Oleh : Wulansari Rahayu, S.Pd
Sepanjang tahun 2019 nyaris setengah juga pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia bercerai dan dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri. Sedangkan Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan.
Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan isteri. Banyaknya angka perceraian ini membuat pemerintah menelurkan RUU Ketahanan keluarga. Salah satunya tertuang dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah perceraian sebagaimana dalam Pasal 74 ayat 3c.
Di sisi lain maraknya perceraian di Indonesia menjadi bukti lemahnya struktur ketahanan keluarga di negeri muslim terbesar ini. RUU ketahanan keluarga hadir untuk menolong keluarga Indonesia dari perceraian ini justru muncul masalah baru. Sejumlah pasal dalam RUU ini dinilai terlalu patriarki dan membela kaum laki-laki (detikcom,Jumat 28/2/2020).
Keluarga di Indonesia memang sangat rapuh, tingginya angka perceraian dan maraknya kekerasan terhadap anak menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah negeri ini. Bahkan potret keluarga di Indonesia kian hari kian memprihatinkan.
Kasus yang belakangan terjadi, seorang remaja SMP membunuh tetangganya yang baru berusia 6 tahun dengan menenggelamkanya di bak mandi tanpa rasa bersalah ini kuat dugaan juga factor peceraian menjadi pemicunya. Sistem kapitalistik saat ini justru menyeret para orang tua kehilangan peran yang sesungguhnya.
Orang tua terutama ibu dituntut keluar rumah sebagai alasan untuk memberdayakan perempuan. Pengiat gender menilai jika perempuan hanya berkutat di rumah maka tidak ada nilainya. Keluarga sebagai institusi terkecil tempat ditanamkannya nilai-nilai keagamaan yang akan melahirkan individu yang siap terjun ke masyarakat terus menerus mengalami pergeseran fungsi.
Nilai-nilai tersebut hendak diganti dengan yang ditawarkan barat seperti nilai liberal, KKG dan kapitalis. Kekayaan, penghasilan di atas rata-rata, pemuasan materi lainnya menjadi penentu dari makna sebuah kebahagiaan
Sebuah Kebahagiaan hendaklah sinkron dengan kesejahteraan begitu pula sebaliknya. Namun, faktanya saat ini adalah kesejahteraan bisa diraih tapi kebahagiaan tidak, begitu pula sebaliknya kebahagiaan bisa diraih tapi kesejahteraan belum tentu. Hal ini menyebabkan tidak hanya suami tapi isteri pun ikut terlibat mencari nafkah untuk menyejahterakan keluarga.
Tidak sedikit dari mereka menelantarkan anak-anak. Belum lagi pemenuhan kebutuhan tidak melihat standar haram dan halal yang ditetapkan oleh syara’ seperti riba, pencurian, perampokan bahkan bisnis haram. Asal muara dari tidak tercapainya makna bahagia dan sejahtera adalah karena masyarakat tidak kembali kepada aturan Islam, justru mereka condong untuk berkiblat kepada aturan kapitalis.
Padahal sistem ini tidak mampu memberikan perbaikan, justru lebih mengarah kepada kehancuran termasuk keluarga. Segala sesuatu dalam dunia kapitalis ini hanya dipandang dengan materi, maka tak heran kadang orang melakukan berbagai cara untuk mendapatkan materi tanpa memandang lagi halal dan haram.
Lalu apakah setelah terpenuhinya materi sebuah keluarga akan bahagia? Ternyata faktanya tidak! Banyak kasus di dalam keluarga kaya anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang karena orang tuanya sibuk mencari materi dengan dalih untuk membahagiakan keluarga.
Kebahagiaan dan kekokohan keluarga dapat di gambarkan dari keluarga yang samara ideologis (sakinah, mawadah warohmah dan ideologis) yang akan muncul di dalamnya ketenangan dan ketentraman. Keluarga samara ideologis hanya dapat diraih ketika keluarga tersebut berjalan dalam aturan Allah.
Dan ini akan sangat mudah terealisasi jika system aturan yang mengikat masyarakat juga aturan Islam. Jadi untuk mencapai atau mewujudkan keluarga bahagia yang didambakan cukup tinggalkan pemikiran kapitalis yang memiliki kerusakan yang sistemik dan jadikan aturan Islam sebagai jalan menuju keluarga yang didambakan.
* Penulis dan Pengamat Sosial
Tags
Opini