Oleh. Reni Tresnawati
(Aktivis Muslimah Karawang)
Perundungan atau lebih dikenal dengan Bullying, sebenarnya sudah ada dari jaman baheula. Dulu yang namanya saling ejek mengejek antara teman merupakan hal yang biasa dilakukan anak-anak, tetapi masih dalam batas wajar. Paling ejek-ejekan nama orangtua atau menyebut dengan nama panggilan jelek. Jadi belum terlihat dampak negatifnya. Namun, sekarang perundungan sudah berani main fisik, bahkan tidak sedikit yang memakan korban.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipan Anak, Jasra Putra menyatakan KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 hingga 2019 ada 37.381 pengaduan untuk perundungan, baik di pendidikan maupun sosial media. Dan itu mencapai 2.473 laporan. Bahkan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti, siswa yang jarinya harus diamputasi, siswa yang ditendang sampai tak bernyawa, dan siswa yang ditemukan meninggal di gorong-gorong sekolah.
Jasra menyakini pengaduan anak kepada KPAI itu bagai fenomena gunung es. Masih sedikit yang terlihat di permukaan, padahal di bawahnya masih tersimpan banyak. Artinya, pelaporan tentang perundungan masih sedikit, sementara masih banyak kasus yang belum dilaporkan. Seperti yang dilansir REPUBLIKA. CO. ID. (9/2).
Pemicu anak melakukan perundungan diantaranya, tontonan kekerasan, dampak negatif gawai dan penghakiman sosial media. Kondisi ini dapat mengganggu perilaku anak, karena tidak ada penyaringan dalam mencerna informasi yang mereka dapatkan.
Semakin maraknya fenomena bullying, menunjukkan gangguan pertumbuhan dan konsentrasi anak berada pada tahap mengkhawatirkan. Meski secara fisik dan daya belajar anak baik.
Namun, seringkali saat menghadapi kenyataan di depan mata anak tidak siap, sehingga terjadi gejolak yang menyebabkan pelemahan mental yang dapat bereaksi agresif, seperti bullying. Tidak hanya pelaku bullying yang mengalami pelemahan mental, akan tetapi korban bullying juga mengalami hal yang sama, tetapi korban ini bereaksi pasif, tidak bisa melawan.
Apabila dilihat dari pelaku maupun korban bullying, memiliki problematika kehidupan yang tak bisa lepas dari dirinya. Seperti pelaku bullying cenderung agresif, tidak empati terhadap di sekitarnya, prontal, egois, dll. Sedangkan korban bullilying cenderung pasif, tidak peka terhadap sekitarnya, penakut, tidak percaya diri, minder atau rendah diri, mudah stres, tidak fokus dan tidak tertutup kemungkinan bisa melakukan hal di luar nalar, seperti bunuh diri.
Ternyata peningkatan prestasi akademik siswa di sekolah tidak menjadi jaminan kemampuan mereka mengatasi masalah pribadi dan interaksi di lingkungan. Sebab lingkungan justru lebih kuat dalam memengaruhi siswa, apalagi siswa yang masih labil. Gangguan perilaku anak seperti ini perlu diantisipasi sejak awal.
Fenomena paparan kekerasan sangat refresif masuk ke kehidupan anak dari berbagai media. Tentunya fenomena jaman ini, perlu menstimulasi sekolah untuk membaca kondisi kejiwaan setiap siswanya. Artinya, sangat tidak cukup sekolah hanya memiliki satu guru konsling, mungkin kedepannya guru konsling tidak dibebani dengan memberikan pelajaran, tetapi khusus untuk memberikan penguatan buat mental dan kejiwaan siswa, papar Jasra. Seperti yang dikutip inilah.com), (8/2).
Apabila hanya diserahkan kepada guru konsling saja, tidak akan memengaruhi perkembangan anak secara signifikan. Karena sekolah waktunya terbatas. Mestinya pihak sekolah, keluarga dan negara harus bekerjasama untuk memecahkan masalah perundungan yang semakin massif yang dihadapi bangsa ini. Dengan maraknya kasus ini, dan belum ada solusi yang diambil penguasa negeri ini, seharusnya kasus ini menyadarkan penguasa dari kegagalan pembangunan sumber daya manusia dengan landasan sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan).
Dengan dipisahkannya agama dari kehidupan manusia, maka yang terjadi manusia itu tidak akan bisa menyaring atau mengendalikan setiap perbuatan yang dilakukannya.
Dalam menjalani hidup, manusia tidak bisa lepas dari agamanya. Sebab, agama merupakan pedoman hidup manusia. Agama adalah peredam, yang dapat mengendalikan manusia kepada hal-hal yang bisa menjerumuskan kepada kerusakan-kerusakan seperti rusaknya mental anak-anak yang ada saat ini.
Untuk menghilangkan maraknya perundungan akhir-akhir ini. Islam mempunyai kebijakan sistemik negara (khilafah) yang dapat membangun utuh generasi melalui sistem pendidikan keluarga dan pendidikan penataan media. Kedua sistem ini sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan generasi masa kini, terutama pendidikan keluarga. Keluarga adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, sebagai generasi penerus bangsa.
Islam mengawali penanaman akidah sebagai pondasi awal pertahanan anak agar menjadi pribadi yang kuat. Dari keluarga lah, anak-anak mulai meniru, baik hal buruk maupun hal bagus. Keberhasilan anak-anak menjadi generasi yang kokoh ditentukan dari perlakuan keluarga, terutama orangtuanya terhadap anaknya. Keluarga merupakan cerminan generasi yang akan datang. Apabila orangtua mendidik anaknya dengan pondasi keimanan yang kokoh, maka anaknya akan menjadi pejuang tangguh.
Namun, apabila orangtua mendidik anak dengan pondasi keimanan yang lemah, maka anak akan menjadi pejuang rapuh.
Untuk menjadikan anak sebagai sosok yang tangguh selain ditunjang dari pendidikan keluarga. Peran media sebagai sumber informasi pun berpengaruh kuat terhadap perkembangan generasi. Dengan adanya media saat ini, yang begitu bebas dapat mengakses situs-situs yang ada di dalamnya kapan pun sesuai yang dikehendaki.
Dengan berbekal gawai anak-anak dengan mudahnya membuka situs-situs yang sedang trend. Sedangkan informasi yang tersedia di media tidak ada penyaringan tayangan.
Sistem Islam sangat memperhatikan peran media dalam memberikan informasi, baik yang disampaikan maupun dari segi penataannya. Dalam menata sebuah media, baik media cetak maupun media visual, disesuaikan dengan kebutuhan. Misal, untuk anak-anak disesuaikan dengan usianya, dan tentunya apa pun informasinya pasti yang mendidik.
Negara memeriksa terlebih dulu, mana tayangan yang harus disampaikan, mana yang tak boleh disampaikan ke tengah-tengah publik. Negara akan mengeluarkan undang-undang yang menjelaskan garis-garis umum Politik negara dalam mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah. Hal ini dilakukan bertujuan untuk menjalankan kewajiban negara dalam melayani kemaslahatan Islam dan kaum Muslim.
Juga membangun masyarakat Islami yang kuat, selalu berpegang teguh dan terikat dengan hukum syara. Jika negara sudah menetapkan kebijakan-kebijakan seperti itu, tidak akan ada lagi perundungan. Anak-anak pun menjalankan hidupnya sesuai dengan usianya dan menjadi generasi pencetak bangsa yang hidup selalu terikat dengan syariah Islam. Wallahu'alam bisowab.
Tags
Opini