapkan hukum-hukum khusus sesuai dengan jenisnya, laki-laki maupun perempuan. Perbedaan hukum ini bukanlah menjadikan perempuan lebih rendah, karena dalam Islam kemuliaan manusia terletak pada ketakwaannya kepada Allah. Perbedaan hukum ini, misalnya kewajiban mencari nafkah ada pada laki-laki, warisan laki-laki dua kali bagian perempuan, dan sebagainya, justru menjamin perwujudan peran masing-masing sesuai dengan kodratnya.
Islam juga menetapkan negara sebagai pengatur urusan umat, yang wajib memenuhi kebutuhan umat, laki-laki maupun perempuan, yang dengan itu, kesejahteraan berikut penjagaan atas individu benar-benar terjamin. Sehingga umat, khususnya perempuan tidak akan tergiur mengejar materi dan prestice berbau duniawi.
Oleh karenanya, selain ranah domestik, perempuan juga wajib terlibat dalam ranah publik yang terealisir dalam dakwah untuk mencerdaskan umat. Menyadarkan mereka akan urgensitas penegakan Islam kaffah. Termasuk didalamnya muhasabah atas kebijakan penguasa yang zalim
WalLâhu a’lam bish shawâb.
Tags
Opini