Oleh : Afra Shafaa Grazielle
Member Akademik Menulis Kreatif
Memiliki keluarga bahagia dan harmonis merupakan idaman setiap orang. Yakni, sebuah keluarga yang senantiasa memberikan ketenangan, kedamaian, kenyamanan dan kesejukan. Namun, fakta menunjukkan bahwa keutuhan keluarga saat ini semakin mengkhawatirkan. Alih-alih bahagia, justru banyak keluarga saat ini berada di ambang kehancuran. Hal itu tampak jelas dari meningkatnya angka perceraian, banyaknya istri yang menggugat cerai suaminya serta maraknya perselingkuhan. Semua itu akhirnya memberikan dampak buruk kepada anak-anak mereka.
Atas dasar itu, gagasan RUU ketahanan keluarga dirumuskan. Sebagaimana diungkapkan Netty Prasetiyani, seorang dari lima anggota DPR yang mengusulkannya, untuk melindungi keluarga-keluarga demi "mewujudkan peradaban Indonesia". Ketahanan keluarga, katanya, bermuara pada ketahanan nasional.
Ketentuan yang lumayan disorot dalam draf RUU itu ialah perilaku seksual menyimpang. Memang tidak disebut dengan tegas istilah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Namun, cukup terang dimaksudkan untuk mereka, atau sebagian dari mereka, misal, para penyuka sejenis. Pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Klausul lain ialah mengklasifikasikan kewajiban-kewajiban suami dan tugas-tugas istri. (VIVAnews, 20/02/2020)
Namun, Rancangan Undang Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang merupakan usulan dari lima anggota fraksi DPR tersebut ditolak dari berbagai pihak. Dikutip dari Liputan6.com (21/02/2020), dasar dari penolakan lantaran pasal-pasal tersebut menuai kontroversi. Karena dipandang terlalu mencampuri ruang privasi kehidupan rumah tangga. Hal yang sama juga dilontarkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono.
"Saya enggak tahu sih, tapi katanya ada pasal yang mewajibkan anak laki-laki perempuan pisah kamar. Terlalu menyentuh ranah pribadi," ujar Dini di Kantor Sekretariat Kabinet Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Salah satu pasal yang menuai polemik adalah Pasal 85 yang mengatur soal aktivitas seksual. Dalam pasal itu, ada pelarangan aktivitas seks sadisme dan masokhisme alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM). Respon RUU Ketahanan Keluarga tersebut juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyebut pasal mengenai LGBT dan kehidupan rumah tangga berpotensi melanggar HAM.
Dilansir oleh DetikNews (22/02/2020), Anggota DPR Komisi VIII Ali Taher meminta pihak Istana untuk tak skeptis.
"Jadi apa-apa jangan skeptis dong terkait dengan undang-undang. Kita ini bangsa Indonesia, bangsa besar penduduknya banyak, masalahnya banyak, pengangguran banyak, orang bercerai juga banyak, akibat perceraian, pengangguran, kemiskinan itu berdampak pada kejahatan terhadap anak-anak perempuan dan lain-lain," ujar Ali Taher ketika dihubungi detikcom, Jumat (22/2/2020) malam.
Ali menilai RUU Ketahanan Keluarga dapat memproteksi keutuhan keluarga. Ia meminta pihak Istana untuk bersama-sama berdiskusi agar dapat memahami seutuhnya rancangan undang-undang itu. Menurutnya, pembahasan RUU Ketahanan Keluarga sangatlah urgen. Hal itu dapat dilihat dari meningkatnya jumlah perceraian di Indonesia dalam 8 tahun terakhir.
"Sangat urgen. Perceraian sekarang itu tahun 2018 420 ribu (se-Indonesia), tahun 2013 (ada) 200 ribuan (perceraian), sekarang meningkat tajam 2 kali lipatnya, gimana coba?" tuturnya.
Sistem Sekuler Merongrong Institusi Keluarga
Sistem sekuler yang diterapkan di negeri ini telah menjauhkan agama dari kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat muslim. Sistem tersebut telah melahirkan aturan-aturan yang merusak keluarga muslim. Menjauhkan keluarga dari nilai-nilai Islam, sehingga keluarga tidak lagi terjaga. Tidak heran jika banyak keluarga muslim diliputi dengan kegalauan ketika sedang ditimpa sedikit masalah. Karena mereka tidak memiliki pemahaman Islam yang cukup untuk menyelesaikan masalah internal keluarga mereka.
Mereka tidak bersandar pada hukum yang benar dan kuat. Akibatnya, hak dan kewajiban menjadi bertukar karena egoisme masing-masing. Oleh karena itu, sedikit saja persoalan ekonomi membuat mereka kacau dan galau, emosi meningkat yang berujung pada kekerasan. Termasuk tidak adanya visi dan misi yang jelas dalam mendidik anak. Akibat keadaan ekonomi yang menghimpit dan racun feminisme, suami dan istri sibuk bekerja di luar sehingga anak-anak menjadi korban. Mereka mengarahkan tujuan hidup anak-anak hanya pada kehidupan dunia saja. Tidak dibekali dengan akhlak yang mulia, norma-norma yang sesuai dengan syariat, dan juga tidak dibekali dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk masa depan mereka.
Sistem sekuler juga menghembuskan ide feminisme tentang kesetaraan gender. Sehingga perempuan juga dituntut untuk bekerja di luar. Hal itu berdampak pada masa depan anak-anak mereka. Anak-anak tidak mendapat perhatian dan pendidikan dari orang tuanya.
Sistem sekuler melahirkan orang-orang individualis. Kehidupan individualis membuat masyarakat abai terhadap persoalan individu di tengah-tengah mereka. Atas nama HAM, mereka mengatakan, tidak boleh terlalu jauh mencampuri urusan privat individu atau keluarga. Padahal, kontrol sosial oleh masyarakat diperlukan bagi setiap jiwa yang lemah. Masyarakat yang abai tidak dapat mencegah penyimpangan yang terjadi. Kepedulian terhadap kebutuhan ekonomi tetangga, amar makruf nahi mungkar juga lemah. Sementara, kepedulian sesama anggota masyarakat dan keluarga setidaknya dapat menolong krisis keluarga.
Penerapan sistem sekuler juga melahirkan orang-orang yang menolak syariat untuk mengatur institusi keluarga. Padahal, krisis keluarga terjadi justru karena syariat Allah tidak diterapkan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat yaitu dalam aspek politik, ekonomi, pergaulan, pendidikan dan lainnya. Di negara sekuler ini, kehidupan ekonomi begitu sulit, pendidikan dan kesehatan mahal, dan seterusnya.
Pendidikan sekuler hanya mengarahkan pada terbentuknya para pekerja yang dibutuhkan oleh pasar, bukan membentuk insan bertakwa dan berakhlak mulia. Tidak heran, pendidikan sekuler melahirkan orang-orang cerdas dan terampil, namun miskin nilai-nilai moral dan akhlak. Para penguasa di negeri ini tidak memedulikan kesejahteraan rakyat. Mereka hanya mementingkan jabatan dan kekuasaannya sendiri.
Islam Menjaga Keutuhan Keluarga
Islam merupakan agama yang sempurna yang diturunkan oleh Allah Swt.. Tidak ada aturan lain yang sempurna yang dapat mengatur institusi keluarga kecuali syariat Islam. Allah Swt. berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.“ (QS. at-Tahrim: 6)
Islam telah menetapkan seperangkat aturan agar keluarga berfungsi sebagaimana mestinya. Islam begitu detil mengatur bagaimana seharusnya posisi istri dan suami. Mengatur bagaimana komitmen masing-masing dalam melakukan kewajiban dan memenuhi hak pasangannya. Juga mengatur bagaimana mereka mesti memiliki visi dan misi untuk mendidik anak menjadi generasi emas.
Individu yang bertakwa akan senantiasa memosisikan dirinya sesuai dengan syariat Islam, tidak terkecuali ketika berada dalam sebuah keluarga. Seorang wanita memahami tugas-tugasnya sebagai ibu dan pengurus rumahnya. Sebagai istri, dia harus taat dan berbakti kepada suaminya dalam hal kebaikan. Sebagai ibu, dia harus mengurusi dan mendidik anak-anaknya dengan pemahaman Islam agar menjadi insan yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Demikian pula laki-laki, sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya, dia memahami bahwa tugasnya memberi nafkah kepada keluarganya.
Kontrol masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan keluarga. Masyarakat yang peduli akan senantiasa saling menasehati dalam kebaikan dan mencegah dari segala bentuk kezaliman. Karena mereka akan memahami kewajiban untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Dengan demikian dapat meminimalisasi pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat termasuk berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap anggota keluarga.
Berkaitan dengan menjaga ketahanan keluarga, peran negara sangatlah penting. Negara memiliki tanggung jawab yang sangat besar agar fungsi-fungsi keluarga berjalan dengan baik. Islam telah menetapkan bahwa negara adalah pelaksana pengaturan urusan rakyat, melindungi dan menjaga mereka dari berbagai ancaman dan kerusakan. Negara menerapkan syariat dalam setiap aspek kehidupan individu, keluarga, maupun masyarakat secara keseluruhan. Yakni, pengaturan dalam aspek ekonomi, pendidikan, pergaulan, interaksi sosial, kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya. Ada sanksi tegas bagi mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum.
Kebutuhan ekonomi individu rakyat dijamin oleh negara. Negara juga menyiapkan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dan kepala keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Termasuk tanggung jawab negara dalam hal pendidikan untuk mempersiapkan calon orang tua agar mampu melaksanakan fungsi mereka. Sehingga institusi keluarga dapat terjaga dan ketahanan keluarga pun dapat terwujud.
Demikianlah, untuk mewujudkan keluarga bahagia dan harmonis, diperlukan ketakwaan individu, masyarakat yang peduli dan negara yang menerapkan syariat. Karena itu, tidak ada sistem lain yang harus ditegakkan kecuali sistem Islam. Tidak ada aturan lain yang harus diterapkan selain syariat Islam. Sistem kapitalisme-sekuler beserta segala turunannya harus dicabut dari negeri ini.
Wallaahu a’lam bishshawaab
Tags
Opini