Oleh : Ulli Annafia
Semakin kesini beban kehidupan terasa berat. Harga kebutuhan pokok terus melejit dan jauh dari jangkauan masyarakat. Contohnya BBM, tarif dasar listrik, pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Di sisi lain, pengangguran masih menjamur.
Namun, bukan solusi yang ditawarkan justru beban penderitaan terus mendera rakyat. Kebijakan baru Sri Mulyani terkait cukai minuman manis, apakah bisa menjamin tak meningkatnya penyakit gula masyarakat? Alih-alih demi untuk sehat, justru rakyat makin melarat. Nyatanya pajak minuman, konsumenlah yang menanggung, karena menaikan cukai dari minuman manis artinya menaikan harga jual. Selain menurunkan daya beli masyarakat, mengurangi konsumsi juga akan mengurangi bahkan menghilangkan pendapatan pedagang asongan.
Dengan catatan hutang negara per akhir november 2019 pada posisi angka Rp 4.814, 31 triliun, pemerintah mengejar target dari pendapatan pajak untuk memperbesar pendapatan Negara.
Ironinya, Negara Indonesia adalah negara yang sangat kaya, kaya akan tambang, batubara, minyak bumi, gas alam. Belum lagi kekayaan lautnya, contoh natuna saja, misalnya ikan pelagis yang hanya hidup dibagian atas perairan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada September 2019, jumlah pelagis kecil mencapai 330.284 Ton, sedang ikan Pelagis besar mencapai 185.855 ton. Selain itu masih banyak ikan demersal yang ada di lautan Natuna ini, dimana jumlahnya diperkirakan mencapai 131.070 ton. Ikan demersal merupakan ikan yang hidup dan makan di dasar laut dan danau. Ada juga biota laut lainnya seperti udang penaeid yang jumlahnya 62.342 ton. Cumi-cumi jumlahnya mencapai 23.499 ton. Dan banyak potensi lainnya.
Ini yang membuat Cina ngiler akan potensi luar biasa natuna. Bukannya garang mengusir Cina dari Natuna, karena kedaulatan diserang, pemerintah malah membiarkan potensi alamnya dicuri aseng.
Harusnya pemerintah mengelola kekayaan alamnya dengan benar. Sehingga pendapatan negara diperoleh dari situ. Bukan mengejar-ngejar rakyatnya untuk membayar pajak.
Padahal, negara atas pajak adalah berbahaya. Kekuasaan Romawi dan Persia misalnya. Dua negara adidaya ini telah mewariskan cara mendapatkan pendapatan negara dari pajak. Berbagai macam pajak diwajibkan, tanpa melihat apakah rakyat tersiksa atau sekarat. Maka layak, jika dua negara itu lenyap karena kekuasaan yang dibangun di atas pajak. Apakah negara ini mau mengulang sejarah negara yang hancur karena pajak?
Tentu jauh berbeda dengan Islam. Islam sebagai solusi tunggal dari Sang Pencipta memberikan aturan yang haq. Sebab, pajak adalah bentuk kedzoliman penguasa kepada rakyat. Pemerintahan bizantium romawi misalnya. Pada akhirnya Imperium Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis, diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan.
Sedangkan Islam, telah berhasil menghapus perpajakkan saat masih di masa pemerintahan Umar bin Khatab. Berlanjut pada penghapusan pajak di pemerintahan Nuruddin Az Zenky
Nuruddin Az Zenky misalnya. Salah seorang penguasa muslim yang hebat. DR Ali Ash Shalaby menjelaskan,
“Hasil yang lazim setelah itu, masyarakat menjadi lebih giat untuk bekerja. Para pebisnis mau mengeluarkan harta-harta mereka untuk terus berbisnis. Pungutan yang sesuai dengan syariat justru berlipat-lipat lebih banyak dibandingkan pungutan haram.”
Tentu hal ini tiada lain karena bentuk ketakwaan dan ketundukan kepada aturan Islam semata. Islam tidak menjadikan pajak dan hutang riba sebagai tumpuan pendapatan negara melainkan kepada sumber-sumber yang dinashkan, misalnya memperjelas akan kepemilikan umum dan pribadi. SDA misalnya. Harus dikembalikan kepada rakyat sepenuhnya dengan pengelolaan negara bukan swasta atau privatisasi.
Begitulah keberkahan dalam sistem islam. Yang akan terwujud keadilan dan kesejahteraan secara nyata. Maka, sudah tentu memperjuangkan penerapan Islam adalah kewajiban yang utama diatas hal yang utama. Karena hanya Islam inilah solusi atas semua problematika dan carut marutnya kehidupan dunia. Wallahu'alam bisshawab