Mungkinkah Ketahanan Keluarga Akan Terwujud Dalam Sistem Demokrasi?



Oleh Fitriani S.Pd (Praktisi Pendidikan)

Biduk rumah tangga yang seyogianya dijadikan sebagai wadah menghimpun kasih sayang sepertinya begitu sulit didapatkan hari ini. Kata sakinah mawaddah warahmah seolah hanya ungkapan doa yang terkadang tidak mampu terealisasi dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak jarang berbagai macam kasus yang tidak pernah diharapkan terjadi. Isu ketahanan keluarga maupun keamanan pada anak dan perempuan masih menjadi momok yang mesti diperhatikan sampai detik ini oleh pemerintah di negeri ini.
 Bagaimana tidak, kekerasan pada perempuan dan anak masih menjadi sorotan baik dalam kasus kekerasan seksual seperti pelecehan atau perkosaan, KDRT, dan lain sebagainya . Seperti yang terjadi di Baubau Sulawesi Tenggara, dikutip dari Baubaupost.com ( 27/01/2020), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) mencatat, kasus kekerasan anak dan perempuan di Kota Baubau sepanjang tahun 2019 lalu ada 72 kasus yang lebih dari 30 kasus didominasi tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT. Bahkan dari sekian daerah di Sulawesi Tenggara (Sultra), Kota Baubau menempati urutan ketiga setelah Kota Kendari dan Konawe Selatan tinggi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Adapun penyebabnya beragam, mulai dari masalah ekonomi hingga dikarenakan perkawinan usia dini dan lain-lain. Seperti yang di sadur dari koran harian Buton Pos ( 21/02/2020), Kepala DP3A Kota Baubau, Wa Ode Soraya mengatakan dari kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, setidaknya ada beberapa faktor diantaranya yang paling dominan masalah ekonomi. Sehingga untuk menguranginya, Dinas yang berdiri sejak 2017 ini senantiasa melakukan kegiatan sosialisasi dengan menggenjot keterampilan yang dimiliki kaum hawa itu sendiri yang dikenal dengan istilah diresponsif gender. Selain itu dikutip dari baubaupost.com, 07/02/2020) DP3A juga melakukan pencegahan dengan mengadakan sosialisasi di sekolah-sekolah guna pencegahan pernikahan anak di usia dini. Tujuannya agar dapat meminimalisir tindak kekerasan anak dan perempuan termasuk juga KDRT.
 Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk dalam lingkup keluarga sesungguhnya bisa menjadi salah satu bukti, bahwa negeri ini belum mampu memberikan perlindungan terbaik bagi anak dan juga perempuan. Struktur dan ketahanan keluarga makin lama makin rapuh. Keamanan dan perlindungan masihlah menjadi khayalan semata tanpa bisa direalisasikan.

Faktor Kompleks
Sejatinya pernikahan adalah salah satu ibadah jangka panjang. Ada lapis-lapis keberkahan di dalamnya jika suami istri saling melengkapi, bersama dalam meraih ridha-Nya dan mengharap surga sebagai tempat berkumpulnya kelak. Lewat sinilah juga akan lahir generasi penerus peradaban yang tidak hanya mampu membanggakan orang tuanya namun juga bangsa dan agamanya. Menjadi generasi berkepribadian Islam yang berkualitas. Berpola pikir dan berperilaku sesuai dengan aturan Islam. Inilah sedikit gambaran keluarga ideal yang diimpikan oleh setiap insan. Namun sayangnya keluarga ideal ini menjadi sulit diwujudkan di tengah situasi yang karut-marut seperti saat ini.
Penerapan sistem sekuler kapitalisme telah memunculkan berbagai krisis multidimensi dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam ranah keluarga. Bagaimana tidak, penerapan sistem ekonomi kapitalis yang bernaung di bawah sistem demokrasi, yang diterapkan oleh negeri ini nyata-nyata telah memproduksi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang kian melebar. Sumber daya alam yang melimpah ruah nyatanya tak bisa menjamin keluarga dan masyarakat secara keseluruhan untuk bisa menikmati kesejahteraan. Prinsip kebebasan dan asas manfaat yang menjadi ruh sistem ini telah menyebabkan sebagian besar kekayaan hanya bisa diakses dan dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat bermodal (kapitalis) saja. Badai PHK pun terjadi di mana-mana. Utang negara terus menumpuk tanpa kendali. Parahnya, penguasa malah sibuk mencari celah menutup defisit anggaran melalui skema pajak yang terus dibebankan kepada rakyat dalam bentuk yang kian beragam. Mirisnya, kebijakan pajak yang tak bijak ini dilakukan di tengah biaya kebutuhan yang terus melangit dan kian menjauh dari jangkauan. Rakyat, benar-benar sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Kondisi ini pun diperparah dengan penerapan sistem sosial yang tak kenal halal-haram. Bahkan relasi atau pergaulan masyarakat kental diwarnai paham rusak, semisal liberalisme dan hedonisme, yang kemudian menyingkirkan peran agama dalam kehidupan hingga dengan mudah memicu kasus-kasus kemerosotan moral. Maka menjadi wajar anak-anak dan perempuan pun menjadi sasaran kekerasan, KDRT sering mewarnai biduk rumah tangga. Apalagi sistem ini, pada dasarnya memisahkan aturan agama dari kehidupan oleh negara, sehingga kebebasan berperilaku dan berbuat menjadi sesuatu yang biasa dilakukan. Walhasil lahirlah masyarakat yang miskin keimanan dan ketakwaannya kepada Allah sang pencipta. Tidak peduli halal atau haram, benar atau salah. Padahal, nilai kebebasan yang dikandung sistem inilah yang menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri manusia. Sebab ketika pemahaman agama tidak menjadi standar perilaku, maka hawa nafsu menjadi penentu.
Di luar itu, kalangan perempuan pun tak luput dari serangan khusus berupa ide-ide feminisme rancangan Barat, yang menebar mimpi tentang kesetaraan dan pembebasan pada kaum hawa. Ide-ide inilah yang sadar tak sadar telah menginspirasi kaum perempuan untuk sedikit demi sedikit menanggalkan peran keibuan, dan mengejar peran publik, bersaing dengan laki-laki hingga banyak yang kebablasan. Maka tak heran jika pabrik-pabrik dipenuhi para pekerja perempuan. Menyingkirkan kaum bapak yang justru kesulitan mencari pekerjaan, padahal mereka adalah tulang punggung keluarga. Di saat yang sama, urusan rumah, anak, atau keluarga diurus seadanya oleh para ibu. Di sisa-sisa waktu dan tenaga yang terkuras habis karena bekerja. Kasus kekerasan oleh pihak suami pun sering terjadi disebabkan para istri tidak lagi menghargai suaminya karena memiliki penghasilan yang lebih banyak. Wajar kemudian jika muncul berbagai dampak lanjutan yang nyatanya kian memperparah keadaan. Krisis ekonomi, krisis sosial hingga krisis moral masif terjadi hingga akhirnya membentuk semacam lingkaran setan. Dan pada kondisi ini, keluarga dan masyarakat pun, kian jauh dari kesakinahan.
Adapun solusi yang diberikan tentu sudah banyak. Namun sayang solusinya masih parsial dan tak menyentuh akar persoalan, seperti program pemberdayaan ekonomi perempuan, penyuluhan prapernikahan, sertifikasi pernikahan, penyuluhan-penyuluhan agama, dan lain-lain.
Bahkan belum lama ini sebagian kalangan telah menggagas sebuah solusi dengan membentuk rancangan undang-undang ketahanan keluarga. Isinya, mencoba mengembalikan fungsi keluarga dengan mengukuhkan seluruh aspek pendukung ketahanan keluarga, termasuk memperbaiki dan menguatkan peran, fungsi dan pola relasi suami istri dan lain sebagainya.
Namun upaya ini pun ternyata memicu pro dan kontra. Yang tak sepakat, menilai bahwa RUU ini terlalu masuk ke ranah privat dan tak sesuai dengan prinsip kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan. Bahkan membuat perempuan bisa kembali ke zaman kemunduran karena harus berdiam diri di rumah mengurus rumah tangga. Apalagi RUU ini dipandang terlalu kental dengan nuansa ajaran Islam sehingga dipandang tak sesuai dengan spirit kebinekaan yang selama ini diagung-agungkan.
Islam Solusi Tuntas
Sesungguhnya, hanya Islam yang mampu mewujudkan ketahanan keluarga, memberi perlindungan dan keamanan pada anak dan perempuan, sekaligus mengukuhkan bangunan masyarakat hingga negara. Sebab, struktur keluarga yang kuat dan terpadu merupakan jantung masyarakat yang kuat, stabil, dan sukses. Semua itu bisa terwujud karena Islam memiliki seperangkat aturan yang menjamin terwujudnya seluruh aspek yang dibutuhkan.
Sistem politik pemerintahan Islam, tegak di atas paradigma yang sahih tentang kepemimpinan. Pemimpin dalam Islam berfungsi sebagai pengurus sekaligus perisai bagi umat. Ia tak boleh abai atas kebutuhan dan keselamatan rakyatnya. Caranya adalah dengan menerapkan seluruh hukum Allah secara murni dan konsekuen sebagaimana yang Allah perintahkan. 

Sistem ekonomi Islam, dipastikan akan menjamin kesejahteraan orang per orang. Karena sistem ini berangkat dari paradigma yang sahih tentang apa makna kebutuhan, potensi manusia dan bagaimana mengelola seluruh sumber daya yang Allah berikan sebagai jaminan rezeki bagi seluruh umat manusia. Salah satunya negara menjamin kebutuhan pokok serta menyediakan lapangan pekerjaan yang luas nan mapan kepada rakyatnya. Bahkan belum kering keringatnya, gajinya telah diberikan. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw : “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih)
Begitu pun dengan sistem sosial. Islam mengatur pergaulan masyarakat, termasuk relasi laki-laki dan perempuan dengan tujuan yang mulia dan memuliakan. Yakni melestarikan keturunan sekaligus mewujudkan generasi cemerlang pionir peradaban yang paripurna dalam keimanan.

Dalam konteks seperti itulah maka Islam memberi aturan-aturan. Termasuk memberi tupoksi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (suami-istri). Ayah sebagai nakhoda alias pemegang kendali kepemimpinan sekaligus pencari nafkah atau penjamin aspek finansial bagi keluarga. Sementara ibu sebagai guru atau madrasah ula bagi anak-anaknya, sekaligus sebagai manajer rumah tangga suaminya. Kedua peran ini tak bisa dipertukarkan dan dipandang sama penting. Tak ada yang lebih istimewa antara satu dengan yang lainnya. Dan soal ini Allah Yang Maha Tahu.
 “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisa: 32)
Islam juga fokus menciptakan generasi berkepribadian Islam dan berperadaban mulia, sesuai tujuan penciptaan. Yakni menjadi hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi. Di mana untuk menjamin terlaksananya hukum-hukum tadi Islam membingkainya dengan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Sementara paradigma feminis liberalis mengukur segalanya dalam kacamata materialistis. Tak peduli generasi berakhlak buruk, berperilaku menyimpang dan menuhankan kebebasan, yang penting produktif menghasilkan materi, sekalipun menebar kerusakan dan jauh dari tujuan penciptaan.

Tak heran jika sekalipun rancangan UU dibuat sedemikian bagus dan sesuai dengan tuntunan Islam yang diyakini benar, maka akan tetap mendapat penolakan, karena keduanya tegak di atas asas yang berbeda. Yang satu asas akidah Islam, sementara yang satunya tegak di atas akidah sekularisme demokrasi, yaitu  pengingkaran terhadap peran agama dalam mengatur kehidupan termasuk dalam mengatur keluarga. Sehingga keduanya tidak akan pernah menyatu dan saling bersinergi.
Inilah tambahan fakta yang membuktikan, bahwa penerapan aturan Islam yang diyakini akan menjadi solusi tuntas bagi problem kehidupan memang butuh adanya sistem Islam. Sebab dengan tegaknya sistem Islam dalam kehidupan inilah aturan Islam bisa terlaksana dengan baik dan sempurna. Individu, keluarga, masyarakat bahkan negara akan kukuh terjaga. Kerahmatan pun akan melingkupi seluruh alam sebagaimana sejarah telah membuktikan. 
Maka perjuangan penerapannya pun harus melalui jalan Islam. Bukan melalui demokrasi yang justru berselisih jalan dengan Islam. Bahkan akan memaksa Islam melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kebatilan. Karena bagaimanapun sistem demokrasi tak akan pernah memberi jalan Islam bisa ditegakkan. Mengapa? Jawabannya adalah membiarkan Islam tegak berarti merelakan demokrasi membunuh dirinya sendiri. Maka, mustahil ketahanan keluarga dapat terwujud jika sistem diterapkan masihlah sekuler demokrasi. Wallaahu a’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak