Peran Negara yang Hilang



Oleh: UqieNai
Ibu Rumah Tangga, Penulis Bela Islam


Seorang siswi SMP di Jember, Kecamatan Mumbulsari berinisial SN yang menjadi korban bullying teman sekolahnya viral di media sosial. Video yang diduga diunggah teman korban ke media sosial itu akhirnya viral dan mengundang geram para netizen. Pasalnya, dalam unggahan video tersebut terekam aksi brutal tiga siswa laki-laki kepada korban dengan memukul, menendang, menarik kerudungnya beberapakali hingga dibuang pelaku. (Dikutip dari Tribunstyle.com dari Kompas.com, Sabtu, 9/6/2018)

Bahkan aksi yang dilakukan para pelaku bukan sekali saja. Mereka memalak uang kepada korban bukan dengan cara meminta tapi mengambil paksa. Mirisnya pihak sekolah seakan mendiamkan aksi tersebut padahal menurut penuturan keluarga korban, korban pernah melaporkan kejadian sebelumnya kepada guru, namun hanya menyuruh korban menghindar saja. Baru setelah video kekerasan itu viral, pihak sekolah bereaksi. Datang ke rumah korban dan meminta maaf kepada keluarga SN.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dari tahun 2011 sampai 2019, terdapat 37.381 pengaduan. Untuk bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan. Bulan Januari hingga Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita kekerasan anak. Seperti siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswi yang ditemukan meninggal di gorong-gorong dekat sekolahnya serta siswa yang ditendang lalu meninggal dunia.

Menurut Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengatakan “kalau melihat skala dampak yang disebabkan dari peristiwa diatas, memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami anak perlu diantisipasi sejak awal. Pemicu bullying sangat banyak. Seperti tontonan kekerasan, dampak buruk gawai serta penghakiman media sosial. Itu kisah yang berulang, bisa diputar ulang kapan saja oleh anak, tidak ada batasan untuk anak-anak mengkonsumsinya kembali” (Inilahkoran.com, Sabtu, 8/2/2020)

Dengan melihat fenomena bullying yang terus meningkat apalagi terjadi di lembaga pendidikan, pelaku dan korban adalah pelajar, harusnya ada dalam pengawasan guru namun nyatanya luput begitu saja tanpa tindakan tegas, menjadi idikasi bahwa bullying sudah menjadi problem massif. Seharusnya sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk mendidik dan membina generasi cemerlang, kini terkotori dengan aksi brutal tanpa kontrol. Bullying yang terus terjadi menyadarkan kita pada satu hal, mengapa ini bisa terjadi saat negara gencar berinovasi membentuk generasi unggul dengan beragam program serta kurikulum berbasis modern?

Hidup di alam serba boleh, serba bebas tapi jauh dari tuntunan agama, menyebabkan kondisi remaja tanpa arah. Berdalih modernisasi, hidup di zaman milenial berimbas pada perilaku bablas tanpa batas. Miris memang. Remaja sebagai agen perubahan, calon tokoh intelektual di masa mendatang nyatanya terhempas dalam lingkaran liberalisasi sekular. Sebuah paham yang diadopsi hampir oleh seluruh negara di dunia saat ini di bawah arahan Amerika Serikat.

Menciptakan suasana kondusif dalam lingkup keluarga, masyarakat, sekolah bahkan negara, tak bisa dilepaskan dari 3 pondasi dasar. Pertama, ketakwaan individu. Faktor ini sangat krusial yang harus dimiliki setiap individu muslim. Aqidah Islam sebagai pondasi dasar terbentuknya aqliyah dan nafsiyah Islam akan menjadi benteng pertahanan kuat melawan serangan dari luar, baik tsaqafah asing, budaya, maupun ideologinya. Kedua, masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya akan sentiasa berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang di luar rumah. Ketakwaan individu akan terbantu manakala ada kontroling antar warga masyarakat. Saling menegur, menasehati saat ada pelanggaran, tidak individual apalagi acuh tak acuh. Bahkan diberlakukan juga sanksi sosial sebagai sikap tegas bahwa penjagaan itu ada. Ketiga, negara. Negara adalah pilar terkuat untuk terwujudnya sebuah tatanan kehidupan berkeluarga  dan bermasyarakat menjadi lebih sempurna. Negara lah yang memiliki  kewajiban atas kenyamanan dan keamanan masyarakat terpenuhi. Pemberian sanksi akan lebih efektif dan efisien jika negara yang memberlakukannya. Namun negara pula lah yang bisa menghancurkan ketakwaan individu dan kontrol masyarakat manakala negara tidak berperan sebagaimana mestinya. Terlebih lagi jika sistem yang diadopsi negara justru bertolak belakang terciptanya ketakwaan individu dan masyarakat. Seperti saat ini contohnya.

Negara yang menerapkan aturan serta kebijakan dengan landasan materi (kapitalisme), memberikan ruang sebesar-besarnya bagi kaum penganut kebebasan (liberalisme) hingga dijauhkannya agama dari berbagai sendi kehidupan seperti ekonomi, politik, budaya, hukum, sosial, hankam, dll menambah daftar panjang kerusakan dan penyimpangan terjadi di negeri ini. Padahal Rasul Saw sebagai suri tauladan yang baik senantiasa mengarahkan umatnya untuk taat syariat. Mengikuti hanya pada perintah Allah dan RasulNya. Maka saat ini tidak dilakukan maka ancaman tegas dan keras senantiasa mengiringi langkah manusia. Di dunia maupun nanti di akherat.

Wallahu a'lam





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak