Negara Maju : Negara Yang Menerapkan Syariah-Nya




Oleh : Nuni Toid
Pegiat Dakwah dan Member Akademi Menulis Kreatif

Benarkah Indonesia sudah menjadi negara maju? Mari kita preteli apa itu negara maju. Sebutan untuk negara maju adalah negara yang meningkat standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP per kapita tinggi dianggap negara maju. Seperti baru-baru ini berita terhangat bahwa AS mencoret status negara Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. 

AS lewat US Trade Representative (USTR) merevisi daftar kategori negara berkembang mereka untuk urusan perdagangan internasional. Beberapa negara yang semula ada di daftar negara berkembang seperti China, Brazil, India kini naik kelas menjadi negara maju. Termasuk juga Indonesia dan Afrika Selatan. Sebagaimana pengumuman USTR yang dikutip dari The Star, Minggu (23/3/2020).

Revisi daftar ini sebenarnya untuk mempermudah AS melakukan investigasi ke negara-negara tersebut. Mencari tahu apakah terdapat praktik ekspor yang tidak fair. Seperti pemberian subsidi untuk komoditas tertentu. Wakil direktur perwakilan China untuk WTO di Beijing, Xue Rengjiu, malah keberatan dengan pengumuman USTR tersebut. Menurutnya, dengan status ini dan upaya investigasi yang akan dilakukan AS adalah bukti bahwa negara adidaya tersebut meremehkan sistem perdagangan multilateral negara-negara lain serta meremehkan sistem perdagangan negara-negara lain. "Aksi Unilateralis dan proteksionis mereka justru akan mengganggu kepentingan China dan anggota WTO lainnya, "kata Xue Rengjiu.

Melihat fakta di atas, benarkah Indonesia sudah menjadi negara yang maju? Sedangkan di luar sana masih banyak rakyat yang menderita, terbebani oleh biaya hidup yang semakin hari semakin sulit. Pengangguran menjadi pemandangan yang biasa. Karena sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Terjadi PHK besar-besaran. 

Sedangkan utang ke luar negeri semakin menggunung. Berbagai macam subsidi untuk rakyat tak mampu semakin berkurang bahkan sampai dicabut. Dan berbagai penderitaan lain yang dirasakan dan dialami oleh rakyat. Apakah ini yang disebut dengan negara maju?

Kita harus bisa melihat bahwa penetapan Indonesia sebagai negara maju merupakan kebijakan sepihak oleh AS. WTO (World Trade Organization) sendiri tidak memiliki definisi resmi untuk mengkategorikan sebuah negara maju. Biasanya negara itu sendiri yang menentukan kelayakan status sebagai negara berkembang atau maju. Hal itu pun tidak langsung disetujui oleh semua negara-negara anggota WTO.

Pencabutan status dari negara berkembang menjadi negara maju oleh AS karena dinilai Presiden AS Donald Trump frustasi akibat WTO (World Trade Organization) memberikan perlakuan khusus terhadap negara-negara berkembang dalam hal perdagangan internasional. Selain itu investigasi dugaan subsidi terhadap negara berkembang lebih longgar. Ujung-ujungnya produksi negara berkembang bisa dijual lebih murah dan dapat menggilas produk sejenisnya.

Sebenarnya itulah yang diinginkan oleh negara Paman Sam terhadap negara-negara berkembang yang berubah status menjadi negara maju termasuk Indonesia. Karena dengan statusnya sebagai negara maju Indonesia akan  kehilangan beberapa fasilitas negara berkembang. Di antaranya:

Pertama : Indonesia tidak akan menerima Fasilitas Official Development Assistance (ODA). Fasilitas ini merupakan alternatif pembiayaan dari eksternal untuk pembangunan sosial-ekonomi dengan bunga rendah. Dan kehilangan fasilitas ini akan berdampak pada perdagangan  Internasional, karena Indonesia akan sebagai subyek pengemasan tarif lebih tinggi.

Kedua : Indonesia akan kehilangan Generalized System of Preferences (GSP). Yaitu fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima yang diberikan oleh negara maju demi membantu ekonomi berkembang. Saat ini terdapat 3.544 produk Indonesia yang menikmati fasilitas GSP (cnnindonesia.com, 24/2/2020).

Indonesia ketika tidak menikmati GSP akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Ekspor tujuan AS akan terancam turun. Dan ujung-ujungnya akan memperbesar defisit neraca dagang. Sedangkan Indonesia telah mencatat defisit neraca perdagangan pada Januari 2020 sebesar USS 864 juta (cnnindonesia.com, 17/2/2020).

Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara,  memperkirakan AS sedang memberikan sinyal ancaman perang dagang kepada Indonesia. Padahal sebelum era Donald Trump, AS tidak pernah mengotak-atik fasilitas tersebut kepada Indonesia (detik.com,23/2/2020).

Melalui kebijakan ini,  AS hendak menekan defisit perdagangannya dengan Indonesia. Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) defisit perdagangan AS terhadap Indonesia per Januari 2020  sebesar 1,01 miliar dolar AS. Kebijakan ini akan menguntungkan AS karena memperbaiki neraca perdagangannya. Sedangkan bagi Indonesia kebijakan ini akan membuat turun ekspor perdagangannya dan Indonesia mengalami kerugian.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, kebijakan AS ini adalah hal yang membanggakan dengan Indonesia ditetapkan sebagai negara maju (CNBC, 24/2/2020) kebanggaan ini sungguh tak tepat karena kebijakan AS membuat perdagangan Indonesia jatuh dan semakin membengkak bunga hutangnya.

Selama ini AS menggunakan politik labeling pada negeri-negeri muslim termasuk Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan pada opini dunia mendukung AS. Termasuk dalam hal ini adalah labeling negara berkembang dan maju.

Politik labeling berorientasi pada keuntungan politik dan ekonomi AS. Bukan kemaslahatan seluruh negara di dunia. Saat ini Indonesia diposisikan sebagai negara yang bisa dimanfaatkan secara ekonomi untuk mendukung kepentingan mereka. Jadi mengapa pemerintah harus bangga dengan kebijakan ini?

Tapi begitulah dalam sistem kapitalisme-sekularisme yang semakin menggurita, mencengkeram bangsa ini. Seluruh negeri menjadikan AS sebagai kiblatnya termasuk negara yang penduduknya mayoritas muslim terbesar di dunia. Padahal betapa liciknya kebijakan yang dibuatnya  hingga membuat defisit perdagangan ekonomi Indonesia diambang kehancuran. Ini semakin jelas membuktikan bahwa AS tidak bisa mengayomi negeri ini bahkan semakin menzalimi.

Ditambah dengan sistem sekulernya. Yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Aturan agama dilanggar, diabaikan dengan bukti semakin menjamur perdagangan ekonomi dunia yang berlabel ribawi dengan bunga yang mencekik dan itu dibebankan kepada negara-negara muslim di seluruh dunia.

Berbeda dalam Islam. Di mana semua kehidupan diatur oleh syariat-Nya. Kita harus bisa berjuang bersama-sama untuk mewujudkan sebuah negara yang maju di seluruh aspek kehidupan tanpa terkecuali. Agar kita mempunyai mahkota kehormatan dan kebanggaan di hadapan negara-negara lain. 

Sudah cukup pemerintah menghamba dan berkiblat pada semua kebijakan mereka. Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan dan aturan sendiri. Berhenti mendukung dan mengekor kebijakan negara lain. Karena bila terus-menerus menghamba pada manusia maka kita tak akan bisa menjadikan bangsa yang maju secara hakiki. Seperti firman Allah Swt :

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (QS. ar-Ra'd : 11)

Kita bisa melihat di masa kekhilafahan. Wilayah negeri-negeri yang identik dengan kemiskinan bisa berubah menjadi negeri-negeri yang kaya raya dan maju. Sebagai contoh negeri Afrika yang terkenal miskin dan terbelakang.

Jadi, bila kita ingin menjadi bangsa yang  maju seutuhnya, pemerintah harus kembali kepada aturan syariah Islam. Yakni harus taat total tanpa sekat-sekat dengan mencampakkan sistem yang batil diganti dengan sistem yang baik. Yakni syariah Islam.

Maka sudah saatnya kita berjuang bersama-sama dengan negeri-negeri muslim lainnya untuk menerapkan syariat Islam dengan menegakkan Islam kafah dalam bingkai Daulah Khilafah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak