Oleh : Diana Wijayanti, SP
Sebuah Masjid di ibukota India wilayah Timur Laut Delhi, menjadi target gerombolan anarkis. Massa meneriakkan"Jai Shri Ram" merobek Al Qur'an, mengobrak-abrik isi masjid dan membakarnya, di wilayah Ashok Nagar.
Sebelum, menghancurkan Masjid mereka memanjat menara Masjid, membuang pengeras suara dan mengibarkan bendera Safron, yang biasa digunakan umat Hindu di kuil-kuil (25/02/2020)
Setidaknya ada 25 orang dinyatakan tewas dan lebih dari 200 orang luka-luka. Sebagaimana dilansir Al Jazeera, Kamis (27/2/2020), kerusuhan dipicu aksi protes terhadap UU Kewarganegaraan yang dinilai kontroversial, yang telah disahkan sejak Minggu pekan lalu.
Dalam UU Kewarganegaraan yang baru, tercatat akan mempercepat pemberian kewarganegaraan untuk warga : Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi dan Kristen yang berasal dari negara tetangga, jika mereka datang ke India sebelum tahun 2015. Islam, tidak masuk dalam daftar agama yang diakui India sebagai warga negara. Inilah bentuk diskriminasi terhadap kaum Muslimin di India, hingga protes terjadi.
Yang patut disayangkan adalah ketidakadilan yang diterima kaum muslim India, tidak hanya pemerintah India yang dzalim, tapi juga pemberitaan yang tidak berpihak kepada Muslim. Berita yang beredar " Bentrok Antar Agama" atau "Bentrok antara Hindu dan Muslim". Jelas ini tidak sesuai fakta, karena yang sebenarnya adalah penyerangan gerombolan Hindu Radikal terhadap Muslim di Masjid, sekaligus pembantaian massal hingga puluhan orang tewas ditempat, dan ratusan luka. Sungguh biadab, dan tidak layak dilakukan oleh manusia.
Yang lebih membuat perih, adalah diamnya penguasa Muslim melihat pembantaian itu. Tak ada yang mengecam tindakan brutal itu sebagai bentuk terorisme, padahal saat ini dunia mengkampanyekan "perang terhadap terorisme".
Inilah bentuk ketidakadilan dunia, yang mengaku menjunjung tinggi HAM ( Hak Azasi Manusia). Jelaslah bahwa HAM hanya alat untuk politik untuk memuluskan kepentingan Kapitalisme-liberalisme, yang dikomandoi Amerika Serikat (AS) sekaligus menyembunyikan kebusukan dibalik jargon pembela HAM.
Tidak berlaku HAM jika korbannya adalah muslim, baik di India, Palestina, Kashmir, Rahingya, dan Uighur. Semua sepakat untuk diam melihat pembantaian itu, sementara jika yang diserang adalah Gereja, Kuil, Wihara dan tempat ibadah non Islam. Mereka berapi-api menyampaikan kecaman terhadap tindakan tersebut.
Untuk yang kesekian kalinya umat Islam diberi pembelajaran bahwa tak ada lagi yang bisa diharapkan dari Sistem Kapitalisme-liberalisme ini, saatnya kaum muslimin sadar bahwa dunia Islam butuh Junnah, yaitu pelindung hakiki terhadap Islam dan kaum muslimin.
Junnah itu adalah seorang Khalifah yang menjadi pemimpin seluruh kaum muslimin di dunia. Dialah pemimpin kaum muslimin dalam menerapkan Islam secara Kaffah di dalam negeri dan mengemban dakwah dan Jihad keluar negeri Daulah. Nabi Muhammad Saw bersabda: ”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).
Imam/Khalifah itu laksana perisai dijelaskan oleh Imam an-Nawawi: “Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang [menyakiti] kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.”
Begitu juga frasa berikutnya, “Yuqâtalu min warâ’ihi, wa yuttaqâ bihi” [Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng]: “Maksudnya, bersamanya [Imam/Khalifah] kaum Kafir, Bughat, Khawarij, para pelaku kerusakan dan kezaliman, secara mutlak, akan diperangi. Huruf “Ta’” di dalam lafadz, “Yuttaqa” [dijadikan perisai] merupakan pengganti dari huruf, “Wau”, karena asalnya dari lafadz, “Wiqâyah” [perisai].”
Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai Junnah [perisai]? Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain: “Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Menjadi Junnah [perisai] bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan Imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa Sallama dan para Khalifah setelahnya, sebagaimana tampak pada surat Khalid bin al-Walid: “Dengan menyebut asma Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin al-Walid, kepada Raja Persia. Segala puji hanya milik Allah, yang telah menggantikan rezim kalian, menghancurkan tipu daya kalian, dan memecahbelah kesatuan kata kalian.. Maka, masuk Islamlah kalian. Jika tidak, bayarlah jizyah. Jika tidak, maka aku akan datangkan kepada kalian, kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”
Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah [perisai] bagi Islam dan kaum Muslim. Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khilafah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah [perisai].
Umat Islam, Khilafah dan Khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena akidahnya. Karena akidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah, rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu, musuh-musuh mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.” Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.
Sebaliknya, meski kini kaum Muslim mempunyai banyak penguasa, tetapi mereka bukanlah Imâm yang dimaksud oleh hadits tersebut. Apa buktinya?
Karena Imâm di dalam hadis tersebut adalah penguasa kaum Muslim yang memimpin negara yang sangat kuat, ditakuti kawan dan lawan. Karenanya, bukan hanya agama, kehormatan, darah dan harta mereka pun terjaga dengan baik. Karena tak ada satu pun yang berani macam-macam. Bandingkan dengan saat ini, ketika Al-Qur’an, dan Nabinya dinista, justru negara dan penguasanya membela penistanya. Ketika kekayaan alamnya dikuasai negara Kafir penjajah, jangankan mengambil balik, dan mengusir mereka, melakukan negosiasi ulang saja tidak berani. Bahkan, merekalah yang memberikan kekayaan alamnya kepada negara Kafir, sementara di negerinya sendiri rakyat terpaksa harus mendapatkannya dengan susah payah, dan dengan harga yang sangat mahal. Ketika orang non-Muslim menyerang masjid, membunuh mereka, bukannya mereka dilindungi dan dibela, justru penyerangnya malah diundang ke istana.
Karena itu, makna hadis di atas dengan jelas dan tegas menyatakan, bahwa Khilafahlah satu-satunya pelindung umat, yang menjaga agama, kehormatan, darah dan harta mereka. Khilafahlah yang menjadi penjaga kesatuan, persatuan dan keutuhan setiap jengkal wilayah mereka. Karena itu, hadits di atas sekaligus meniscayakan adanya Khilafah.
Inilah yang kita butuhkan untuk menolong saudara kita di India dan dimana pun mereka berada, agar kehormatan dan kemuliaan kembali ke pangkuan kaum muslimin.
Wallahu A'lam Bishshawab