Pajak Minuman Berpemanis, Bukti Ambyarnya Ekonomi Negara





Oleh : Hermin Setyoningsih, Amd. Keb
Praktisi Kesehatan


Ada-ada saja fragmen yang ditunjukkan pejabat negeri ini. Salah input di KPU lah, yang terbaru salah ketik di RUU Omnibuslaw, dan saat ini yang bikin resah para pengusaha minuman ringan, buruh termasuk pedagang asongan adalah wacana Menkeu. Seperti dilansir antvklik.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan ke DPR RI, agar minuman berpemanis mulai dikenakan cukai seperti halnya rokok. Namun rencana ini masih dikaji lagi karena terkait dengan dampak inflasi dari barang yang dikonsumsi masyarakat. 
Menkeu mengatakan, konsumsi minuman berpemanis penting dikendalikan karena dapat menimbulkan penyakit berat. Misalnya, penyakit diabetes melitus yang dipicu oleh gula. Menurutnya, penyakit tersebut melanda masyarakat berumur di bawah 15 tahun pada 2013. Jumlahnya, sebanyak 1,5 persen dari total penduduk dan menjadi dua persen pada 2018. "Jadi kalau penduduk kita 260 juta bisa dibayangkan growing (pertumbuhan). Ini kalau kita bicara BPJS Kesehatan kemarin, menyumbang biaya cukup besar," kata Menkeu  (Vivanews, 19/2/2020). 

Karena tingginya konsumsi masyarakat pada minuman ringan, seolah sudah menjadi kebutuhan pokok semua kalangan masyarakat. Tentu saja kebijakan ini kalau sampai dilaksanakan akan sangat merugikan masyarakat. Kalau lah memang pemanis buatan menjadi alasan karena bisa memicu munculnya penyakit kencing manis/DM, begitu pula bagi penderita DM ketika mengkonsumsi minuman ini akan semakin memperparah penyakitnya memang iya, tapi apakah signifikan dengan dampak cukainya yang dikabarkan akan menimbulkan inflasi? 

Menurut pakar ekonomi muslim ternama Ibnu Khaldun, “Tanda menuju runtuhnya suatu negara apabila pungutan pajak makin banyak dan memberatkan rakyat". Nampaknya ini realita yang dihadapi negeri ini. Negeri yang katanya gema ripah loh jinawi, tanahnya subur, bahkan tongkat kayu bisa jadi tanaman saat ini menuju runtuh jika berkaca pada pendapat Ibnu Khaldun. Sungguh memprihatinkan, negara kita saat ini dililit utang yang luar biasa besar, sehingga hampir separuh APBN adalah untuk kebutuhan membayar hutang. Menurut liputan 6.com, Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat hingga Januari 2020, sebesar Rp 4.817,5 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi utang pada Januari 2019 yang mencapai Rp 4.498,6 triliun. Sehingga wajar jika Sri Mulyani sebagai Menkeu kepanjangan tangan dari pemerintah, ikut bingung mencari pemasukan hingga berniat memungut pajak apa aja yang dianggap bisa menghasilkan pemasukkan, meski itu merupakan kebijakan yang serampangan dan sangat memberatkan rakyat. Mencari alasan yang di luar nalar. 

Pangkal Masalah Pengenaan Pajak
Semua ini berpangkal dari salah kelolanya negara. Negara yang kaya akan SDA, daratannya subur, karena terletak di garis kathulistiwa, lautannya dipenuhi ikan yang melimpah, hutannya nomor  1 di dunia, tapi menuju negara runtuh karena ambyar-nya ekonomi negara. Ya, permasalahan salah kelola negara ini karena negara kita menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Negara membuat produk undang-undang yang menjadikan penguasaan SDA pada swasta dan asing atas nama investasi. Begitu pula dalam pengelolaan hutan, lautan semuanya atas dasar liberalisasi ekonomi yang merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalis sekuler.Sehingga wajar kemudian tak memiliki banyak pemasukan dari SDA, pengelolaan hutan dan lain sebagainya tapi justru pajak lah yang menjadi pemasukan utama negara, dimana obyek wajib pajaknya adalah rakyatnya. 

Kenapa negara tega melakukan hal demikian? Sekali lagi karena negara dalam sistem kapitalisme sekuler hanyalah sebagai regulator bukan pelayan bagi rakyatnya. Kekuasaan yang didapat dari proses demokrasi yang lumrah dalam sistem kapitalisme membutuhkan dana besar. Membuat harus ada simbiosis mutualisme antara calon penguasa dengan pengusaha yang memilikii modal besar untuk pembiayaan pencalonan yang bisa dipastikan menang jika modalnya besar, inilah juga yang menjadi asal muasal penamaan sistem kapitalisme (kapital/pemodal). Dengan dalih "balas budi" inilah muncul yang namanya kekuasaan oligarki, sehingga negara membuat produk undang-undang yang menguntungkan "relasi" penguasa, misalnya terkait pemberian kuasa pada pengelolaan SDA, hutan, laut bahkan BUMN. . Disinilah fasadnya negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler. 

Islam Sebagai Solusi
Berbeda dengan islam, pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah.  Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah,  Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:

(1) Bagian Fai dan Kharaj.  Penerimaan ini meliputi: Ghanimah, mencakup anfal, fai dan khumus, yakni pampasan perang. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad.  Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut. Sewa tanah-tanah milik negara. Jizyah, yakni pajak dari warga non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad maupun pajak bila ada. Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dan sebagainya. Pajak yang hanya ditarik insidental dari warga muslim yang berada. Seperti dapat dilihat bahwa pos penerimaan pada bagian ini sifatnya tidak menentu, dan idealnya tidak perlu ada.  Bila dakwah dapat berhasil dengan damai, maka tidak perlu perang sehingga tak ada ghanimah, dan tujuan perang itu sendiri memang  tidak untuk mendapatkan ghanimah. Kemudian karena Indonesia secara umum masuk Islam tanpa penaklukan, maka penerimaan negara dari kharaj ini di Indonesia juga kurang relevan. 
Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa.  Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi.  Barang  temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak.  Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti

(2) Bagian Kepemilikan Umum, yaitu pengelolaan sumber daya alam yang hakikatnya milik umum: seksi minyak dan gas, seksi listrik, seksi pertambangan, seksi laut, sungai, perairan dan mata air, seksi hutan dan padang rumput, seksi aset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf. Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor.

(3) Bagian Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu: zakat harta dan perdagangan yang berupa uang  (atau emas/perak), zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak. Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik.  Pertama, karena volumenya penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang. Kedua, pengeluarannya hanya ke delapan ashnaf.

Untuk Indonesia, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum. Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Hutan dan laut yang luas dan aneka macam tambang ada di Indonesia yang tentu saja jika dikelola dengan benar akan memberikan penerimaan yang  luar biasa besarnya. Sehingga APBN pasti akan surplus, dan ekonomi negara akan melambung, secara otomatis daya beli masyarakat akan meningkat, yang tentu akan berpeluang besar terbukanya usaha untuk lapangan pekerjaan. Tak akan ada lagi pajak, apalagi bagi barang konsumsi keseharia. Dan dipastikan rakyatnya akan sejahtera, bukan sebaliknya seperti saat ini yang harus ikut menanggung beban utang negara yang ekonominya "ambyar". Sebaliknya negara akan kuat secara ekonomi, mandiri terlepas dari intervensi asing serta rakyatnya sejahtera. Tidakkah kita merindukan hal itu? Saatnya kita sadar untuk kembali kepada hukum Islam dalam mengelola negara. []


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak