Pasang Surut Industri Gula Negeri Tercinta



Neng Ipeh
 (aktivis BMI Community Cirebon)



Tahun 2020 menjadi akhir perjalanan Pabrik Gula (PG) Sindanglaut. Tidak akan ada lagi suara mesin dan kepulan asap putih dari cerobong pabrik gula warisan Belanda yang beroperasi rutin sejak 1898 atau sudah 122 tahun tersebut.

Direktur Produksi PG Rajawali II Muzamzam mengatakan, saat ini bahan baku yang dapat diolah sebanyak 3,5 juta kuintal per hari hanya bisa dilakukan oleh satu pabrik saja yakni Pabrik Tersana Baru.

"Faktanya jumlah bahan baku yang ada di Cirebon Timur hanya cukup diolah oleh satu pabrik gula saja. Kalau dipecah menjadi dua pabrik, maka hari giling yang efektif 150 (hari) menjadi di bawah 100, ini yang akan menyebabkan inefisiensi," katanya. (m.kumparan.com/02/03/2020)

Sayangnya penutupan ini menimbulkan kebingungan di kalangan petani tebu untuk masa depan komoditi yang menjadi andalan mereka sebab Pabrik Gula (PG) Sindanglaut inilah yang menjadi tumpuan para petani tebu enam kecamatan. Karena selama ini lahan yang berada di kawasan Kecamatan Lemahabang, Mundu, Greged, Karangsuwung, Pengenaan dan Japura paling cocok ditanami tebu.

Saat ini impor gula Indonesia menjadi yang terbesar di dunia. Padahal saat masa penjajahan Belanda, Indonesia merupakan negara utama pengekspor komoditas tersebut. Hal ini disebabkan rendahnya produktivitas tebu yang memiliki keterkaitan erat dengan harga gula di pasaran. Saat ini, harga gula lokal tiga kali lebih mahal dibandingkan harga gula di pasar internasional. Kondisi itu mengindikasikan adanya biaya produksi yang tinggi di tingkat produsen lokal.

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas gula lokal adalah banyak pabrik gula di Indonesia yang sudah sangat tua. Pabrik-pabrik gula ini perlu mendapatkan revitalisasi mesin produksi dengan menggunakan mesin modern agar produksi gula dalam negeri menjadi lebih stabil dan impor makin berkurang. Meski demikian, persoalan utama dalam pengadaan gula domestik bukan hanya pabrik gula yang tua, namun juga kestabilan produksi tebu karena makin berkurangnya lahan. Banyak lahan tebu yang berubah menjadi area bisnis bahkan perumahan. Ini adalah dampak dari kebijakan otonomi daerah.

Saat ini, revitalisasi pabrik gula masih sulit dilakukan karena penanam modal ragu melihat produksi tebu nasional yang belum mencukupi untuk kebutuhan pabrik gula. Selain itu, perluasan lahan tidak mudah dilakukan karena perubahan peruntukkan lahan pertanian masih menjadi kendala dan belum ada upaya serius untuk membenahi masalah ini. Akibatnya masyarakat lebih menyukai gula impor 
yang harganya lebih murah karena harga gula dalam negeri lebih mahal dua sampai tiga kali lipat.

Sejujurnya, peningkatan produktivitas gula akan membantu pemerintah dalam menekan impor gula. Sebab, impor dapat dikurangi apabila produksi dalam negeri sudah mencukupi permintaan dan tersedia pada harga yang terjangkau di pasar. Oleh karena itu, revitalisasi pabrik ini sangat penting dilakukan untuk mengatasi persoalan harga gula lokal yang tinggi dan tidak laku di pasar. Sayangnya revitalisasi yang ada justru terlihat setengah hati. Padahal jika hal ini diabaikan, maka negara akan sangat sulit untuk melepaskan diri dari jeratan impor. 

Jika kita melihat akar kekisruhan pengelolaan gula, maka yang kita dapatkan adalah karena diadopsinya paradigma Neoliberal Reinventing Government (Regom). Pemerintah hadir hanya sebagai regulator dan fasilitator. Yakni pembuat peraturan bagi kelancaran bisnis korporasi dalam pemenuhan hajat pangan masyarakat. Akibatnya sangat fatal, hajat pangan masyarakat berada dalam kekuasaannya korporasi. Meraup keuntungan adalah yang pertama, urusan kesejahteraan masyarakat urusan ke sekian. Jelas kekisruhan ini harus segera diselesaikan. Perubahan tata kelola tidak cukup hanya pada aspek strategis atau teknis saja,namun harus menyentuh akar persoalan. Yaitu tata kelola gula neoliberal yang didukung sistem kehidupan sekuler khususnya ekonomi kapitalisme neoliberalisme dan sistem politik demokrasi.

Sebenarnya, dalam konteks ketahanan pangan misalnya, Islam telah menggariskan kebijakan politik ekonomi pertanian yang kuat dan saling bertumpu pada bidang-bidang lainnya termasuk perindustrian, bahkan industri berat. Hal ini dikarenakan Islam telah menggariskan prinsip-prinsip dasar ekonomi menyangkut masalah kepemilikan, pengelolaan dan distribusi yang bertumpu pada prinsip keadilan hakiki, yang berbeda dengan kapitalisme yang menuhankan prinsip kebebasan. Dimana dalam strategi politik pertanian, berbagai aturan akan ditetapkan sedemikian rupa yang memungkinkan negara secara berdaulat akan mampu menjamin ketersediaan dan meningkatkan ketahanan pangan negara dan seluruh warga negaranya.

Pada akhirnya, penerapan keseluruhan prinsip/konsep yang ada dalam Islam bersamaan dengan penerapan sistem kehidupan Islam secara kaaffah meniscayakan kekisruhan tata kelola gula dan segala potensi ke arah itu dapat dicegah. Pada tataran inilah kehadiran sistem kehidupan Islam yang diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah Islam merupakan kebutuhan yang mendesak.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak