Mengapa Ramai Menolak RUU Ketahanan Keluarga?



Goresan Tinta Ade Irma



Sebuah negara dikatakan maju ketika masyarakatnya maju. Bukan hanya sekedar kebutuhan pokok namun pemikirannya pun maju dalam memandang sebuah probmatika dengan solusi yang solutif. Dan sebuah negara dikatakan baik tatkala  masyarakatnya baik. Dan masyarakat yang baik  bergantung pada baiknya individu yang merupakan hasil cetakan sebuah keluarga. Seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. 


Karenanya ketahanan keluarga di sebuah negara hancur, maka bersiap-siaplah masyarakat dan negara tersebut menyusul kehancurannya.  Dan tampaknya realita saat ini sedang terjadi di Indonesia. Maraknya kasus perceraian yang ada saat ini menandakan kerapuhan dalam sebuah keluarga. 


Baru-baru ini sebuah RUU Ketahanan Keluarga juga dicanangkan untuk mengembalikan fungsi keluarga dengan mengukuhkan seluruh aspek ketahanan keluarga termasuk memeperbaiki dan menguatkan pola relasi suami istri, dsb. Namun sayangnya, RUU yang "diniatkan" mengembalikan peran keluarga pada tempatnya sesuai ketentuan Allah tersebut ketika baru diluncurkan sudah memicu pro-kontra.


Dilansir dari laman Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang merupakan usulan dari lima anggota fraksi DPR ditolak dari berbagai pihak.
Dasar dari penolakan lantaran pasal-pasal tersebut menuai kontroversi. Karena dipandang terlalu mencampuri ruang privasi kehidupan rumah tangga.


Hal yang sama juga dilontarkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono. Dia menilai RUU Ketahanan Keluarga terlalu menyentuh ranah pribadi.

"Saya enggak tahu sih, tapi katanya ada pasal yang mewajibkan anak laki-laki perempuan pisah kamar. Terlalu menyentuh ranah pribadi," ujar Dini di Kantor Sekretariat Kabinet Jakarta, Jumat (21/2/2020).


Yang tak sepakat menilai bahwa RUU ini terlalu masuk ke ranah privat dan tak sesuai dengan kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan. Dan RUU ini dipandang terlalu kental dengan nuansa ajaran Islam sehingga dianggap tak sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Pada dasarnya semua keluarga termasuk keluarga muslim pasti menginginkan  keluarganya bisa menjadi keluarga yang kuat , kokoh, dan tidak gampang tergoyahkan. Bertahan sepanjang masa. Sebagaimana layaknya sebuah keluarga yang ideal . Sayangnya, untuk mewujudkan hal yang semacam itu bukan sesuatu yang mudah di tengah kondisi yang karut marut seperti saat ini.


Penerapan sistem sekuler kapitalisme telah memunculkan berbagai krisis multidemensi yang akhirnya mengganggu pola relasi antaranggota keluarga dan menggoyang bangunan keluarga hingga rentan perpecahan , bahkan tak hanya struktur keluarga yang goyah tapi masyarakat pun ikut goyah karena keduanya saling berpengaruh.
Penerapan sistem kapitalisme yang eksploitatif misalnya, telah memproduksi kemiskinan dan badai PHK di mana-mana. 


Aneka tarif pajak yang semakin melangit dan harga kebutuhan sehari-hari yang semakin jauh dari jangkauan. Hal ini menyebabkan beban ekonomi keluarga semakin berat dan memicu terjadinya percekcokan suami isteri.
Belum lagi kondisi sosial masyarakat yang kian hari tak mengenal halal haram serta pergaulan masyarakat yang diwarnai dengan paham rusak liberalisme dan pluralisme, yang menyingkirkan peran agama. 


Sehingga hal ini memicu kasus-kasus moral seperti kenakalan anak dan remaja, narkoba, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan media sosial. Ini adalah potret buram yang akan menjadi ancaman serius bagi nasib generasi bangsa di masa depan dan semakin menambah berat beban pendidikan orang tua kepada anak-anak mereka.

Budaya liberalisme itu pula yang telah memicu terjadinya perselingkuhan hingga bangunan keluarga terguncang dan angka perceraian serta trend single parent terus meningkat. Dampaknya bisa ditebak, masa depan bangsa khususnya anak yang menjadi korban utama seperti pola asuh dan proses pendidikan akan terhambat.


Sebagaimana ikan yang tidak hidup di air, keluarga Muslim pun kehidupannya seperti itu, mereka tidak hidup pada lingkungan yang Islami sehingga mereka tidak memahami peran dan tanggung jawab mereka di hadapan Allah. Misal, bagaimana seharusnya sebagai isteri, suami, anak dan sebagai bagian masyarakat dan negara. Mereka justru dibimbing oleh aturan-aturan sekuler dari Barat yang mengajarkan kebebasan berperilaku dan bersikap yang mengarah pada kerusakan.


Banyaknya permasalahan yang mengancam ketahanan keluarga, mendorong berbagai pihak, termasuk pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini. Akan tetapi solusi yang diberikan masih bersifat parsial dan tak menyentuh akar persoalan.
Misalnya, untuk mengatasi beban ekonomi keluarga, pemerintah melakukan pemberdayaan ekonomi perempuhan. Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, pemerintah mengadakan pelatihan pra nikah. Dan untuk mengatasi dekadensi moral generasi, pemerintah memberikan penyuluhan agama, dll. 

Namun kenyataannya selama program-program tersebut berjalan, belum mampu menguatkan ketahanan keluarga . Karena faktanya tren perceraian kian hari kian meningkat. Padahal sesungguhnya dengan mengembalikan tatanan keluarga sesuai Islamlah akan terwujud ketahanan keluarga dan bangunan masyarakat yang kuat.


Sebaliknya, fakta membuktikan bahwa justru dengan jauh dari Islam dan menjadikan budaya kapitalisme liberal sebagai kiblat, tatanan keluarga menjadi porak-poranda. Sungguh, ini membuktikan bahwa di negara demokrasi kapitalis tidak akan pernah memberi ruang kepada syariat Islam untuk mengatur masyarakat meskipun terbukti secara historis Islam mampu membawa perbaikan bagi masyarakat.

Dalam sistem Islam konsep dalam membangun masyarakat dan negara termasuk dalam menjaga ketahanan keluarga yaitu :

1. Melandasi bangunan keluarga atas dasar takwa.
Tatkala dalam segala aktivitas dilandasi atas takwa yaitu paham betul akan aturan-aturan Islam dan menjalaninya semata-mata karena perintah dari Allah maka ia akan menikmati segala aktivitasnya dan perannya. 


Paham akan hak dan kewajibannya. maka individu keluarga tidak akan mengejar hasrat individu saja dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya, akan tetapi dia akan melandasinya dengan nilai ibadah, pahala dan mencari rida Allah dalam beraktivitas.


Suami, isteri, anak-anak akan ikhlas menjalankan tugas dan perannya masing-masing karena memandang itu sebagai ibadah. Bangunan masyarakat yang terlahir pun menjadi masyarakat yang bertakwa.

2. Membangun relasi yang benar antara laki-laki dan perempuan
Islam pada dasarnya memandang bahwa laki-laki dan perempuan sama derajatnya di hadapan Allah, akan tetapi Islam menggariskan posisi, peran dan tanggungjawab yang berbeda atas keduanya agar tercipta keharmonisan. Misal: Islam menetapkan bahwa perempuan adalah sosok yang wajib dijaga kehormatannya. 


Maka Islam melarang siapapun untuk mengeksploitasi, malakukan kekerasan , menjadikan obyek seksualitas, dan lain-lain kepada perempuan. Baik itu atas nama seni atau yang lainnya.
Jika itu terjadi, maka Islam dengan perangkat hukumnya akan mempidana. Termasuk perempuannya sendiri sebagai pihak yang dijaga kehormatannya, dia harus mampu menjaga iffah (kemuliaan) dan haya’ (malu) nya.


Negara Khilafah juga akan memberlakukan larangan berkhalwat, berikhtilat dan kewajiban berjilbab serta berkhimar ketika keluar rumah bagi perempuan agar terjaga kehormatannya.

3.  Penjagaan dan pelaksanaan secara sempurna fungsi dan peran laki-laki serta perempuan secara optimal.
Negara Khilafah berkewajiban memastikan setiap individu, keluarga, dan masyarakat bisa sejahtera. 

Negara harus memastikan terpenuhinya kewajiban setiap kepala keluarga (suami) atau para wali untuk mencari nafkah dengan menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memberi nafkah pada keluarga mereka, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal. Sehingga perempuan tidak harus bekerja keluar rumah yang berpeluang diperlakukan keji.


Mereka tidak perlu berpayah-payah mendapatkan uang karena telah dipenuhi suami atau walinya. Islam akan menindak suami yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik melalui negara. Meski perempuan tidak bekerja dan mempunyai uang, kedudukan mereka tidak menjadi rendah di depan suaminya sehingga berpeluang besar dianiaya. 

Sebab, isteri berhak mendapatkan perlakuan baik dari suaminya dan kehidupan yang tenang.
Islam menetapkan bahwa pergaulan suami-isteri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketenteraman dan ketenangan. Kewajiban nafkah ada di pundak suami, yang bila dipenuhi akan menumbuhkan ketaatan pada diri isteri .

Maka hanya dengan Islam mampu menjaga ketahanan keluarga. Di kala segala sesuatunya diatur dengan aturan sang pencipta. Aturan yang dibuat bukan hanya mengikuti nafsu individunya. Aturan yang memanusiakan manusia. Aturan yang paham betul akan kebutuhan makhluk yang diciptakan. 


Tatkala kita mengambil aturan dari selain aturan sang pencipta yaitu Allah Swt, layaklah segala problematika hadir tanpa solusi yang solutif sebab kita berpaling dari-Nya.
Maka sudah selayaknya jika kita kembali ke sistem Islam dengan penerapan aturan Islam secara kaffah dalam bingkai institusi negara. 
Wallahu a' lam bisshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak