Negara Kapitalis, Pajak Mencekik Rakyat

Oleh : Imroatus Sholeha (Pemerhati Umat)

Entah kabar buruk atau kabar baik. Harga beberapa komoditas yang digemari masyarakat Indonesia akan naik. Minuman berpemanis seperti teh berkemasan, minuman berkarbonasi, kopi konsentrat akan dikenakan cukai. Kantong plastik alias tas keresek yang lazim dipakai untuk wadah belanjaan juga akan dikenakan bea serupa.

Bahkan sepeda motor, atau kendaraan bermotor apa saja yang menghasilkan emisi karbondioksida (CO2), juga bakal dikenakan bea. Pembayaran cukai akan dibebankan pada pabrikan dan importir berdasarkan seberapa besar emisi CO2 yang dihasilkan dari produknya, bukan pada pengguna. Namun, terang saja itu berarti akan membuat harganya akan lebih mahal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengusulkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat pada Rabu lalu. Parlemen pun, tanpa banyak penentangan, menyetujui rencana itu, meski waktu penerapan dan skema detailnya akan dibahas kemudian. Yang pasti, kalau kebijakan itu diberlakukan, Sri Mulyani memperkirakan penerimaan negara dari ketiga cukai itu lebih dari Rp22 triliun. Lumayan—maksudnya lumayan receh. Sri Mulyani mengusulkan perluasan penerapan cukai pada ketiga komoditas itu mempunyai tujuan ganda. Pertama, jelas saja untuk menambah penerimaan negara, terutama dari sektor cukai. Kedua, untuk kepentingan pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. 

Di sistem kapitalis hari ini pemasukan negara bersumber dari dua sektor yaitu pajak dan hutang luar negeri. Ditengah membengkaknya hutang luar negeri tentu jalan satu-satunya pemerintah dengan menggenjot pajak sebesar-besarnya yang jelasnya dibebankan kepada rakyat. Yang terbaru adalah rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani akan mengenakan cukai pada minuman berpemanis yang banyak digemari masyarakat. Rencana ini tentu menuai pro dan kontra karena dikhawatirkan akan membebani rakyat khususnya pedagang kecil. 

Ibarat pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga" itulah yang menggambarkan kondisi masyarakat hari ini. Ditengah tuntutan hidup yang semakin mencekik, pendidikan mahal, kesehatan mahal, makan pun sulit, pemerintah menambah sulit hidup rakyat dengan menarik cukai atas minuman berpemanis. Rencana ini sekalipun dengan dalih pemasukan kas negara tetap tidak dibenarkan melihat kondisi rakyat hari ini yang semakin sekarat dengan beban hidup. Karena dengan beban cukai/pajak otomatis menaikan harga jual dan tentunya berakibat pada menurunnya daya beli konsumen, sehingga merugikan pedagang kecil seperti asongan.

Negara berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyat, bukan membebani rakyat dengan pajak khususnya rakyat kecil yang semakin sulit kondisinya. Padahal Indonesia dikenal dengan sebutan "gemah ripah loh jinawi" berkat kekayaan alam yang melimpah ruah baik tambang, laut, perkebunan, dll.  Seandainya itu semua  dikelola dengan baik dan dialokasikan untuk rakyat tentu mampu mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Namun, kemana arahnya kekayaan alam Indonesia hingga minuman berpemanis pun ditarik cukai untuk menutupi khas negara yang kaya akan sumber daya alamnya? Yang jelas bukan rakyat yang menikmatinya.
Ditambah lagi alasan kesehatan, yang mana penarikan cukai minuman berpemanis agar rakyat tidak terkena disbetes. Memang bagus sebenarnya keingginan pemerintah, tapi benarkah itu untuk kesehatan rakyat, ataukah hanya dalih untuk mendapatkan keuntungan dari rakyat kecil?. 
Toh tak dapat dipungkiri jika sistem hari meniscayakan semua penguasa tega mengorbankan rakyatnya demi meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri.
Pajak dalam Islam
Pajak, dalam fikih Islam dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang diluar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129].

Dalam Islam sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.

Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar (bahaya) bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar disaat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya

Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.

Selain itu, negara juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya. Bandingkan dengan negara “dracula” seperti saat ini, yang menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak