Oleh : Arsy Novianty
Member AMK, Aktivis Remaja Cicalengka
Akhir-akhir ini hujan deras terus menerus melanda wilayah Jawa barat dan sekitarnya, alhasil banjir pun kembali melanda sebagian wilayah di Jawa Barat. Bahkan banjir meluap sampai ke permukaan rumah-rumah warga. Warga mengeluhkan peran penguasa yang cenderung abai terhadap apa yang terjadi terhadap mereka, karena sampai saat ini belum ada penanganan dari pemerintah secara langsung.
Dilansir Liputan6.com Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengusulkan agar membentuk organisasi atau lembaga yang menangani bencana banjir di Provinsi DKI Jakarta, Jabar, dan Banten. Menurutnya, masalah yang kerap muncul dalam penanganan bencana banjir di ketiga provinsi tersebut adalah koordinasi dan organisasi.
"Ada 12 lebih institusi mencoba membereskan banjir di Jabodetabek, tapi seringnya kan sendiri-sendiri. Nah, diharapkan dari sini (FGD) ada organisasi, cukup satu organisasi bisa mengondisikan permasalahan banjir di Jakarta," kata Ridwan saat menghadiri FGD Penanganan Bencana Banjir Tiga Provinsi di Kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Senin (2/3/2020).
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengusulkan agar membentuk organisasi atau lembaga yang menangani bencana banjir di Provinsi DKI Jakarta, Jabar, dan Banten hal ini mencontoh program Citarum harum sinergitas Pentahelix. Padahal alih-alih menyelesaikan permasalahan banjir dari akarnya, pemerintah malah menyerahkan penanganan banjir pada lembaga/organisasi mandiri. Ini semakin menampakan bahwa ada usaha Pemerintah untuk berlepas diri dari tanggungjawab. Inilah gambaran penguasa yang ada dalam sistem kapitalisme dengan management korporatokrasinya. Yaitu manajemen yang senantiasa mengukur sesuatu itu dengan untung dan ruginya. Bukan diukur dari sisi amanah dan tanggung jawab terhadap peranannya.
Upaya pemerintah saat ini untuk menangani banjir tak lain adalah membuat kanal, gorong-gorong, itu semua apakah solusi terbaik? ternyata bukan. Memang penyelesaian banjir harus diselesaikan dari akarnya. Tapi karena sistem saat ini kapitalis demokrasi, jadi memang susah untuk merealisasikan solusi tuntas banjir, karena kita ketahui segala sesuatunya sekarang cenderung ditargetkan untuk meraih keuntungan. Roda pemerintahan saat ini dijalankan dengan model perusahaan yaitu keberadaannya hanya sekedar lahan bisnis untuk meraih keuntungan semata. Contohnya dalam masalah IMB pemerintah bisa dengan mudah mengeluarkan IMB kepada para pemilik modal padahal mereka tidak mempunyai izin amdal. Akhirnya banyak berdiri bangunan-bangunan secara serampangan. Bahkan kita sanksikan banyak bangunan-bangunan berdiri di lahan konservasi dan daerah resapan air.
Salah siapakah banjir terjadi?
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. Ar-Ruum : 41).
Tak lain banjir ini terjadi karena ulah tangan-tangan yang jahil, meraup keuntungan besar tanpa memikirkan alam yang ada, lahan-lahan yang seharusnya dijadikan bendungan ini malah dijadikan perumahan-perumahan, juga bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.
Lalu bagaimanakah caranya dalam Islam untuk mengatasi banjir?
Islam juga menetapkan tentang status kepemilikan harta di dunia, terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan umum, negara dan individu. Kepemilikan umum dan negara berupa sumber alam seperti ; tambang dan mata air tidak boleh dikuasai atau diserahkan pengelolaannya pada individu, baik lokal maupun asing atau diprivatisasi. Negara tidak berhak mengubah kepemilikan umum (milik masyarakat) menjadi milik individu, apapun dalihnya, termasuk membiarkan pembangunan pemukiman yang mengancam keberadaan daerah tersebut.
Pembangunan pemukiman atau fasilitas publik lain dilakukan dengan mengutamakan faktor sanitasi karena Islam sangat menjunjung tinggi kebersihan, maka saluran pembuangan pun menjadi aspek yang tidak boleh ditinggalkan, termasuk saluran drainase yang memudahkan air mengalir dengan daya tampung yang mencukupi.
Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.
Pada masa khilafah Islam, secara berkala, khilafah mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, khilafah juga melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau.
Khilafah juga membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Tak lupa, khilafah pun akan cepat tanggap menangani korban-korban bencana alam. Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Kemampuan peradaban Islam dalam mengatasi banjir dan bencana lain bertahan selama berabad-abad. Ini adalah buah sinergi dari keimanan, ketaatan kepada Allah Swt dan ketekunan mereka mempelajari sunnatullah sehingga mampu menggunakan teknologi yang tepat dalam mengelola air dan menghadapi banjir.
Demikianlah sejarah gemilang ketika sistem Islam diterapkan di muka bumi ini. Negara Islam (khilafah) telah terbukti nyata kemampuannya dalam mengatasi banjir. Maka dari itu, jika kita ingin mengatasi masalah banjir secara tuntas, sudah semestinya kita mengembalikan segala sesuatu hanya kepada sistem Islam saja. Yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Selanjutnya, bersegera mencampakkan sistem kapitalisme-sekuler sebagai biang dari segala kerusakan. Sebab, berharap pada sistem Kapitalisme-sekuler untuk merealisasikan program-program maslahat bagi rakyat adalah harapan semu. Karena sudut pandang yang digunakannya bukanlah ri’ayah (mengurus) rakyat, tapi ‘deal-deal’ politik dan kepentingan antara penguasa dan pengusaha.
Wallahu a'lam bishshawwab.
Tags
Opini